Oleh Gunawan Trihantoro
Ketua Satupena Kabupaten Blora dan Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah
HATIPENA.COM – Di tengah gegap gempita kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI), ada satu sosok yang tetap bertahan dalam ingatan dan peran sosial, pawang hujan. Sosok ini bukan sekadar penjaga langit, tapi juga penjaga kearifan lokal yang sarat makna spiritual dan sosial.
Sebagian besar masyarakat mungkin melihat pawang hujan sebagai bagian dari masa lalu. Namun, keberadaannya hari ini justru menjadi refleksi tentang bagaimana manusia merawat hubungan dengan alam, yang belum tentu dapat dijangkau sepenuhnya oleh mesin cerdas.
AI telah menyentuh berbagai ranah kehidupan, dari otomasi industri hingga prediksi cuaca berbasis data satelit. Namun, ketika sebuah acara besar digelar dan langit mendung menggelayut, yang dicari tetaplah sang pawang hujan.
Bukan karena teknologi gagal, melainkan karena pawang hujan menyentuh ruang yang lebih subtil -dimensi kepercayaan, harapan, dan interaksi spiritual yang manusiawi. Ini ruang yang belum sepenuhnya dapat diretas oleh logika mesin.
Dalam banyak kasus, masyarakat lebih tenang ketika ada pawang hujan yang beraksi. Bukan semata karena kemampuannya mengalihkan awan, tetapi karena kehadirannya memberikan sugesti positif, semacam perasaan dilindungi oleh kekuatan tak kasatmata.
Di era digital, ketika prediksi cuaca disajikan dalam grafik dan angka, peran pawang hujan justru makin mencolok sebagai simbol resistensi terhadap dehumanisasi. Ia mengingatkan bahwa tidak semua hal dapat dipetakan dengan algoritma.
Pawang hujan hadir membawa ritual, doa, dan mantra, sesuatu yang oleh banyak orang dianggap “tidak ilmiah”, namun kenyataannya memiliki efek psikologis dan sosial yang besar. Ia menyatukan warga, memberi harapan, dan menciptakan rasa tenang.
Tidak sedikit pawang hujan yang kini memadukan pemahaman lokal dengan data digital. Mereka menyimak prakiraan cuaca, tetapi tetap menggunakan intuisi dan pendekatan tradisional dalam bertindak. Ini bentuk adaptasi yang menarik untuk direnungkan.
AI mungkin dapat menghitung probabilitas hujan dengan presisi tinggi. Tapi AI tidak bisa berdoa, tidak bisa menabur bunga, tidak bisa membaca langit dengan hati yang penuh ikhtiar. Di sinilah pawang hujan berdiri sebagai manusia seutuhnya.
Peran pawang hujan, dengan demikian, bukan sekadar teknis. Ia simbol spiritualitas dalam kehidupan modern, pengingat bahwa teknologi secanggih apa pun tetap membutuhkan sisi humanis untuk dapat dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat.
Di tengah kecanggihan teknologi yang kadang kering makna, pawang hujan menyuguhkan narasi berbeda. Ia menyampaikan bahwa manusia masih punya ruang untuk berharap pada yang transenden, untuk percaya pada hal-hal yang tak terdefinisi oleh sains.
Pawang hujan bukan lawan dari AI, melainkan pelengkap dalam lanskap peradaban. Ketika keduanya dipahami secara proporsional, maka lahirlah sinergi -teknologi bekerja dengan data, pawang hujan bekerja dengan hati dan keyakinan kolektif.
Kita mungkin hidup dalam zaman algoritma, tetapi jiwa kita masih mendambakan makna. Pawang hujan hadir sebagai penjaga makna itu. Dalam kabut data dan logika, ia membawa terang dari sisi budaya dan spiritualitas.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai belahan dunia, peran-peran serupa masih eksis, menunjukkan bahwa manusia belum siap sepenuhnya menggantikan tradisi dengan mesin. Ada aspek-aspek kehidupan yang memang dikhususkan untuk rasa.
Kita perlu menyadari bahwa keberagaman cara pandang terhadap alam adalah bagian dari kekayaan peradaban. Pawang hujan adalah manifestasi dari cara pandang yang mengedepankan keharmonisan, bukan dominasi, terhadap alam semesta.
Sebagai bangsa yang kaya akan budaya, kita mestinya tidak terburu-buru menggantikan semua peran manusia dengan kecerdasan buatan. Sebaliknya, kita perlu mempertahankan yang esensial dan memberi ruang hidup bagi yang simbolik.
Di sinilah pawang hujan menjadi penting, bukan karena dia lebih akurat dari AI, tapi karena dia menyentuh sisi terdalam dari manusia sebagai makhluk spiritual. Ia menghadirkan keajaiban kecil yang tak bisa dicetak oleh printer 3D.
Refleksi ini membawa kita pada satu kesimpulan, di era digital yang serba cepat dan instan, peran tradisi dan kebijaksanaan lokal tetap relevan. Bahkan, justru makin dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan antara modernitas dan kemanusiaan.
Pawang hujan mungkin takkan pernah menjadi bagian dari aplikasi canggih atau algoritma pintar. Tapi selama manusia masih percaya pada harapan, doa, dan kekuatan alam, pawang hujan akan selalu punya tempat dalam lanskap budaya kita. (*)