Penulis Ririe Aiko
Puisi Esai 15
#30Harimenulispuisiesai
HATIPENA.COM – Puisi esai ini diangkat dari banyaknya berita korupsi yang merajalela di negeri ini –
Ibu Pertiwi menunduk pilu,
menyaksikan tanahnya dikoyak rakus,
oleh pencoleng di kursi emas,
yang kilaunya bukan dari tambang Antam, (1)
melainkan dari janji yang dilelehkan,
dicetak ulang dalam kepalsuan.
Mereka tersenyum di depan kamera,
tangannya cekatan menakar untung,
minyak yang seharusnya seember,
diubah jadi separuh cangkir. (2)
Gas yang mestinya menghangatkan dapur,
diisi dengan udara tipis.
Di pasar, ibu-ibu menawar remah kejujuran,
tetapi yang dijual hanya sisa tipu daya.
Minyak yang mendidih di wajan mereka,
berbau anyir konspirasi,
terbakar dalam api yang tak pernah penuh.
Mereka mengaduk nasib
dengan sendok berlubang,
memasak kehidupan dengan bahan yang dipalsukan.
Di istana, para pemalsu berdasi duduk rapi,
tinta kontrak diubah dalam bisikan malam,
emas dilelehkan dalam senyuman,
disulap menjadi serpihan ilusi.
Di depan mikrofon, mereka berkhotbah,
tentang kesejahteraan yang mereka lumuri noda.
Tapi di gang-gang sempit,
bocah kecil menghisap lapar,
mengunyah harapan yang dipotong separuh.
Mereka yang kaya,
menimbun emas yang tak pernah mereka gali.
Mereka yang berkuasa,
mengisi perut buncit dengan hasil korupsi.
Dan mereka yang miskin?
mengisi lapar dari berita para pemalsu negeri.
Jutaan, triliunan, hingga kuadriliun,
dihitung sebagai angka kesejahteraan banyak jiwa,
tapi tangan-tangan berjas mewah,(3)
Tega menghabiskannya untuk diri sendiri.
Di layar kaca, mereka bersolek kata,
menabur janji seperti confetti pesta,
seakan pembangunan telah sempurna,
sementara di pinggir kota,
seorang ibu menyusui bayinya
dengan air rebusan beras.
Sementara itu, Damar di perantauan,
mengayuh becaknya di jalanan berdebu,
menghitung receh yang tersisa di saku,
bertanya dalam hati:
berapa harga kejujuran di negeri ini?
Jika para petinggi banyak yang korupsi?
Di pasar, pedagang kaki lima dikejar aparat,
sementara pencoleng berkostum pejabat
dijaga ketat, dilayani hormat.
Keadilan bukan lagi pedang,
melainkan timbangan rusak
yang condong ke yang berkuasa.
Di sekolah, anak-anak menghafal angka,
tapi tak pernah belajar harga moral.
Di rumah ibadah, doa mengudara,
tapi di luar, makelar dosa menulis kontrak baru.
Lalu siapa yang masih percaya pada kebenaran?
Jika negeri ini penuh para pemalsu berdasi?
Mereka asyik berdansa di meja kuasa,
dan rakyat?
hanya penonton yang harus membayar tiketnya,
dengan keringat, air mata, dan darah. (*)
—000—
Catatan:
(1)https://www.kompas.com/jawa-barat/read/2025/03/12/145656588/membongkar-fakta-kasus-korupsi-pt-antam-kerugian-negara-rp-33-t-
(2)https://www.tempo.co/hukum/polda-banten-tangkap-pengusaha-penyunat-minyak-goreng-minyakita-dan-djernih–1219645
(3)https://www.tempo.co/ekonomi/kerugian-negara-dalam-kasus-pertamina-pertamax-oplosan-hampir-1-kuadriliun-itu-berapa-triliun–1219563