HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Nada yang Tumbuh di Ladang Rakyat

May 15, 2025 09:16
IMG-20250515-WA0016(1)

Puisi Esai L K Ara

HATIPENA.COM – Ada lagu yang tumbuh dari tanah,
bukan dari studio berpendingin,
melainkan dari ladang yang sabar,
dari terminal yang tak pernah lelah menunggu,
dari pematang sawah yang bersedekah debu
pada sepatu pemimpin yang tak suka disemir emas.

Ia bernama reggae
irama matahari yang bernafas panjang,
mengalir tenang seperti angin sore,
namun menyimpan pisau tajam
bagi siapa saja yang melupakan akar.

Kini, irama itu menjadi milik Jawa Barat,
bukan diputar di layar kampanye,
tapi dipetik dari gitar tua,
dan dinyanyikan oleh suara yang lahir
dari dada-dada yang pernah terluka,
namun tak pernah kehilangan cinta.

Ada seorang gubernur—KDM namanya—
ia bukan barisan pengawal atau protokol,
melainkan langkah-langkah kecil
yang menebar salam di jalan desa.
Ia menanam kata di ladang harapan,
dan menuai senyum dari mereka
yang biasanya hanya jadi latar belakang.

Reggae itu bukan sekadar lagu—
ia adalah kabar baik dalam bentuk angin.
Ia menyelinap ke telinga yang letih,
menyemai simpati di ladang
yang dulu ditumbuhi janji-janji gugur.

Nada-nadanya seperti padi:
tumbuh di lumpur,
namun memberi makan tanpa pamrih.
Liriknya seperti mata air:
mengalir tanpa pernah ditagih kembali.
Dan di antara irama itu,
ada cerita jalan setapak yang diperbaiki,
seperti senyum seorang ibu
yang dicium anaknya sepulang sekolah.

KDM bukan dongeng,
ia bukan tokoh dari buku yang ditutup,
melainkan harmoni yang hidup—
di tengah bisingnya politik yang kehilangan arah.
Ia tak bersajak, tapi hidupnya bernada.
Ia tak membaca naskah,
tapi langkahnya menulis puisi
di tubuh bumi yang masih percaya.

Kini lagu itu beredar,
bukan karena kamera yang memaksa,
melainkan karena isi yang menjelma cahaya.
Rakyat telah terlalu lama
menjadi penonton di bangku lapuk,
yang hanya diberi tepuk tangan kosong.

Kini mereka menyambut lagu ini
seperti sawah yang menganga menunggu hujan.
Karena mereka tahu:
jika sebuah lagu bisa menumbuhkan percaya,
maka ada pemimpin yang lebih dulu
mendengar irama perut kosong
dan kidung-kidung dari suara
yang tak pernah punya mikrofon.


Catatan Esai:

Puisi ini menempatkan lagu sebagai metafora bagi harapan rakyat yang tumbuh dari tanah—bukan dari strategi komunikasi, melainkan dari kesetiaan hidup bersama mereka. Dedi Mulyadi (KDM) bukan digambarkan sebagai politisi dalam makna sempit, melainkan sebagai simbol harmoni dan kesahajaan yang berjalan, menyapa, dan mendengar. Lagu reggae menjadi lambang dari suara rakyat yang kembali percaya karena dipimpin oleh seseorang yang tahu cara menafsirkan diam dan getar dari ladang, dari pasar, dari lorong kampung. Inilah lagu yang tidak diciptakan—tetapi tumbuh. ‎