Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Awalnya, seperti memancarkan cahaya reformasi, seolah ada kesejahteraan di ujung sana. Makin ke sini, situasi semakin tak terkenali. Nepal sedang menuju kehancuran. Mari simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Sejarah modern punya selera humor yang aneh. Nepal, negeri mungil yang biasanya cuma disebut kalau orang bicara tentang Himalaya atau pendakian ke Everest, kini jadi headline dunia. Semula berawal dari dilarangnya scroll medsos. Pemerintah dengan bangga memblokir 26 platform digital—WhatsApp, Instagram, Tiktok, FB, YouTube, seolah-olah dengan itu rakyat akan kembali rajin baca kitab kuno. Yang terjadi justru kebalikannya, rakyat Gen-Z meledak. Bukan cuma meledak di Tiktok, tapi meledak di jalanan dengan batu, bensin, dan amarah.
Dari situ, cerita berubah jadi tragedi hyper-real. Gedung DPR dibakar, rumah Perdana Menteri digasak, bahkan Menteri Keuangan ditendang seperti bola liar. Korban tewas mencapai 51 orang, ratusan luka-luka, bank dirampok, toko habis dijarah, bahkan ribuan napi kabur. Nepal mendadak jadi trailer film distopia dengan efek spesial gratis dari amarah rakyat. Di tengah asap hitam itu, elit politik satu per satu kabur. PM KP Oli mundur, Presiden Ram Chandra Poudel ikut hengkang, ditambah empat menteri yang mengibarkan bendera putih. Negara berubah jadi kursi kosong yang menunggu siapa pun berani duduk.
Militer datang bak aktor pengganti yang terlambat masuk panggung. Mereka memasang pos pemeriksaan, memberlakukan jam malam, dan menyita lebih dari 70 senjata api. Hebat? Tidak juga. Mereka bisa menghalangi jalan, tapi tidak bisa menghalangi fakta bahwa rakyat sudah muak. Tentara bisa menahan napi kabur, tapi tidak bisa menahan generasi muda yang tumbuh dengan internet lalu tiba-tiba dipaksa hidup di zaman batu.
Seperti kisah dongeng modern, muncullah Balendra “Balen” Shah, mantan rapper yang kini jadi Wali Kota Kathmandu. Gen-Z menjadikannya simbol harapan, seolah-olah demokrasi punya plot twist, “Dari pada koruptor tua, mending rapper idealis.” Ironis? Ya. Tapi siapa peduli, Nepal sedang tenggelam, dan kadang kapal karam hanya bisa diselamatkan oleh orang yang tidak pernah diundang ke ruang rapat.
Media internasional menayangkan gambar-gambar brutal. Istri mantan PM terbakar saat rumahnya diserbu, bank dirampok, pejabat ditelanjangi. Dunia menonton Nepal seperti menonton reality show terburuk, sambil berpikir, bagaimana bisa sebuah negara jatuh hanya karena larangan medsos? Nah, di sinilah teori konspirasi masuk.
Ada yang bilang ini bukan sekadar kerusuhan, tapi eksperimen global. “Mari kita lihat apa jadinya jika satu negara dipaksa hidup tanpa internet,” kata para elite dunia yang konon sedang bosan rapat di Davos. Atau mungkin ini strategi gelap, memancing chaos agar perusahaan teknologi raksasa bisa masuk dengan paket “digitalisasi total” dan mengendalikan politik Nepal lewat server. Bahkan ada yang percaya, larangan scroll hanyalah dalih, sementara pertarungan sebenarnya adalah antara generasi tua yang masih percaya pada kursi dan generasi muda yang percaya pada layar.
Namun, di balik semua teori itu, satu kenyataan tidak terbantahkan, Nepal nyaris lumpuh total. Rakyat marah, elit kabur, militer bingung, masa depan tergantung pada apakah negeri ini mau membuka pintu reformasi atau terus terjerumus jadi bahan olok-olok dunia.
Di sinilah kita bisa bernapas lega. Untungnya, ini tidak terjadi di negeri kita. Bayangkan WhatsApp diblokir di Indonesia. Mahasiswa, emak-emak arisan, pedagang online, ojol, sampai bapak-bapak grup WA RT akan serentak turun ke jalan. Bukan karena ideologi, tapi karena pesan “Ada promo minyak goreng” gagal terkirim. Jika Nepal terbakar karena sensor, Indonesia mungkin akan terbakar hanya karena Shopee Live mendadak mati.
Nepal kini berdiri di jurang sejarah. Akan bangkit seperti phoenix atau jadi arang abadi? Dunia menunggu. Kita menonton, setengah ngeri setengah ngakak, sambil berdoa, semoga tragedi absurd ini tidak punya spin-off di negeri kita. (*)
#camanewak
Foto Ai, hanya ilustrasi