HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Pencetus Negara Sebenarnya

October 30, 2025 12:08
IMG-20251030-WA0042

Oleh ReO Fiksiwan | Sastrawan

Kekuasaan politik adalah hasil dari solidaritas kelompok (asabiyyah), dan akan bertahan selama solidaritas itu kuat.” Ini menunjukkan bahwa negara bukan hanya soal hukum dan institusi, tetapi juga tentang kekuatan sosial yang menopang legitimasi kekuasaan.“ — Ibnu Khaldun (1332-1406), Mukadimah (1377).

HATIPENA.COM – Dalam lanskap pemikiran politik dan hukum Indonesia, nama Benni E. Matindas, kelahiran Manado, mungkin tak sering disebut dalam seminar akademik arus utama, namun justru di sanalah letak kekuatan dan keistimewaannya.

Ia bukan sekadar pemikir, melainkan pencetus gagasan yang melampaui batas-batas disiplin dan institusi.

Di usia 70 tahun, jejak intelektualnya menuntut kita untuk merefleksikan ulang apa yang disebut sebagai “negara sebenarnya”—sebuah gagasan yang ia rumuskan dalam magnum opus setebal lebih dari seribu halaman, yang tak hanya menantang teori-teori klasik, tetapi juga menggugat fondasi konseptual negara modern.

Benni, anak Minahasa yang uring-uringan di bangku kuliah Fakultas Hukum Unsrat, lebih memilih merambah dunia seni, sastra, dan filsafat. Ia tak pernah tunduk pada kurikulum, melainkan membentuk kurikulum hidupnya sendiri.

Bersama Revoldy Didi Koleangan Reiner Emyot Ointoe, ia menopang kelompok seni Jazz Clan di Jl. Lumimuut Tikala, menjadikan ruang itu bukan sekadar tempat berkesenian, tetapi laboratorium pemikiran alternatif serta menerbitkan majalah sastra stensilan, Ringkih.

Pada 1989, bersama saya, ia menggagas penulisan Perburuhan Pancasila bersama Departemen Tenaga Kerja, sebuah proyek ensiklopedis yang mencoba menjembatani antara ideologi negara dan realitas kelas pekerja.

Ini bukan sekadar buku, tetapi upaya merumuskan ulang relasi antara negara dan rakyat dalam kerangka Pancasila yang hidup, bukan yang dibekukan dalam pidato-pidato resmi.

Setelah krisis moneter 1998, Benni menulis buku filsafat ekonomi, Apa yang Sebenarnya Terjadi atas Rupiah dan Ekonomi Indonesia? (1998), yang mematahkan mitos invisible hand Adam Smith, menunjukkan bahwa pasar bukanlah entitas netral, melainkan arena konflik nilai dan kepentingan.

Ia menolak determinisme ekonomi dan mengusulkan etika ekonomi yang berpijak pada keadilan sosial.

Dalam Meruntuhkan Benteng Ateisme Modern (2010; PBMR Andi,2021), yang terpilih sebagai buku panduan oleh Depdiknas, Benni mengajukan filsafat ketuhanan yang tidak dogmatis, tetapi reflektif.

Ia menerbitkan menerjemahkan karya-karya Peter L. Berger (Invitation to Sociology via Daniel Dhakidae) dan Mortimer Adler, termasuk Phaedo, sebagai upaya membumikan filsafat dalam konteks Indonesia.

Selain itu, ia menulis tokoh fenomenal Permesta: Ventje Sumual: Pemimpin yang Menatap Hanya ke Depan (1998). Sebuah biografi filosofis dan politis tokoh Permesta, Ventje Sumual, sebagai patriot dan pemikir.

Namun puncak dari seluruh pergulatan intelektualnya adalah Negara Sebenarnya (2000), sebuah karya yang melampaui hampir semua teori filsafat politik dan hukum yang pernah ditulis di Indonesia.

Dari sana, lahir gagasan-gagasan yang kelak
menjadi fondasi pemikiran politiknya: bahwa negara bukanlah entitas legal semata, melainkan konstruksi historis, kultural, dan spiritual yang terus-menerus dinegosiasikan.

Buku ini bukan hanya mengkritisi negara hukum versi Hans Kelsen, atau negara integralis ala Marsilam Simanjuntak, tetapi juga menginterogasi gagasan negara paripurna dari Yudie Latif dan sejarah konstitusi dari Adnan Buyung Nasution.

Buku ini boleh disebut sebagai magnum opus Benni Matindas, karena membahas teori dan filsafat politik serta hukum secara komprehensif, melampaui banyak teori klasik dan kontemporer

Benni menolak negara sebagai entitas yang selesai. Baginya, negara adalah proses, bukan produk.

Ia menolak negara yang hanya mengatur, dan mengusulkan negara yang mendidik, merawat, dan membebaskan.

Dalam esai-esai populernya, Negarakertagama: Kimia Kerukunan(Bina Insani,2002), ia menunjukkan bahwa warisan Majapahit bukan sekadar romantisme sejarah, tetapi sumber etika politik yang bisa dihidupkan kembali.

Ia tidak membangun teori dari menara gading, tetapi dari jalanan Tikala, dari ruang-ruang diskusi, dari panggung teater, dan dari kegelisahan yang tak pernah padam.

Di usia 70 tahun, Benni E. Matindas bukan hanya seorang pemikir, tetapi pencetus.

Ia tidak sekadar menulis tentang negara, tetapi menghidupkan gagasan tentang negara yang seharusnya: negara yang berpikir, merasa, dan bertindak dengan nurani.

Negara yang tidak hanya ada di atas kertas konstitusi, tetapi hadir dalam kehidupan sehari-hari rakyatnya. Negara yang sebenarnya. (*)

#coverlagu: Lagu “Micoma” dari Kembar Grup dirilis pada 1 Mei 2016 oleh PR. Digital Pelangi dan merupakan lagu daerah Sulawesi Utara yang menggambarkan keindahan alam Minahasa serta perasaan cinta dan kerinduan.

Berita Terkait

Berita Terbaru