HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Pahlawan Bukan Sekadar Jasa, Tapi Juga Integritas

November 2, 2025 09:26
IMG_20251102_092021

Tanggapan Terhadap Rosadi Jamani

Wahyu Iryana | Penulis
Sejarawan UIN Raden Intan Lampung

HATIPENA.COM – Tulisan Rosadi Jamani yang menyoroti dua figur besar Sultan Hamid II dan Soeharto memang menggugah. Ia mengajak kita menatap dua wajah sejarah yang berjasa besar, tetapi juga menyimpan noda dalam catatan perjalanan bangsa. Dalam narasi yang puitis, Rosadi menggambarkan mereka sebagai “tamu kehormatan yang ditolak pesta sejarah.” Sebagai sejarawan yang terlibat dalam Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pahlawan (TP2GP), saya merasa perlu memberikan tanggapan yang lebih faktual dan berimbang agar publik memahami mengapa kedua tokoh ini belum (dan belum tentu) layak dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Karena dalam dunia sejarah, penghargaan tidak boleh hanya berdasarkan pada rasa simpati atau kebanggaan daerah, tetapi harus berpijak pada keutuhan moral, konsistensi perjuangan, dan komitmen terhadap kepentingan bangsa di atas segalanya.

Di sisi lain Sultan Hamid II: Di Antara Lambang dan Loyalitas terhadap negara Kesatuan Republik Indonesia masih diperdebatkan.
Tidak dapat disangkal, Sultan Hamid II dari Pontianak memiliki kontribusi monumental terhadap identitas visual bangsa Indonesia.

Ia adalah perancang utama lambang negara Garuda Pancasila simbol yang setiap hari kita hormati di sekolah, kantor, dan upacara kenegaraan. Peran tersebut diakui secara resmi dalam berbagai dokumen sejarah, termasuk dalam komunikasi langsungnya dengan Presiden Soekarno pada 1949–1950. Karya Sultan Hamid II adalah bukti kecerdasan estetika dan wawasan simbolik yang luar biasa.

Namun, sejarah tidak berhenti pada satu karya. Sultan Hamid II bukan hanya perancang lambang negara; ia juga tokoh politik federalis yang aktif dalam pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam masa transisi antara kemerdekaan dan konsolidasi kedaulatan, posisinya yang mendukung sistem federal dianggap oleh sebagian besar kalangan nasionalis sebagai bentuk kedekatan dengan Belanda.

Lebih jauh lagi, keterlibatannya dalam kasus APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) gerakan bersenjata di bawah pimpinan Raymond Westerling yang berupaya menggagalkan integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi catatan gelap dalam biografinya.

Meskipun beberapa pihak berpendapat bahwa tuduhan itu tidak sepenuhnya terbukti secara hukum, namun bagi kajian sejarah, fakta keterlibatan dan kedekatannya dengan kekuatan kolonial adalah realitas politik yang tidak bisa dihapus. Sejarah tidak menuntut kita menghukum, tetapi juga tidak mengizinkan kita melupakan.

Karena itu, ketika muncul dorongan agar Sultan Hamid II diberi gelar Pahlawan Nasional, TP2GP berkewajiban menilai bukan hanya dari sisi karya, tetapi juga dari sudut moral dan loyalitas terhadap Republik.

Gelar Pahlawan Nasional tidak diberikan hanya karena seseorang berjasa besar di satu bidang, tetapi karena ia menunjukkan dedikasi tanpa kompromi terhadap kemerdekaan dan keutuhan bangsa.

Maka pertanyaannya: apakah seorang tokoh yang pernah menjadi bagian dari struktur kekuasaan kolonial dan terlibat dalam gerakan yang berpotensi merongrong Republik layak disebut pahlawan nasional? Jawaban kami, berdasarkan kajian akademis, belum.

Menghormati karyanya, ya. Mengabadikan namanya dalam sejarah seni dan simbol negara, tentu saja. Namun memberi gelar Pahlawan Nasional tanpa menuntaskan perdebatan moral dan politik tentang keterlibatannya adalah bentuk pengabaian terhadap prinsip sejarah yang objektif.

Soeharto antara simbolik sebutan bapak Pembangunan dan Bayang-Bayang Kekuasaan masih dipertanyakan. Nama Soeharto berada di kutub yang berbeda, namun dilema yang sama. Selama 32 tahun memimpin Indonesia, ia mencetak berbagai capaian: swasembada pangan, pembangunan infrastruktur, stabilitas ekonomi, dan modernisasi birokrasi.

Dalam skala pembangunan fisik, jasanya nyaris tak tertandingi. Banyak yang berpendapat bahwa Indonesia tidak akan sekuat sekarang tanpa fondasi ekonomi dan administrasi yang dibangun pada masa Orde Baru.

