Oleh ReO Fiksiwan
Sang hyang dharma ring jagat ika tan waneh, sang hyang dharma ring angga.” Translasi bebas: “Kebenaran yang berlaku di jagat raya itu tidak lain adalah kebenaran yang berlaku dalam diri manusia.” — P.J. Zoetmoelder (1906-1995), Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983).
HATIPENA.COM – Nalar Nusantara adalah medan epistemologis yang tak pernah selesai, sebuah proses historis yang terus bergulat antara warisan lokal dan tekanan global, antara tradisi dan modernitas, antara mitos dan rasionalitas.
Ia bukan sekadar pengetahuan yang lahir dari tanah, laut, dan langit Indonesia, tetapi juga cara berpikir yang dibentuk oleh sejarah panjang pertemuan dan benturan peradaban.
Dalam konteks mutakhir, nalar ini tidak hadir sebagai nostalgia, melainkan sebagai strategi untuk bertahan, menggugat, dan menafsirkan ulang dunia yang terus berubah.
Arif Susanto dkk. dalam Imajinasi Nusantara: Budaya Lokal dan Pengetahuan Tradisional dalam Masyarakat Indonesia Kontemporer (2022) menunjukkan bahwa pengetahuan tradisional bukanlah sisa masa lalu, melainkan sumber daya epistemik yang hidup dan bertransformasi dalam dialog dengan teknologi, pasar, dan politik identitas. Ia bukan museum, melainkan laboratorium.
Dikutip penjelasan untuk imajinasi nusantara, “Pemajuan kebudayaan yang dimaksud bukanlah semata pelestarian. Paradigma pelestarian tidak memadai karena kebudayaan bersifat dinamis dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Memperkuat kebudayaan lokal dan pengetahuan tradisional bukan berarti semata menerima secara pasif peninggalan dari masa lalu untuk kita lestarikan.
Tindakan ini hanya akan membekukan dan membuat kebudayaan jauh dari kehidupan manusia saat ini. Sebaliknya, pemajuan mengandaikan kemampuan kreatif dan nalar imajinatif.”
Sementara, Bernard Vlekke dalam Nusantara: A History of Indonesia (1943;2008) menulis sejarah Indonesia sebagai narasi tentang adaptasi dan resistensi.
Dikutip Vlekke mengatakan, “Buku ini dirancang sebagai sejarah Indonesia dan bukan sebagai perluasan perusahaan dan koloni Belanda di luar negeri.”
Dengan frase ini menegaskan, ia berusaha menulis sejarah Indonesia dari sudut pandang internal Nusantara, bukan sebagai bayangan dari kolonialisme Eropa.
Ia menolak pendekatan historisisme yang menjadikan Indonesia sekadar objek ekspansi, dan sebaliknya menempatkan masyarakat Nusantara sebagai subjek sejarah yang aktif, kompleks, dan berdaulat dalam membentuk peradabannya sendiri.
Tapi sejarah itu bukan hanya tentang kerajaan dan kolonialisme, melainkan tentang bagaimana cara berpikir lokal membentuk struktur sosial, politik, dan spiritual masyarakat.
Nalar Nusantara tidak dibangun dari logika linier ala Barat, melainkan dari jaringan makna yang lentur, cair, dan kadang kontradiktif. Ia tidak tunduk pada satu sistem, tapi merayakan pluralitas sebagai kekuatan.
Dalam lanskap ini, epistemologi Nusantara adalah epistemologi yang menolak tunggalisme kebenaran, dan justru menjadikan keberagaman sebagai fondasi intelektual.
Mengacu pada Muhammad Abed Al Jabiri dalam Formasi Nalar Arab (2003) membagi nalar Arab ke dalam tiga formasi: bayani (tekstual), burhani (rasional), dan irfani (spiritual).
