Oleh: Nurul Jannah
Tiga Minggu Genting
HATIPENA.COM – Semua berawal tiga minggu lalu. Pesan singkat dari salah satu calon penguji masuk ke layar ponselku.
“Sepertinya Risma belum layak maju sidang. Kalau dipaksakan, risikonya bisa ngulang.”
Deg. Jantung ini hampir copot membacanya. Aku tahu betul bagaimana Risma menapaki jalan panjang tugas akhirnya. Dari sejak awal ia berangkat ke perusahaan semen terbesar di Sumatera Barat, wajahnya penuh semangat. Betapa bangganya ia bisa diterima penelitian di sana. Enam bulan ia habiskan, kolokium dan seminar hasil sudah dilalui mulus. Lalu kenapa di ujung, jalan itu terasa retak?
Aku menghela napas panjang. Sebagai dosen pembimbing, tak pernah mudah menyampaikan kabar yang bisa menjatuhkan semangat mahasiswa. Namun hidup memang tidak selalu lurus seperti jalan tol; selalu ada tikungan, ranjau, dan tanjakan curam.
Air Mata dan Metodologi
Ketika akhirnya aku sampaikan kabar itu, wajah Risma pucat. Matanya berkaca-kaca, menahan perih.
“Bu… jadi… saya harus mengulang?” suaranya nyaris hilang.
“Bukan mengulang. Kita hanya harus sedikit berbelok. Perbaikan metodologi sedikit agak berat, tapi bukan berarti mustahil. Anggap saja ini ujian kesabaran. Pelangi selalu datang setelah badai.” aku berusaha menguatkan hatinya
Dan benar, sejak itu malam-malam panjang Risma dipenuhi dengan coretan, revisi, diskusi tak kenal lelah. Aku melihat bagaimana ia jatuh bangun, bagaimana tubuh lelahnya tetap dipaksa duduk menulis ulang pembahasan.
Dan, di sela-sela letihnya, aku selalu sisipkan kata penguat; “Tidak apa-apa capek hari ini, asalkan besok kau bisa tersenyum di garis akhir.”
Sepatah Kata, Seribu Kisah
Akhirnya, puncak perjuangan itu tiba. Pukul 7.10 malam, Risma berdiri di hadapan para penguji. Suaranya sempat bergetar, namun ia tegar. Lembar demi lembar presentasi disampaikannya, jawaban demi jawaban ia pertanggungjawabkan.
Lalu, ketika palu keputusan sidang dijatuhkan, semua seolah pecah. Pukul 9.30 malam, sidang berakhir. Air mata Risma jatuh.
Dengan terbata, ia menyampaikan sepatah dua patah kata sebagai ungkapan terimakasih kepada kami; tim penguji.
“Bapak, Ibu… saya berdiri di sini bukan hanya dengan hasil penelitian, tapi dengan seluruh air mata dan doa. Tiga minggu lalu saya merasa dunia runtuh dan gelap. Saya ingin menyerah, bahkan sempat ingin pulang kampung saja. Tapi Ibu Nurul, pembimbing saya menahan tangan saya agar tidak jatuh. Beliau berkata, ‘Akan ada pelangi setelah badai.’
Dan benar, malam ini saya melihat pelangi itu.
Alhamdulillah, segala syukur saya langitkan pada ilahi Robby, Allah SWT. Terima kasih Bapak Ibu; sudah menguji saya sedemikian keras, namun tetap penuh kasih. Terima kasih Ibu Nurul yang tak pernah letih mengobarkan lentera untuk saya, terima kasih juga untuk para sahabat yang ikut menangis bersama”. Risma nampak melap matanya, sebelum melanjutkan kalimat berikutnya.
“Dan, untuk Mama: yang saat ini masih dalam perjalanan menuju Bogor. Ini kado terindah untuk beliau. Mama sedih waktu tahu ujian saya ditunda. Malam ini pasti beliau bahagia…”
Dada ini terasa pecah mendengar kalimat terakhir Risma. Para penguji terlihat menunduk, beberapa mata nampak basah. Seisi ruangan larut dalam getar rasa yang tak bisa dijelaskan kata.
Pelukan Persahabatan
Begitu pintu sidang dibuka, sahabat-sahabat Risma berlari menghambur, memeluknya erat.
“Kau hebat! Kami semua tahu perjuanganmu. Kau pantas sampai di sini!” seru Lita, salah satu sahabatnya dengan mata berkaca.
Aku terdiam, menatap hujan gerimis yang turun di luar. Seolah langit pun ikut bersaksi atas momen indah ini. Jam sudah menunjukkan pukul 22.00, semua masih larut dalam haru.
Sidang Kehidupan
Kadang, kita mengira sidang hanyalah ruang kecil dengan meja panjang, deretan penguji, dan tumpukan kertas tebal. Tetapi sebenarnya, sidang akhir adalah cermin kehidupan. Di sana, seorang anak manusia belajar bahwa tidak semua jalan lurus. Ada ragu, ada gusar, ada air mata yang jatuh. Namun justru dari retak-retak itulah cahaya masuk.
Aku melihat Risma berdiri di hadapan badai, dengan tubuh yang sempat gemetar tapi hati tetap berusaha tegak. Ia membuktikan, pelangi tidak datang pada langit yang tak pernah diguyur hujan.
Dan, malam itu, sang pelangi hadir; bukan hanya untuknya, tapi juga untuk semua yang menyayanginya.
Betapa banyak anak muda menyerah sebelum garis akhir. Betapa banyak yang pulang dengan hati patah; karena tak ada yang menggenggam tangan mereka. Tapi Risma memilih bertahan. Ia memilih mengubah luka menjadi sayap. Dan, di depan mata kami, ia terbang; meski sayapnya masih basah oleh air mata.
Malam itu, sebelum berangkat rehat, aku larut dalam sujud panjang penuh syukur. Alhamdulillah, letih dan penat ini terbayarkan tuntas. Aku tahu, esok tetap penuh tantangan, namun ijinkan malam ini aku langitkan selaksa syukur padamu; Ya Robb; Terima kasih telah menghadirkan kesempatan sekali lagi, untuk menapak jalan pengabdian, menemani sang bimbingan menjemput cahaya takdirnya. (*)
Bogor, 22 Agustus 2025