Namun, sejarah tidak hanya menilai hasil, tetapi juga cara. Di balik capaian tersebut, tercatat pelanggaran hak asasi manusia, pembungkaman kebebasan politik, korupsi yang sistemik, dan trauma sosial yang membekas hingga kini. Tragedi 1965–1966, Tanjung Priok, Talangsari, hingga peristiwa penculikan aktivis pada masa reformasi adalah luka kolektif yang belum sepenuhnya sembuh.

Sebagai sejarawan, kami menilai bahwa gelar Pahlawan Nasional tidak dapat dipisahkan dari integritas moral dan kemanusiaan. Tak ada pahlawan yang lahir dari ketakutan rakyatnya sendiri. Sehebat apa pun pembangunan yang dilakukan, jika di atas penderitaan manusia dan penghilangan hak dasar, maka jasa itu menjadi paradoks.

Karena itu, setiap kali muncul usulan untuk menjadikan Soeharto pahlawan, resistensi publik adalah wajar. Itu bukan semata kebencian politik, tetapi bentuk kesadaran moral bahwa sejarah harus tetap berpihak pada keadilan. Mengangkat Soeharto menjadi pahlawan tanpa penyelesaian terhadap korban-korban Orde Baru akan menodai makna pahlawan itu sendiri.

Gelar Pahlawan Bukan Hadiah Politik

Dalam pandangan kami di TP2GP, gelar Pahlawan Nasional bukan bentuk pengampunan sejarah, melainkan pengakuan moral yang paripurna. Prosesnya harus melalui penelitian mendalam, verifikasi sumber primer, diskusi publik, dan pertimbangan moral. Tidak boleh ada intervensi politik, tekanan emosional, atau motif daerahisme.

Menjadikan Sultan Hamid II atau Soeharto sebagai Pahlawan Nasional tanpa melalui proses moral yang tuntas hanya akan menjadikan gelar itu alat legitimasi politik. Apalagi jika pengusulannya dilakukan menjelang momentum politik tertentu misalnya peringatan Hari Pahlawan atau tahun politik. Itu akan menurunkan martabat penghargaan negara menjadi sekadar proyek simbolik.

Sultan Hamid II adalah bagian penting dari sejarah Kalimantan Barat dan bangsa Indonesia. Ia layak dikenang, diteliti, dan dibicarakan secara terbuka. Tapi penghormatan tidak harus selalu berbentuk gelar pahlawan. Begitu juga dengan Soeharto tokoh besar yang berjasa besar sekaligus meninggalkan luka besar. Menghormatinya sebagai bagian dari sejarah bangsa tidak berarti harus mengangkatnya ke derajat yang sama dengan Soekarno, Hatta, atau Sudirman.

Bangsa yang dewasa tidak menghapus tokohnya, tapi juga tidak memutihkannya. Kita bisa menempatkan Sultan Hamid II sebagai perancang Garuda Pancasila tanpa harus menutup mata terhadap keterlibatannya dalam politik federal. Kita bisa menghargai Soeharto sebagai pemimpin pembangunan tanpa mengabaikan pelanggaran hak asasi yang terjadi di bawah pemerintahannya.

Maka, tugas sejarawan bukan untuk mengangkat atau menjatuhkan tokoh, melainkan menempatkan mereka secara proporsional. Jika suatu hari bangsa ini ingin memberikan pengakuan formal, biarlah itu lahir dari kesadaran sejarah yang matang, bukan dari tekanan politik atau romantisme nostalgia.

Sebagai penutup penulis menegaskan bahwa gelar Pahlawan Nasional bukan hadiah yang bisa dibagikan kepada siapa saja yang berjasa. Ia adalah pengakuan tertinggi negara terhadap keutamaan moral, keberanian, dan pengorbanan yang tidak bercela.

Sultan Hamid II boleh dihormati sebagai seniman lambang negara, tetapi sejarah belum bisa menempatkannya sebagai pahlawan nasional tanpa menuntaskan kontroversi loyalitasnya. Soeharto boleh dikenang sebagai arsitek pembangunan, tetapi luka bangsa belum sembuh untuk menjadikannya ikon moral.

Maka, sebelum kita tergoda menjadikan keduanya simbol “rekonsiliasi politik” atau “kebanggaan daerah,” marilah kita belajar menghormati sejarah dengan penuh tanggung jawab. Jangan jadikan gelar pahlawan proyek sesaat atau instrumen legitimasi kekuasaan. Biarlah sejarah bekerja dengan caranya sendiri pelan, objektif, dan jujur.

Karena pahlawan sejati tidak membutuhkan gelar untuk diingat, tetapi meninggalkan jejak moral yang abadi dalam hati bangsanya. (*)
Wallahualam.