Oleh: Rusdin Tompo
Koordinator Satupena Sulawesi Selatan
HATIPENA.COM – Membawa kopi di festival literasi, mengapa tidak? Kopi dan aktivitas literasi bagai kawan karib yang saling merindu. Ketika kita membaca buku atau koran, akan terasa lebih nikmat ditemani secangkir kopi. Begitupun saat berdiskusi, kopi akan jadi pilihan minuman penambah energi yang yahud.
Dua tokoh, yang merupakan Bapak Bangsa, bisa diketengahkan sebagai contohnya. Mohammad Hatta, Wakil Presiden RI pertama, suka memanfaatkan waktu luang untuk membaca, atau bertemu kawan karibnya, Bahder Johan. Setiap kali ketemu, mereka ngopi sembari membincangkan peradaban, budaya, dan persatuan.
Soekarno pun begitu. Proklamator dan Presiden RI pertama, yang hobi kopi tubruk ini, sering berdisksi tentang pergerakan kemerdekaan Indonesia sambil ngopi bareng. Bahkan, ada kutipan Bung Karno yang terkenal, “Aku lebih senang pemuda yang merokok dan minum kopi sambil berdiskusi tentang bangsa ini, daripada pemuda kutu buku yang hanya memikirkan diri sendiri.”
Maka ketika Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusarsip) Provinsi Sulawesi Selatan menggelar Festival Literasi Sulawesi Selatan 2025, rasa-rasanya akan jadi ruang yang menarik untuk saling bertemu dengan teman-teman sesama penulis dan penggiat literasi.
Kode untuk mengajak teman bertemu sudah saya berikan di grup WhatsApp Satuoena Sulsel, dengan mengirim flyer kegiatan dari penyelenggara.
Apalagi ada stan Satupena Sulawesi Selatan, di festival yang digelar selama dua hari tersebut. Teman pemilik kedai buku dan penerbit mengisi stan itu dengan menjual buku-buku tema lokal dan dari para penulis asal Sulawesi Selatan. Tentu saja ada pula buku-buku dari penulis-penulis ternama.
Festival literasi bertema “Literasi Kuat, Sulsel Hebat: Membangun generasi cerdas, inovatif, dan kreatif menuju Sulawesi Selatan maju dan berkarakter” ini berlangsung di halaman Layanan Perpustakaan Umum Dispusarsip Provinsi Sulawesi Selatan, Jalan Sultan Alauddin, Tala Salapang, Selasa-Rabu, 21-22 Oktober 2025.
Sinyal yang saya beri itu rupanya berbalas. Fadli Andi Natsif, doktor bidang hukum dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar, menjapri saya untuk bertemu. Kami hampir dua bulan tidak bersua untuk ngopi bareng. Nasrul, juga kemudian bergabung. Kami ngopi di kantin yang berada di depan Gedung Layanan Perpustakaan Umum, tepat di area festival literasi.
Obrolan kami di sore itu, topiknya mudah ditebak, tak jauh dari buku dan buku. Meski pertemuan ini durasinya hanya sebatas satu gelas kopi susu, tetapi perbincangan santai di hari pertama festival literasi itu, boleh dikata, pas takarannya.
Di hari kedua, baru saya ketahui, ternyata stan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Enrekang (Dispustaka), menyediakan kopi bagi pengunjung di situ. Itu pun setelah ditawari Dr Irsan, S.IP, M.IP, Pustakawan Ahli Muda, yang meracik sendiri kopi layaknya barista.
Dr Irsan memperlihatkan brand lokal, Makkasia Coffee dan Ebro Coffee. Lalu meracik kopi Arabika Kalosi itu pada mesin kopi yang diletakkan di belakang buku-buku yang dipamerkan. Menariknya, merek Ebro tak hanya dipakai untuk label produk kopi tetapi juga untuk kripik bawang dan minuman sari kayu manis.
