Penulis : Ririe Aiko
HATIPENA.COM – Ungkapan “perempuan harus pintar” mungkin telah berkali-kali kita dengar. Sayangnya, bagi sebagian masyarakat, kalimat ini masih dianggap sebagai jargon manis belaka, klise yang tidak berakar dalam kenyataan. Di tengah kemajuan zaman, masih banyak sudut-sudut kehidupan yang menempatkan perempuan hanya sebagai pengurus dapur, pengasuh anak, dan pengurus rumah tangga. Seolah-olah kuliah tinggi-tinggi bagi perempuan adalah kemewahan yang sia-sia, karena pada akhirnya, mereka “hanya” akan kembali ke rumah, menjadi ibu dan istri.
Pola pikir seperti ini tidak lahir dalam semalam. Ia tumbuh subur dari sistem patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pusat, sementara perempuan dianggap pelengkap, bukan pelaku utama. Dalam sistem ini, pendidikan perempuan kerap dianggap tidak sepenting pendidikan laki-laki. Bila pun diizinkan kuliah, acapkali batasan tak tertulis ikut hadir: jangan terlalu ambisius, nanti susah dapat jodoh atau, untuk apa menghabiskan uang ratusan juta, toh akhirnya hanya jadi ibu rumah tangga.
Padahal, justru karena perempuan akan menjadi ibu, maka ia harus cerdas. Perempuan yang pintar bukan hanya bekal untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk generasi yang akan ia lahirkan dan besarkan. Pendidikan perempuan adalah investasi jangka panjang yang hasilnya tidak selalu terlihat hari ini, tapi akan tampak jelas dalam sepuluh, dua puluh, atau bahkan tiga puluh tahun ke depan, dalam sikap, karakter, dan keberhasilan anak-anak yang ia didik.
Perlu kita ingat bahwa sekolah pertama dan utama bagi seorang anak adalah ibunya. Di situlah anak-anak pertama kali belajar menyusun kata, mengenal dunia, memahami baik dan buruk, serta menanamkan nilai-nilai moral. Maka, seorang ibu yang berwawasan luas akan mampu memberikan pendidikan yang kaya, tak hanya soal akademik, tapi juga tentang hidup itu sendiri: empati, keberanian, integritas, dan cinta pada ilmu.
Mengurus rumah tangga bukanlah pekerjaan rendahan. Tapi bayangkan bila peran tersebut dijalankan oleh perempuan yang cerdas. Ia tak hanya memasak dan mencuci, tetapi juga mengatur manajemen keluarga dengan efisien, menyusun anggaran rumah tangga dengan bijak, bahkan mendampingi anak belajar dengan pendekatan yang sehat dan menyenangkan. Perempuan pintar menciptakan rumah yang tak hanya nyaman, tetapi juga penuh asupan pengetahuan dan kasih sayang.
Menjadi ibu rumah tangga bukan berarti berhenti tumbuh. Pendidikan tinggi bukan hanya soal ijazah, tapi tentang proses berpikir, membangun cara pandang, dan memperluas cakrawala. Maka, perempuan boleh jadi tidak bekerja di kantor atau menduduki jabatan strategis, tapi ia tetap seorang intelektual dalam rumahnya, seorang mentor bagi anak-anaknya, dan rekan diskusi yang setara bagi pasangannya.
Jika kita ingin bangsa ini memiliki generasi yang unggul, maka kita tak bisa lagi meminggirkan peran perempuan dalam pendidikan. Investasi terbaik bukan hanya pada pembangunan infrastruktur atau teknologi, tapi pada perempuan-perempuan cerdas yang akan menjadi ibu masa depan.
Karena itu, ungkapan “perempuan harus pintar” bukanlah klise. Ia adalah keharusan. Bukan demi gelar, bukan demi gengsi, tapi demi menciptakan masa depan yang lebih baik. Untuk negeri ini, dan untuk anak-anak yang kelak akan memimpinnya. (*)