HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Negara Kalabendu

September 7, 2025 07:44
IMG-20250907-WA0005

Oleh ReO Fiksiwan

“I bhumi Nusantara sang prabhu rakawi, tan hana lawan. — Di seluruh bumi Nusantara, sang raja termasyhur, tiada tandingannya. — Mpu Prapanca (14 M), Kakawin Nāgarakṛtāgama (1365).

HATIPENA.COM – Negara Kalabendu adalah metafora historis yang menggambarkan fase krisis dalam siklus kekuasaan Nusantara, sebuah negara yang tidak sekadar mengalami kemunduran politik, tetapi juga kehancuran makna dan spiritualitas dalam tata kelola kekuasaan atau bina negara.

Dalam disertasi Said Soemarsono, Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau: Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai XIX (1985), negara Kalabendu muncul sebagai bentuk transisi dari kemegahan Majapahit menuju ketegangan laten dalam struktur Mataram.

Ia bukan hanya perubahan dinasti, tetapi pergeseran paradigma tentang apa itu negara, siapa yang berkuasa, dan bagaimana kekuasaan dimaknai oleh rakyat dan elite.

Majapahit, dengan segala kemegahannya, adalah negara yang dibangun atas konsensus simbolik antara raja, dewa, dan rakyat.

Ia adalah negara yang mengimajinasikan dirinya sebagai pusat dunia (pakubuwana) dengan cakra dan cakrawala kekuasaan yang melampaui batas geografis.

Namun, ketika Majapahit runtuh, bukan hanya struktur politik yang hancur, tetapi juga narasi besar tentang keteraturan kosmik hancur dengan relik-relik materi yang masih bisa dibaca pada candi dan prasasti.

Dalam perspektif Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (1983), menunjuk bahwa negara paska Majapahit dan Mataram adalah imagined community yang berhasil menyatukan berbagai etnis dan wilayah melalui bahasa, mitos, dan ritual.

Barangkali ini yang dimaksud Vlekke sebagai rekonstruksi sejarah negara Nusantara sebagai pangkal negara Indonesia. Kelak, setelah melalui revolusi dan kemerdekaan 1945, tumbuh ke dalam wawasan negara paripurna (Lihat cetakan ke-10, Juli 2024) versi Yudi Latif dan negara sebenarnya versi Benni E. Matindas (2000).

Ketika imajinasi itu retak, negara Kalabendu lahir—sebuah negara yang kehilangan narasi pemersatu dan terjebak dalam fragmentasi simbolik.

Mataram muncul sebagai upaya rekonstruksi atas kehancuran itu, tetapi ia membawa serta ketegangan baru.

Clifford Geertz dalam Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali (1980), menunjukkan bahwa negara Jawa pasca-Majapahit bukan lagi negara yang mengatur, tetapi negara yang mempertunjukkan.

Kekuasaan menjadi teater, di mana raja adalah aktor utama yang memainkan peran sakral, tetapi sering kali terlepas dari realitas sosial rakyatnya. Seperti tampak dalam krisis kekuasaan Ken Arok, Ken Dedes, Tunggul Ametung hingga Nusapati.

Negara Kalabendu dalam konteks ini adalah negara yang hidup dalam ilusi simbolik, di mana legitimasi tidak lagi bersumber dari keberhasilan mengatur kehidupan rakyat, tetapi dari kemampuan mempertahankan citra kekuasaan sebagai petilisan ilahi, Deva.

Said Soemarsono membaca Mataram sebagai negara yang mencoba mengembalikan tatanan Majapahit, tetapi dengan struktur yang lebih tertutup dan hierarkis.

Ia menyebut bahwa dalam negara Kalabendu, kekuasaan tidak lagi bersifat dialogis, melainkan monologis—raja berbicara kepada langit, bukan kepada rakyat.

Dalam fase ini, negara menjadi entitas yang terasing dari kehidupan sehari-hari, dan rakyat menjadi penonton dari drama kekuasaan yang tidak lagi menyentuh kebutuhan mereka.

Negara Kalabendu adalah negara yang kehilangan kemampuan untuk mengimajinasikan dirinya sendiri secara kolektif, dan hanya bertahan melalui repetisi simbolik yang semakin hampa. Namun, negara Kalabendu bukan akhir dari sejarah, melainkan momen reflektif.

Ia adalah cermin bagi Nusantara — sebelum Indonesia — via Bernard Vlekke dalam Nusantara: A History (Edisi revisi, 1963), untuk melihat bahwa kekuasaan tanpa makna, ritual tanpa spiritualitas, dan negara tanpa rakyat adalah bentuk kekosongan yang hanya menunggu waktu untuk runtuh.

Dalam konteks kontemporer, negara Kalabendu menjadi peringatan bahwa pembangunan fisik tanpa pembangunan imajinasi kolektif akan melahirkan negara yang megah di luar, tetapi rapuh di dalam.

Karena itu, membaca negara Kalabendu bukan hanya membaca masa lalu, tetapi juga membaca kemungkinan masa depan—sebuah ajakan untuk membangun negara yang tidak hanya kuat secara struktur, tetapi juga kaya secara makna. (*)

#coverlagu: Lagu “Kharisma Indonesia” oleh Ayda Yuanika resmi dirilis pada tanggal 12 Juli 20232. Lagu ini tersedia di berbagai platform musik digital seperti YouTube Music dan Apple Music, dan menampilkan nuansa alternatif dengan durasi sekitar 3 menit.