Dr Irsan menjelaskan, kopi Arabika Kalosi merupakan identifikasi geografis untuk kopi asal bumi Massenrempulu’ tersebut. Identifikasi geografis adalah tanda yang menunjukkan asal suatu barang atau produk dari suatu daerah tertentu, di mana kualitas, reputasi, dan karakteristiknya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan geografis, seperti alam dan manusia.
Sebagai informasi, kopi Arabika Kalosi, Enrekang, sejak tahun 2013, sudah mendapatkan sertifikasi Indikasi Geografis (IG) dari Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM. Ada 21 kopi terbaik Indonesia yang sudah mengantongi IG, termasuk kopi Arabika Kalosi yang disuguhkan kepada saya.
Kopi ini memiliki identifikasi geografis yang terikat pada daerah dataran tinggi Enrekang. Daerah ini memiliki kondisi alam unik berupa tanah purba yang kaya zat besi. Sehingga menghasilkan kopi dengan kualitas dan rasa khas, seperti kekentalan yang bagus, keasaman rendah, rasa cokelat, dan aroma buah jeruk yang kuat.
Sambil ngopi, sesekali mata saya menyisir judul-judul buku yang dipajang di rak. Antara lain, ada buku berjudul “Agroliterasi”, “Perihal Karrang dan Prakarsa Literasi Lokal”, “Lokalitas Enrekang dan Budaya Literasi”, juga buku “Jejak Arsitektur Rumah Duri”.
Buku terbitan lebih lama juga dipamerkan. Misalnya buku “Perjanjian Bersaudara Sawitto dan Enrekang” yang ditulis H Puang Palisuri, dan buku “Massenrempulu Menurut Catatan DF Van Braam Morris” yang diterjemahkan oleh HAM Mappasamba. Dari sampul buku-buku itu, tampak kalau merupakan koleksi lama Dispustaka.
Saya memuji Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Enrekang, yang kreatif dengan memfasilitasi penulisan dan penerbitan buku-buku tema lokal. Dr Irsan, yang juga merupakan Ketua Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Kabupaten Enrekang, mengungkapkan bahwa instansinya memang kerap mengadakan pelatihan dan menghasilkan produk dalam bentuk buku.
Keseruan ngopi di Festival Literasi Sulawesi Selatan 2025 berlanjut, ketika saya diajak bergabung bersama para dedengkot pustakawan di tenda yang hanya berjarak selangkah dari stan Dispustaka.
Di bawah tenda putih itu, ada Pustakawan Ahli Utama (Pustama) Mohammad Hasan Sijaya dan Andi Irawan Bintang. Sekretaris Dispusarsip, Andi Sucianita Hatta, juga berbaur di situ.
Ada pula Kabid Perpustakaan, Andi Sangkawana, Kepala UPT Layanan Perpustakaan, Kaharullah, Kepala UPT Jasa Kearsipan, Irzal Natsir, dan beberapa pustakawan lainnya seperti Syamsir Alam, Syamsuddin, Muh Rusli, Rezha Zarkawi, dan H Dinar.
Saya ikut nimbrung, menikmati kopi Arabika Kalosi yang hangat, dalam obrolan akrab dengan para pustakawan Dispusarsip Provinsi Sulawesi Selatan itu. Andi Ridwan, SE, M.AP, Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Enrekang, tampak semringah berada di antara orang-orang yang satu frekuensi: painung kopi.
Di era perpustakaan modern yang berbasis inklusi sosial, suasana perpustakaan memang sudah tak lagi kaku. Kehadiran stan yang menyediakan kopi, dalam sebuah even sekelas Festival Literasi Sulawesi Selatan, bisa jadi daya tarik dan menciptakan ruang sosial yang lebih ramah, mendorong pertukaran ide dan gagasan, sekaligus memperkuat ekosistem gerakan literasi, sebagaimana diharapkan.
Tidak berlebihan bila dikatakan, kopi Arabika Kalosi memberi rasa, literasi memberi penguatan makna yang hakiki. (*)