Penulis: Ririe Aiko
#30Harimenulispuisiesai
Puisiesai23
HATIPENA.COM – Jumlah pengangguran lulusan universitas di Indonesia terus meningkat. Data BPS mencatat pada tahun 2014 terdapat 495.143 sarjana menganggur – (1)
Di negeri ini, toga adalah mahkota,
Yang diarak bangga di bawah sorak pesta.
Empat tahun menghafal teori, menari di lab imaji,
Lalu dilempar ke jalan, mencari rezeki yang tak pasti.
Delapan ratus ribu sarjana menganggur, (2)
Berbaris rapi di statistik yang kian subur.
BPS mencatat angka, menteri menyusun kata,
Tapi di meja makan, piring-piring tetap kosong belaka.
Dini, gadis dengan IPK cum laude,
Puluhan kali mengetuk pintu, tak satu pun yang membuka.
“Pengalaman tiga tahun,” kata iklan lowongan,
Ketika banyak kualifikasi yang menjerat,
Bagaimana kita bisa memulai mimpi?
Ia pun pulang ke desa, membawa ijazah,
Menjadi peternak bebek di rawa basah.
Ibunya mengeluh, “Apa gunanya sarjana?
Jika akhirnya kau berkubang di lumpur yang sama?”
Sementara itu, di kota, anak pejabat melenggang bebas,
Tanpa tes, tanpa cemas, kursi empuk sudah di menunggu untuk disandari.
Si miskin hanya bisa merangkai harapan di kertas,
Yang berakhir di tong sampah sebagai sampah bekas.
Amir, anak petani, lulusan teknik mesin,
Kini berdiri di warung kopi, mengaduk mimpi yang makin pahit.
Tangan yang pernah menggambar desain industri,
Kini lebih lihai menakar gula di cangkir sehari-hari.
Dia pernah mencoba jadi guru,
Yang katanya pahlawan bagi negeri,
Tapi selalu lupa kesejahteraan sendiri,
Karena gaji yang nyaris tak mencukupi.
“Negeri ini butuh ilmuwan,” kata televisi,
Tapi mengapa ilmu itu tak dihargai dengan pantas?
Di sudut kota, ribuan sarjana antre,
Demi pekerjaan kontrak yang upahnya tak jelas.
“Tak perlu bekerja, jadilah wirausaha, anak muda harus berkarya” kata pejabat di layar,
Mereka mudah mengatakan itu, karena berucap dibalik meja penuh makanan.
Mereka lupa, tidak semua lahir dengan status sosial tinggi,
Bagi Amir, warung kopi adalah akhir karier.
Dari aturan negeri yang membuatnya fakir.
Satu demi satu, mimpi luluh di sudut kota,
Ijazah mulai menjadi pajangan, bukan lagi kunci masa depan
Negeri ini mencetak sarjana layaknya pabrik,
Tapi lapangan kerja semakin sempit.
Di ruang tamu, ibu Amir mengusap wajah,
“Mungkin di luar negeri nasibmu tak akan payah, Nak.” (3)
Amir diam, memandang jauh ke luar jendela,
Di matanya, masa depan tampak bagai fatamorgana.
Sarjana di negeri ini, bukan pelopor perubahan,
Hanya angka dalam laporan pengangguran.
Pemimpin berpidato soal ekonomi tumbuh,
Tapi bagi rakyat kecil, hidup tetap keruh.
Maka, di antara statistik dan janji palsu,
Mereka melangkah tanpa tahu kemana arah yang akan dituju.
Di negeri yang sibuk membanggakan gelar,
Tapi Mimpi-mimpi sarjana dibiarkan pudar. (*)
Catatan:
(1)https://youtu.be/KWytETpmyAw?si=KASW52I-gatg5W3t
(2)https://www.instagram.com/p/DFIVQ_qBXtt/?igsh=ZHpkeHdxZWFrYTlx
(3) “Fenomena Kabur Aja Dulu sebagai Otokritik untuk Lebih Baik” https://www.metrotvnews.com/read/b2lCpzex-fenomena-kabur-aja-dulu-sebagai-otokritik-untuk-lebih-baik.