Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Percakapan Imajiner dengan Raja Salomo

December 21, 2024 10:30
Foto: Kecerdasan Buatan
Foto: Kecerdasan Buatan

Oleh: Albertus M. Patty

Saya: Raja Salomo, terima kasih atas kesediaan anda untuk saya temui dan saya wawancarai. Sungguh kehormatan besar bagi saya bertemu Anda di Caffe ini. Demi menghemat waktu, ijinkan saya memulai wawancara ini. Bagi saya anda itu, maaf, raja yang paradoks. Maksud saya. Anda dikenal raja yang sangat bijaksana, tetapi setelah anda turun Kerajaan anda langsung terpecah-belah karena warisan kekacauan yang anda tinggalkan. Ini dua hal yang sangat bertentangan. Ada beda antara citra dan realitas. Pertanyaan saya adalah bagaimana Anda memandang pemerintahan Anda, terutama dengan kenyataan kerajaan Anda terpecah-belah menjadi Israel Utara dan Yehuda karena kebijakan yang Anda terapkan saat anda berkuasa?

Raja Salomo: (tersenyum pahit) Hikmat yang Tuhan berikan kepadaku ternyata tidak cukup untuk mencegah kehancuran. Aku tahu, dan anda benar, kerajaan Israel terpecah karena kesalahanku—pajak tinggi yang mencekik rakyat, mega proyek yang besar-besaran, dan penindasan terhadap rakyat. Saya tak ingin menyangkalnya.

Saya: banyak pemimpin negara yang mengulang kesalahan anda. Mereka menggunakan kekuasaan untuk memperkaya keluarga dan oligarki mereka. Pajak tinggi dibebankan kepada rakyat kecil untuk membiayai proyek besar, proyek mercu suar sementara ketimpangan sosial semakin melebar. Bagaimana Anda memandang situasi ini?

Raja Salomo: (menghela napas) Itu memang pola yang berulang dalam sejarah. Ketika seorang pemimpin terlalu terfokus pada ambisi pribadi atau pada kelompok elit yg mengelilinginya, mereka melupakan tanggung jawab terhadap rakyat. Aku pernah melakukan hal yang sama dengan membangun Bait Allah dan mempercantik istanaku. Itu memang megah, tetapi aku buta terhadap penderitaan rakyat yang harus menanggung beban pajak dan kerja paksa. Padahal saat itu ada banyak kaum intelektual yang memperingati saya. Saya abaikan suara mereka karena intelektual yang ada di sekitar saya selalu mampu merasionalkan berbagai kebijakan buruk yang pemerintah saya lakukan.

Saya: Jadi, menurut Anda, apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin dalam situasi seperti ini?

Raja Salomo: Hikmatku mengajarkan bahwa kekuasaan tanpa keadilan adalah kehancuran. Pemimpin harus mendengarkan suara rakyat, bukan hanya suara para penasihat atau kelompok kaya di sekelilingnya. Jujur saja, aku gagal melakukan itu. Aku membiarkan para bangsawan, intelektual bayaran dan kerabat di sekelilingku menikmati kekayaan, sementara rakyatku merintih. Seandainya aku diberi kesempatan kedua, aku akan memastikan kebijakan yang adil dan berpihak pada kesejahteraan rakyat.

Saya: Di berbagai negara, termasuk di negara saya, proyek-proyek mercusuar sering dianggap sebagai upaya membangun citra, tetapi dampaknya terhadap rakyat kecil tidak selalu jelas. Bagaimana Anda memandang hal ini?

Raja Salomo: Proyek mercusuar adalah godaan besar bagi para pemimpin, termasuk aku. Namun, proyek semacam itu sering kali hanya menjadi monumen kesombongan. Pembangunan seharusnya fokus pada kebutuhan rakyat, seperti pendidikan yang baik yang membuat mereka mampu kokoh di tengah berbagai persaingan, fokus pada kesehatan, dan pengentasan kemiskinan, bukan hanya simbol kejayaan.

Saya: Tetapi rakyat sering merasa tidak berdaya karena suara mereka tidak didengar. Dalam demokrasi modern, harapan itu seharusnya ada, tetapi di banyak negara oligarki sangat dominan. Mereka merusak demokrasi. Bagaimana caranya melawan ini?

Raja Salomo: Aku teringat buku The Prophetic Imagination karya Brueggemann. Di situ disebutkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki visi kenabian—visi yang melampaui status quo dan berani menantang struktur yang menindas. Pemimpin yang benar adalah mereka yang mengorbankan kepentingan pribadinya untuk melayani orang banyak. Sayangnya, aku tidak memiliki keberanian itu. Aku terjebak dalam comfort zone yang membuatku terlalu nyaman dengan kemewahan.

Saya: Jadi, bagaimana Anda memandang diri Anda sekarang? Apakah Anda menyesal?

Raja Salomo: Penyesalanku sangat dalam. Aku mengabaikan tanggung jawabku sebagai raja yang seharusnya melayani rakyat. Aku terlalu sibuk membangun citra dan aliansi politik. Aku terlalu memikirkan kepentingan keluargaku. Jika aku diberi kesempatan kedua, aku akan membangun dengan fokus pada kesejahteraan rakyatku, bukan kemegahan kerajaanku. Aku akan buat rakyatku maju dan berkembang secara intelektual, bukan jadi masyarakat yang dibodohi dengan janji-janji manis. Aku akan memimpin dengan hikmat yang penuh keadilan, bukan hanya hikmat untuk menguntungkan diri sendiri.

Saya: Jika Anda mau memberi pesan kepada para pemimpin bangsa, termasuk pemimpin di negara saya, apa pesan yang hendak Anda sampaikan?

Raja Salomo: Pesanku sederhana: Jangan ulangi kesalahan yang kulakukan. Hikmat sejati adalah mendengarkan suara rakyat. Jangan hanya membangun mercusuar; bangunlah jembatan menuju kesejahteraan mereka. Jangan hanya melayani oligarki; layani mereka yang paling membutuhkan. Jangan hanya mengejar kejayaan; kejarlah keadilan.

Saya: Terima kasih, Raja Salomo. Saya harap Percakapan ini membuka mata banyak orang agar tidak terjebak pada kesalahan yang sama. Saya berharap banyak pemimpin hari ini mendengar hikmah dari penyesalan Anda.

Raja Salomo: Semoga hikmat itu diterima dengan hati terbuka. Dan Anda, jangan pernah lelah menyuarakan kebenaran, karena suara rakyat adalah suara Tuhan.


Saya menyeruput sisa kopi saya, lalu mohon ijin. Raja Salomo menyalami saya dan duduk kembali di bangkunya. Dari mobil, saya melihat Raja Salomo duduk sendirian dan merenung. Matanya menatap kosong ke arah jalan raya yang penuh dengan orang lalu-lalang. Dia kesepian!

Jakarta
21 Desember 2024