Jika kerangka ini diterapkan pada Nusantara, maka kita menemukan sintesis yang khas: bayani lokal dalam bentuk adat, hukum warisan, dan mitos; burhani modern dalam bentuk birokrasi, teknologi, dan kalkulasi politik; serta irfani spiritual dalam bentuk kepercayaan, ritual, dan intuisi kolektif. Tapi sintesis ini tidak selalu harmonis.
Ia sering retak, terganggu oleh intervensi negara, pasar, dan agama yang dikomodifikasi.
Dengan demikian, nalar Nusantara adalah medan tarik-menarik antara yang ingin melestarikan dan yang ingin menguasai, antara yang ingin memahami dan yang ingin mengendalikan.
Demikian pula, Karl R. Popper dalam Gagalnya Historisisme (1985) mengkritik kecenderungan untuk memandang sejarah sebagai hukum yang pasti dan dapat diramalkan.
Ia menolak determinisme sejarah dan menyerukan pentingnya falsifikasi dalam ilmu pengetahuan.
Dalam konteks Nusantara, gagasan Popper menjadi relevan ketika kita melihat bagaimana sejarah lokal sering kali dipakai sebagai legitimasi politik, bukan sebagai ruang kritik.
Nalar Nusantara yang sejati bukanlah nalar yang tunduk pada mitos sejarah, tapi nalar yang berani menguji ulang narasi-narasi besar, termasuk narasi tentang kebudayaan itu sendiri.
Ia bukan alat untuk mempertahankan status quo, tapi senjata untuk menggugatnya.
Warisan literasi Nusantara seperti I La Galigo dari Sulawesi Selatan, Bo Sangaji Kai dari Bima, Bujang Tandomang (1997) dari Kalimantan Barat, Kalangwan: Sastra Jawa kuno, Hikayat Meukatu Alam (1991) dari Aceh, dan Pararaton dari Jawa Timur bukan sekadar teks kuno, melainkan jejak nalar yang membentuk cara berpikir masyarakat lokal tentang kosmos, kekuasaan, dan kemanusiaan.
Mereka adalah arsip epistemik yang menyimpan logika mitologis, etika sosial, dan spiritualitas politik yang khas.
Dalam I La Galigo (1995;2017), kita menemukan dunia yang dibangun dari hubungan antara manusia dan alam, bukan dominasi atasnya.
Dalam Pararaton (1953), kita melihat bagaimana kekuasaan tidak hanya dipahami sebagai kekuatan fisik, tapi juga sebagai warisan spiritual dan legitimasi naratif.
Dalam Bo Sangaji Kai (2000), kita menyaksikan bagaimana kearifan lokal membentuk struktur sosial yang egaliter dan berbasis pada konsensus.
Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi, nalar Nusantara menghadapi tantangan baru: bagaimana tetap hidup tanpa menjadi eksotik, bagaimana tetap relevan tanpa menjadi komoditas.
Ia harus menavigasi antara tuntutan modernitas dan kedalaman tradisi, antara algoritma dan arwah leluhur. Ia harus menjadi epistemologi yang tidak hanya bertahan, tapi juga menggugat.
Karena dalam dunia yang semakin seragam, keberagaman bukan hanya soal identitas, tapi soal cara berpikir.
Nalar Nusantara bukanlah warisan, tapi kemungkinan. Ia bukan masa lalu, tapi masa depan yang terus ditafsirkan ulang.
Dan dalam kemungkinan itu, kita menemukan cara baru untuk menjadi Indonesia—bukan sebagai proyek politik, tapi sebagai proses berpikir yang terus bergerak, terus bertanya, dan terus menolak untuk selesai. (*)
#coverlagu: Lagu “Nusantara I” dari Koes Plus dirilis pada tahun 1973 sebagai bagian dari album mereka yang berjudul “Volume 8.“
Lagu ini menjadi salah satu karya ikonik yang menegaskan semangat kebangsaan dan kebudayaan Indonesia melalui lirik yang menyebutkan berbagai daerah di Nusantara.