Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Pesan Universal Pertama: Realitas Itu Bersifat Spiritual

March 30, 2025 16:56
IMG-20250330-WA0066

Oleh Denny JA

10 Pesan Spiritual yang Universal dari “Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama” (1)

HATIPENA.COM – Di ujung jalan Gurun Andalusia, sebuah pertemuan mengubah sejarah. Matahari Andalusia membakar gurun pasirnya di tahun 1219.

Seorang pemuda Italia, Francis dari Assisi, melangkah dalam diam menuju wilayah musuh. Ia bukan prajurit, melainkan seorang biarawan Katolik yang membawa keberanian jenis lain.

Mengalahkan rasa takutnya, ia membawa serta cinta tanpa syarat dan keyakinan bahwa Tuhan tak mengenal batas agama. Tujuannya jelas: menemui Sultan Malik al-Kamil, penguasa Mesir, di tengah Perang Salib. (1)

Ia menjumpai penguasa yang sedang berperang puluhan tahun dengan komunitasnya. Dunia saat itu tenggelam dalam darah dan kebencian.

Namun Francis membawa bahasa yang lain: dialog, doa, dan kedamaian. Di luar dugaan, Sultan juga menyambutnya, bukan sebagai musuh, tapi sebagai tamu agung.

Mereka berbicara berhari-hari, tidak tentang kemenangan atau kekuasaan, melainkan tentang Tuhan, kemanusiaan, dan jiwa manusia.

Ketika Francis kembali ke Eropa, ia tidak membawa kemenangan militer. Ia membawa kesadaran spiritual universal. Bahwa di balik dogma, yang bisa memicu perang puluhan tahun, ada cahaya yang sama yang menerangi semua jalan.

-000-

Dari kisah Francis, kita melangkah menuju inti dari semua agama besar: kesadaran akan kesatuan.

Seperti benang halus yang merajut keberagaman, Tauhid, Dharma, dan Logos hadir sebagai cara manusia menyebut hukum kosmis yang mengatur semesta.

Dalam Islam, Tauhid adalah pengakuan mutlak atas keesaan Tuhan. “Katakanlah: Dialah Allah Yang Maha Esa.” (QS. Al-Ikhlas: 1).

Dalam Yahudi dan Kristen, monoteisme tertulis dalam seruan Shema: “Tuhan itu Esa.” (Ulangan 6:4)

Dalam Hindu, Brahman melampaui semua bentuk, menjadi satu realitas tertinggi di balik semua wujud. “Semua jalan menuju kepada-Ku.” (Bhagavad Gita 4:11).

Buddha memperkenalkan Dharma, hukum semesta yang mengatur keteraturan hidup. “Dharma adalah hukum universal yang melampaui segalanya.” (Dhammapada 183).

Khonghucu mengenal Tian, langit yang mengatur segalanya dalam diam.

Stoisisme mempercayai Logos, akal ilahi yang menjadi blueprint semesta. “Hidup sesuai dengan alam adalah hidup sesuai dengan kehendak Logos.” (Marcus Aurelius, Meditations 4.3)

Aneka agama besar dan filsafat Stoisisme mengirimkan pesan yang sama: manusia itu makhluk spiritual. Alam semesta dipenuhi energi spiritual. Ada yang tak sepenuhnya terjangkau tuntas dan habis oleh inderawi manusia, yang disebut spiritual itu.

-000-

Setiap ajaran di atas mengajak manusia melihat dirinya bukan sebagai pusat segalanya, tetapi sebagai bagian dari orkestra semesta yang bergerak dalam satu harmoni ilahi.

Kesadaran ini melampaui identitas, keyakinan, dan batas geografis. Ia menanamkan dalam jiwa manusia sebuah pemahaman: bahwa perbedaan bukanlah penghalang, melainkan pintu menuju penghayatan yang lebih dalam tentang cinta dan penciptaan.

Bahwa hidup yang sejati adalah hidup yang selaras dengan hukum kosmis, bukan ego personal.

Mengapa Kesadaran Ini Penting Bagi Manusia?

1.  Keragaman sebagai Cermin Cahaya yang Sama

Di zaman yang diganggu oleh fanatisme dan fragmentasi, kesadaran spiritual menghadirkan ruang sunyi tempat semua suara menemukan nada dasar yang sama.

Keragaman adalah pantulan Tuhan dalam berjuta warna.

Kita tak perlu seragam untuk saling memahami. Justru dalam perbedaan itulah kita mengenal keindahan dari keberadaan. Sebagaimana dikatakan Bhagavad Gita: “Semua jalan menuju kepada-Ku, meskipun berbeda-beda.”

