Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Natal dan Spirit Kerukunan Umat Beragama

December 27, 2024 10:09
Ilustrasi: Kecerdasan Buatan/Hatipena
Ilustrasi: Kecerdasan Buatan/Hatipena


Oleh: Akhmad Syarief Kurniawan

DI SAAT suasana hati sedang belum kondusif di beberapa daerah di seantero Nusantara sedang dilanda musibah banjir, longsor, dan lain-lain, mari kita seyogyanya sebagai umat beragama berdoa bersama semoga musibah di sana segera tuntas, surut dan seluruh lapisan masyarakat beraktivitas kembali sedia kala, semoga tidak menimbulkan korban jiwa lagi.

Malam Kudus merupakan sebuah lagu yang selalu bergema dalam kesempatan perayaan Natal. Jikalau lagu itu tida dilantunkan seakan pesta Natal belum sah. Dan suasana sakralpun kurang nampak. Gejala tersebut rupanya berkembang dalam diri umat beriman. Rupanya ada suatu harapan bahwa pesta Natal mesti menyiratkan suasana agung, syahdu, romantis.

Injil lukas melukiskan suasana agung melalui koor massal para malaikat. Hal itu dipaparkan bahwa kelahiran Yesus mempunyai nilai (value) ilahi. Sisi kesyahduan dilukiskan melalui suasana malam yang sunyi dan penuh kesederhanaan di tempat kelahiran Yesus. Sementara suasana romantis diungkapkan melalui kegembiraan dan kebersamaan orang-orang yang berkumpul disekeliling palungan dimana bayi Yesus dibaringkan.

Perayaan Natal mempunyai bobot pesan agama. Sama halnya membahas pesan sebuah ideologi, baik pada dalam waktu kekinian (kontemporer) ataupun masa lalu – sebagai sebuah sejarah. Dimana secara substantif – teoritis keduanya menawarkan niat baik kepada kita, untuk membangun kehidupan agar lebih beradab, berkeadilan, dan lebih sejahtera, tanpa memandang warna kulit (apartheid), serta kelompok manapun, (Komaruddin Hidayat, 2002).

Gema Natal adalah damai sejahtera, tetapi jangan kaget kalau gema itu juga dari suara kepentingan. Gaung Natal mungkin dari kepentingan yang bukan Natal. Yesus bersabda : ”dimana hatimu, disitulah hartamu”.

Sering kita terjebak pada sifat yang konsumert. Mungkin ada pesan-pesan tertentu melalui Natal. Natal tidak lagi menjadi momentum, tetapi menjadi peluang atau kesempatan.

Natal bermakna bahwa Tuhan memberi damai sejahtera. Didalam kesederhanaan, kemiskinan bahkan pergumulan hidup Natal akan bermakna ketika memahami bahwa Natal berarti Tuhan hadir menyertai, Immanuel (Tuhan dekat kita).

Tuhan transenden itu menjadi imanen menguatkan hati umatnya. Natal berarti mau hadir ditengah kesulitan bangsa dengan segala upayanya. Ditengah masyarakat yang majemuk kehadiran setiap pribadi mempunyai arti yang besar dalam membangun hidup bersama.

Bukankah bangsa ini menjadi sewarna yang khas, yang tak mungkin dicontoh bangsa lain dan mencontoh bangsa lain.

Natal tidak akan dan tidak mungkin kembali keduapuluh abad yang silam. Natal ini menjadi Natal yang kontekstual. Walaupun dalam kesederhanaan, Natal tidak akan kehilangan arti, bahkan mungkin tanpa Natal-pun, Natal tidak kehilangan ketika dalam kesepian, orang mampu merasakan Yesus Kristus yang lahir dirasakan hadir dan memberi makna dalam kehidupannya.

Dalam susana Natal ini, Bangsa Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk atau berbhineka mempunyai keaneka ragaman hubungan sosial antar suku, antar bahasa bahkan antar agama. Keanekaragaman suku, bahasa, adat istiadat dan agama tersebut merupakan suatu kenyataan yang harus kita terima sebagai kekayaan bangsa.

Namun, di samping itu didalam keanekaragaman atau pluralitas juga mengandung kerawanan yang dapat memunculkan konflik-konflik kepentingan antar kelompok yang berbeda-beda.

Oleh karena itu, untuk memberikan jalan tengah perlu komitmen semua elemen masyarakat untuk mewujudkan kerukunan hidup umat beragama, yaitu berupa kajian-kajian yang sangat mendalam dan membutuhkan kesabaran tentunya.

Pengkajian kerukunan hidup umat beragama paling tidak dapat dilakukan pada dua level kajian, yaitu pengkajian pada level doktrin (ajaran) agama dan pada level sosiologis-historis atau empirik realitas kehidupan beragama secara nyata, (Depag Puslitbang, 1998).

Pertama, pengkajian kerukunan umat beragam dapat dilakukan pada level doktrin dalam kitab-kitab suci agama-agama yaitu mengkaji ajaran-ajaran, ayat-ayat, pesan-pesan suci yang berasal atau terdapat dalam kitab suci masing-masing agama yang mengandung atau berisi ajaran-ajaran tentang kerukunan, baik didalam (intern) agamanya maupun dengan agama-agama lain yang berbeda.

Tentu saja diantara kitab-kitab suci dari agama-agama yang berbeda itu mengandung perbedaan-perbedaan antara agama yang satu dengan agama yang lain. Perbedaan-perbedaan tersebut terutama dalam aspek yang bersifat prinsip (fundamental) seperti aqidah, ibadah (ritual). Perbedaan dibidang-bidang tersebut tak dapat dipersatukan dan memang tak perlu dicari titik temunya.

Sebab upaya mempersatukan ajaran agama yang pokok tersebut hanya sia-sia belaka, kecuali jika yang dikehendaki ” sebuah kerukunan ” itu adalah sinkretisme, karena sinkretisme ditolak oleh semua agama-agama yang ada di Indonesia.

Dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, suatu tujuan yang dikehendaki adalah kerukunan umat beragama penggalian atau pengkajian pada level doktrin atau kitab suci dari agama-agama ini sangat diperlukan, dan hasilnya perlu disebarluaskan kepada masyarakat. Hal ini seperti yang pernah dilakukakan oleh tokoh-tokoh lintas agama: MUI (Majelis Ulama’ Indonesia), PGI, KWI, PHDI dan WALUBI dan lain-lain.

Kedua, pengkajian kerukunan umat beragama pada tataran historis-sosiologis atau empirik. Hal ini penting dilakukan, realitas umat beragama di masyarakat bawah (grassroot) menunjukkan bahwa dalam masyarakat-masyarakat lokal di Indonesia, khususnya pada masyarakat yang heterogen dari segi suku dan agama, ternyata mereka telah menciptakan tradisi-tradisi yang menunjang demi terwujudnya kerukunan hidup antar umat beragama maupun intern umat bergama.

Selamat Natal bagi yang merayakan, semoga damai dan kasih Natal selalu menyertai kita semua. Semoga semangat Natal terus mempersatukan kita semua dengan sikap toleran (tasamuh), inklusif, dan peduli terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Wallahu a’lam.

(Penulis anggota Satupena Lampung, tinggal di Kabupaten Lampung Tengah)