HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Perwira Patriotik

September 16, 2025 11:40
IMG-20250916-WA0044

By: Bambang Oeban

HATIPENA.COMPerwira itu, bukan hanya mengenal dinginnya baja senjata, bukan hanya menakar keberanian dari suara letusan meriam, bukan hanya mengukur keberanian dari bau mesiu atau jejak darah yang tercecer di tanah pertempuran.

Perwira itu, yang aku kenal, menyimpan nyala api di dada, tetapi api itu bukan sekadar untuk membakar, melainkan untuk menerangi jalan bangsa agar tidak tersesat di rimba kelam sejarah.

Ia berdiri, dengan wajah yang tidak pernah usang oleh umur, karena dalam darahnya mengalir sungai kata, mengalir syair-syair yang ia anyam sendiri dari pengalaman panjang melihat bangsa ini jatuh dan bangkit, terjerembab dan tegak kembali, rapuh lalu dikuatkan, dikhianati tetapi terus mencari kesetiaan.

“Wahai anak-anak negeri,” katanya, “ingatlah tanah ini tidak diwariskan begitu saja. Tanah ini adalah titipan, dengan janji dan sumpah yang ditulis dalam merah darah dan diikrarkan dalam putih jiwa. Tanah ini adalah pusaka yang harus kalian rawat seperti engkau merawat nyawa ibumu.”

Aku mendengarnya bercerita, bukan dengan teriakan, tetapi dengan suara lirih yang menusuk lebih dalam daripada gelegar bedil.
Syair-syairnya adalah senjata kedua, lebih tajam dari bayonet, lebih tahan lama dari peluru, lebih kuat dari benteng beton.

Ia tidak melawan musuh di medan perang saja, tapi juga melawan musuh di dalam dada manusia: keserakahan, kemunafikan, kebohongan, dan yang paling berbahaya, virus-virus pengkhianat yang menggerogoti tubuh bangsa dari dalam.

“Jangan biarkan virus itu masuk,” katanya.
“Virus yang merobek kain persatuan, virus yang melumpuhkan semangat gotong royong, virus yang membuat bangsa ini sibuk
bertengkar dengan dirinya sendiri sementara musuh tertawa di luar pagar.”

Aku melihat wajahnya tegas, tapi matanya penuh kasih, seperti seorang ayah yang menasihati, seperti seorang guru yang mengajar tanpa pamrih.

Ia bukan hanya perwira dengan pangkat di pundak, tetapi perwira dengan beban sejarah di punggungnya. Setiap langkahnya adalah doa, setiap tindakannya adalah janji bahwa bangsa ini tidak boleh jatuh ke dalam lubang yang sama untuk kesekian kalinya.

Ia tahu, bahwa senjata suatu hari akan berkarat, bahwa meriam suatu hari akan dibungkam oleh waktu, bahwa medan perang akan menjadi padang sepi. Tetapi kata, kata yang diucapkannya, kata yang ditulisnya, kata yang diwariskannya—itulah yang akan terus hidup, menjadi mantra yang mengingatkan generasi bahwa kemerdekaan tidak datang dari langit, tetapi lahir dari rahim penderitaan dan disusui oleh kesetiaan pada tanah air.

Wahai perwira jiwa bangsa, engkau adalah cermin yang jernih bagi mereka yang kini duduk di kursi kekuasaan, agar mereka tahu bahwa jabatan bukanlah hak, melainkan amanah.

Engkau adalah cambuk yang halus, agar rakyat tidak kehilangan semangat di tengah badai fitnah dan kepalsuan. Di tanganmu, syair adalah peluru. Di dadamu, cinta adalah benteng. Di langkahmu, keberanian adalah jalan panjang yang tidak pernah kau biarkan redup.

Kita mendengarmu, Perwira, di tengah hiruk pikuk zaman yang bising oleh iklan, gawai, dan warta bohong. Kita mendengarmu, meski suaramu lirih, meski banyak yang pura-pura tuli, meski sebagian menertawakanmu karena memilih menulis syair ketimbang memamerkan senjata. Tetapi sejarah tahu: peluru hanya bisa menghentikan tubuh, sedang kata bisa menggerakkan peradaban.

Engkau berkata: “Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang paling banyak hartanya, tetapi bangsa yang paling banyak setia pada janjinya. Bangsa yang kuat bukanlah bangsa yang paling besar tentaranya, tetapi bangsa yang paling teguh menjaga akarnya. Bangsa yang hidup bukanlah bangsa yang sibuk berteriak di jalanan, tetapi bangsa yang tahu bagaimana caranya duduk bersama dan mencari solusi tanpa menanggalkan nurani.”

Dan aku tahu, pesan itu bukan sekadar syair kosong. Itu adalah darahmu sendiri, yang kau tumpahkan lewat kata-kata agar tidak ada lagi darah yang tertumpah di tanah ini.

Wahai bangsaku, apakah engkau mendengar?Apakah engkau masih punya telinga untuk mendengar pesan perwira ini? Apakah engkau masih punya mata untuk membaca tanda-tanda zaman? Apakah engkau masih punya hati untuk membedakan antara cinta tanah air dengan cinta diri sendiri?

Perwira itu menatap jauh ke depan. Ia tahu, jalan bangsa ini panjang, berliku, penuh jebakan dan ranjau.

Ia tahu, tidak ada jaminan kita akan sampai jika kita berjalan dengan sombong, jika kita membiarkan virus pengkhianatan menginjak-injak persatuan, jika kita lebih mencintai kepentingan pribadi daripada kepentingan ibu pertiwi. Tetapi ia tetap percaya. Percaya pada darah yang sama yang mengalir di tubuh setiap anak bangsa.

Percaya pada ruh yang sama yang pernah berikrar di tahun empat lima. Percaya pada doa yang sama yang pernah diucapkan para ibu ketika anaknya berangkat perang.

Ia menutup syairnya dengan lirih: “Jangan pernah lagi ada perpecahan. Jangan pernah lagi ada saudara yang menghunus keris pada saudaranya. Jangan pernah lagi ada virus yang menyusup ke dada dan membuat kita buta pada kebenaran. Kita hanya punya satu tanah, satu langit, satu bangsa, satu bahasa, satu cita-cita.

Dan jika engkau lupa pada itu semua, ingatlah aku, perwira yang tidak hanya bertempur dengan senjata, tetapi juga bertempur dengan kata.”

Dan aku pun menuliskan ini, agar pesan itu tidak hilang, agar kata itu menjadi api yang terus menyala, agar bangsa ini tidak lagi mudah dipatahkan, agar virus perusak nusa bangsa tidak menemukan tubuh untuk diserang, karena kita semua sudah kebal oleh syair-syair perwira jiwa bangsa.

Perwira itu bernama Bayu Tirta, yang pernah aku kenal, Salam Hormat Jenderal!

Dari Timur Bekasi, Senin 15 Sept 2025 22.50