Puisi Esai : Ririe Aiko
HATIPENA.COM – Jam sembilan pagi,
daun-daun kamboja masih berembun
di halaman rumah tua yang menghadap matahari.
Namun langkah nenek Ni Nyoman Reja
bukan menuju altar dupa
bukan pula menuju ranjang untuk istirahat panjang.
Ia melangkah—pelan, goyah—
menuju gedung pengadilan.
Usianya sembilan puluh dua.
Di usia yang hanya ingatan samar yang tinggal,
kadang nama cucu pun lupa,
tapi hari itu ia dipanggil
atas nama “Negara Republik Indonesia.”
Terdakwa: Pemalsuan silsilah warisan. (1)
“Apa benar, Bu Reja,
I Riyeg adalah anak dari I Made Gombloh?”
tanya jaksa dengan nada tegas.
Nenek itu menatap bingung,
seakan bertanya dalam diam:
“Siapa mereka?
Aku hanya mengingat nyanyian masa kecilku,
dan doa ibu yang dulu
meminta umur panjang, bukan persidangan.”
Orang-orang mencatat.
Pasal demi pasal dibaca lantang,
Tak ada istilah kemanusiaan,
hukum adalah keadilan yang harus ditegakkan.
Tapi jika hukum adalah pedang
mengayun tanpa pandang usia,
mengapa tak sebijak itu
saat koruptor mencuri
uang rakyat?
membiarkan anak-anak kurus
di pelosok negeri
mengunyah mimpi yang tak jadi nasi?
Para perampok berseragam
tertawa di televisi,
mengenakan batik dan senyum formalitas.
Lalu diberi remisi,
dipersilakan pulang,
membuka bisnis baru dari uang haram
yang telah diputihkan waktu. (2)
Penjara bagi mereka hanya liburan panjang.
Di negeri ini, kaum papa terus memanggul derita,
sementara para pemilik kuasa bersulang atas dosa.
Andai keadilan punya wajah,
maukah ia menunduk sejenak
melihat tubuh renta yang menggigil di kursi saksi?
Andai hukum bisa menangis,
barangkali ia tak tega
menjatuhkan pasal pada ingatan
yang sudah tinggal separuh.
Apa yang hendak ditegakkan?
Kebenaran historis yang sudah dilupakan pohon-pohon tua?
Atau sekadar formalitas hukum
agar semua tampak beres di atas kertas?
Hari itu, pengadilan berlangsung khidmat.
Nenek itu sesekali terkantuk,
tubuhnya lelah, kakinya gemetar kedinginan.
Namun kamera tetap menyala.
Dan publik menyaksikan:
ini bukan kisah sinetron,
ini potret keadilan
yang kadang lupa mengenakan nurani. (3)
Terhadap mereka yang terpinggirkan.
Di akhir sidang,
nenek itu kembali ke rumahnya,
tidak lagi membawa bunga,
hanya membawa tanda tanya besar:
“Benarkah negara ini masih punya hati
untuk yang tua,
yang ringkih,
yang hanya ingin menutup usia
dengan damai?” (*)
Catatan:
(1)https://www.detik.com/bali/hukum-dan-kriminal/d-7919070/demi-kuasai-warisan-nenek-93-tahun-jadi-terdakwa-pemalsuan-silsilah
(2)https://www.tempo.co/hukum/icw-koruptor-divonis-ringan-sepanjang-2023-dihukum-di-bawah-4-tahun-penjara-102887
(3) Video yang memperlihatkan Ni Nyoman Reja berjalan menuju ruang sidang viral di media sosial.https://youtu.be/TvOPrJ9k4tU