HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Pasar Budaya Racah Mampulang

October 27, 2025 07:43
IMG-20251027-WA0017

Oleh : Nurul Jannah

Ketika Budaya Menemukan Rumahnya Kembali

HATIPENA.COM – Langit Balida siang itu bagai kanvas luas yang digores matahari dengan lembutnya cahaya. Aku melangkah perlahan di atas jembatan bambu kuning yang membentang di atas hamparan sawah hijau. Di ujungnya, terpampang gapura bertuliskan: “Pasar Budaya Racah Mampulang: Maharagu Budaya Mambangun Banua.”

Dari kejauhan, terdengar suara anak-anak bermain gasing, irama yang seperti datang dari masa lalu sekaligus masa depan.

Saat itu aku tahu, di tempat itulah tambang dan budaya saling menumbuhkan kehidupan, bukan semata menggali bumi, tetapi juga menggali makna kemanusiaan.

Udara membawa aroma bambu basah, daun pisang, dan tanah hangat yang tersengat mentari. Suasana begitu akrab, seperti mengingatkan pada kenangan masa kecil yang nyaris terlupa.

Langkahku menapaki bambu yang lentur di bawah kaki, hingga kulihat seorang pria berdiri di ujung jembatan, melambaikan tangan penuh keramahan.

“Selamat datang, Bu Risyda, Bu Nurul,” sapanya dengan senyum yang meneduhkan.

“Perkenalkan, saya Sahridin, Pambakal Desa Balida. Sudah dua periode saya menjaga tempat ini.”

“Kami ingin budaya di sini tak hanya dikenang, tapi dihidupkan kembali.” ucapnya penuh keyakinan.

Aku menatap wajahnya yang teduh; terpancar semangat Banua yang sederhana, tapi menyala kuat dari dalam. Dan di situlah aku menyadari, dari Balida itulah kisah tentang tambang dan tradisi menemukan titik temu.

Dari Tambang ke Tradisi

Program ini bukan hanya wisata budaya semata. Ia adalah simfoni antara industri dan identitas, antara kemajuan dan akar tradisi.

Ketika PT Adaro Indonesia hadir di tanah Banua, mereka tidak hanya menambang batu bara, tetapi juga menggali nilai-nilai kehidupan dan kebersamaan masyarakatnya.

“Dulu banyak anak muda lupa cara membuat gasing,” tutur Pak Sahridin sambil menatap dinding bambu yang dihiasi lukisan permainan rakyat.

“Sekarang, mereka malah mengajarkan kembali pada anak-anak SD. Kami seperti menemukan jati diri kami lagi.”

Pasar Budaya Racah Mampulang lahir dari kesadaran itu; bahwa kemajuan tanpa akar budaya hanyalah bangunan tanpa fondasi.

“Maharagu Budaya, Mambangun Banua. Merawat Budaya, Membangun Desa,” gumamnya pelan, seolah berbicara kepada tanah tempatnya berpijak.

Melalui kolaborasi antara PT Adaro Indonesia, pemerintah desa, dan masyarakat, lahirlah berbagai program seperti pelatihan kerajinan tangan, penguatan SDM, kegiatan kebudayaan, serta pembangunan sarana dan prasarana untuk wisata edukatif berbasis budaya lokal.

Ketika Desa Menjadi Kelas Terbuka

Aku diajak berkeliling. Di sepanjang jalan bambu, kulihat anak-anak bermain gasing, ibu-ibu menata hasil tenunan di bale bambu, sementara di dindingnya tergambar mural tarian Banjar yang hidup oleh warna dan cerita.

“Bu, kalau ada event budaya, pengunjung bisa ribuan,” ujar sang pambakal dengan bangga.

“Bulan November nanti, Insya Allah akan ada event besar: gasing raksasa, tari tradisi, dan lomba kuliner Banjar.”

Aku memandangi wajah-wajah yang berseri di bawah sinar mentari. Ada cahaya kebanggaan di mata mereka; kebanggaan karena mampu berdiri di atas kaki sendiri.

Dalam event Pasar Racah Mampulang, tampil Seni Madihin yang diselingi canda dan petuah, pasar kuliner tradisional, pertunjukan beladiri Kuntau, dan aneka permainan rakyat yang mulai jarang ditemui.

Tempat ini pernah menjadi tujuan studi lapangan berbagai institusi, diantaranya dari Universitas Lambung Mangkurat, kampus Australia, hingga beberapa perusahaan tambang besar.

Tak heran, Pasar Racah Mampulang turut mengantarkan Adaro meraih PROPER Emas, penghargaan tertinggi di bidang lingkungan.

Mengapa Harus Ada Pasar Budaya

Karena setiap bangsa besar dimulai dari keberanian menjaga akarnya. Adaro memahami bahwa pembangunan berkelanjutan bukan hanya tentang energi, tetapi juga energi sosial dan budaya.

Pasar Budaya menjadi bukti nyata bahwa CSR yang hidup adalah CSR yang menyalakan jiwa lokal. Ia menyatukan tiga kekuatan besar: Masyarakat yang berdaya, Pemerintah desa yang terbuka, Perusahaan yang berkomitmen terhadap keberlanjutan.

“Kami ingin masyarakat tidak sekadar menjadi penonton perubahan,” ujar Pak Sahridin mantap, “tetapi pelaku sejarah yang menulis kisahnya sendiri.”

Bagaimana Budaya Dihidupkan

Di balik panggung bambu, remaja menyiapkan alat musik panting; anak-anak berlatih lagu daerah; ibu-ibu menyiapkan minuman nira dan kue tradisional. Di tengah terik matahari, papan besar bertuliskan “Denah Wisata Racah Mampulang” berdiri bangg; penanda bahwa Balida telah bertransformasi menjadi ruang belajar dan ruang kebanggaan.

Program CSR Adaro hadir memberi pelatihan keterampilan, manajemen usaha, hingga promosi digital agar pasar budaya ini terus relevan di tengah derasnya arus zaman.

Dari desa yang dulu sunyi, kini tumbuh kehidupan baru: ruang belajar, ruang usaha, dan ruang berbangsa.

Pelajaran dari Desa Balida

Dari kunjungan itu, aku belajar tiga hal penting: (1). Budaya bukan warisan, melainkan amanah. Ia harus dirawat dengan cinta dan dijaga dengan ilmu. (2.) CSR sejati adalah penghormatan terhadap manusia dan sejarahnya. Ketika industri mau mendengar, budaya tidak punah, melainkan tumbuh. (3). Kesejahteraan dan kebudayaan bukan dua kutub yang berlawanan. Bila bersatu, keduanya melahirkan masyarakat yang sejahtera lahir dan bermartabat batin.

Siang Terik di Desa Balida

Angin sore berembus lembut, membawa tawa anak-anak yang berlarian di panggung bambu.

Pak Sahridin mempersilakanku duduk di bale bambu, sambil menyuguhkan minuman dingin beraroma aren.

“Kalau nanti saya tak lagi jadi pambakal,” ucapnya lirih, “saya hanya ingin tempat ini tetap hidup, karena di sinilah jiwa Banua kami bernaung.”

Aku menyimak dengan baik. Langit Balida terasa makin teduh meski matahari masih garang. Dalam hati aku berbisik: Adaro tidak hanya menanam tambang, tetapi menanam kenangan, menanam kebanggaan, dan menanam kehidupan.

Membangun Banua bukan hanya mendirikan bangunan, tetapi menegakkan marwah budaya. Karena hanya bangsa yang menjaga akarnya, yang akan tumbuh menjulang hingga ke langit. (*)

Bogor, 26 Oktober 2025