2.  Tanggung Jawab Moral terhadap Sesama dan Alam

Kesatuan bukan sekadar gagasan metafisik, melainkan fondasi tanggung jawab kita. Ketika kita menyadari manusia, sungai, pohon, dan bintang berasal dari sumber yang sama, kita tak lagi memandang alam sebagai objek eksploitasi.

Kita menjaga alam dan lingkungan sebagai perpanjangan jiwa kita sendiri.

Dalam bahasa kontemporer, ini adalah bentuk eco-spirituality. Yaitu kesadaran Bumi bukan hanya tempat tinggal, tetapi tubuh bersama yang kita rawat.

Dalam Islam, manusia disebut khalifah fil-ardh—penjaga bumi. Dalam Stoisisme, alam adalah logos yang hidup. Dalam Buddha, melukai makhluk lain berarti menciptakan penderitaan sendiri.

3.  Kedamaian yang Tumbuh dari Kesadaran Batin

Kedamaian sejati tak lahir dari kekuasaan atau kekayaan, tapi dari keselarasan antara pikiran, tubuh, dan semesta.

Psikologi modern menyebutnya mindfulness: kesadaran penuh terhadap saat ini, terhadap keutuhan hidup, terhadap keheningan di balik kebisingan.

Tauhid mengajarkan ketenangan dalam tawakkal. Dharma mengajarkan pelepasan dari ilusi dunia.

Dan filsafat Stoisisme mengajarkan keteguhan hati dalam menghadapi apa pun. Dalam semua itu, manusia belajar berdamai dengan kenyataan.

Sebagaimana ditulis Rumi:

“Ketahuilah bahwa setiap atom di alam semesta memuji Tuhan dalam diam.
Langit bertasbih dalam gerakan, daun-daun berdoa dalam keheningan.”

-000-

Pada suatu malam di Konya, Jalaluddin Rumi berdiri sendirian di halaman rumahnya. Langit bertabur bintang, dan bumi bernapas dalam diam.

Ia melihat bintang-bintang menari dalam orbitnya, angin menyapa daun dengan lembut, dan suara dalam dirinya berbisik: semua bergerak dalam irama yang sama.

Rumi tak hanya melihat alam. Ia mendengarnya berzikir. Ia menulis:

“Semua makhluk bergerak dalam tarian semesta,
Setiap langkah adalah doa, setiap gerakan adalah tasbih.”

Bagi Rumi, memahami hidup bukan sekadar memahami nasib pribadi, tapi mengenali dirimu sebagai bagian dari semesta yang hidup dan sadar.

Di sinilah spiritualitas menjadi pengalaman langsung, bukan sekadar ajaran.

-000-

Namun, perjalanan menuju kesadaran spiritual universal bukan tanpa rintangan. Di dunia yang semakin terfragmentasi oleh kepentingan politik, ekonomi, dan ideologi, dogma sering kali digunakan sebagai alat pemisah daripada jembatan.

Fanatisme tumbuh subur di ruang-ruang yang kehilangan dialog. Eksploitasi alam terus terjadi karena manusia lupa ia bagian dari semesta, bukan penguasanya.

Kesadaran spiritual menuntut keberanian untuk melawan arus, melampaui ego, melampaui batas-batas buatan, dan melampaui kenyamanan.

Ia mengajak kita bertanya: apakah kita siap membuka hati untuk memahami yang berbeda? Apakah kita mampu melihat Tuhan dalam wajah musuh, dalam suara alam yang terabaikan, dan dalam keheningan batin kita sendiri?

Sebagaimana Francis dari Assisi berani melangkah ke wilayah musuh dengan cinta sebagai senjatanya, kita pun dipanggil untuk melangkah keluar dari zona nyaman menuju dunia yang lebih inklusif.

Kesadaran spiritual tak dimulai dari surga, tetapi dari pertemuan antara hati yang terbuka dan dunia yang luka.

Ketika kita memahami Tauhid, Dharma, dan Logos bukan sebagai doktrin yang eksklusif, tapi sebagai pantulan dari satu kebenaran yang tak terucapkan, kita menjadi lebih lembut, lebih bijaksana, dan lebih berani mencintai.

Dalam dunia yang penuh konflik, pemahaman spiritual ini adalah napas panjang yang membuat kita tetap hidup. Ia adalah kesadaran bahwa di balik keberagaman yang bising, ada sunyi yang menyatukan.

Tuhan tak hanya ditemukan di bait ibadah, tapi juga di dalam tetes embun, di mata anak kecil, dan dalam pelukan bumi.

Sebagaimana Francis dari Assisi menemukan Tuhan dalam wajah Sultan, kita pun dipanggil menemukan Tuhan dalam wajah-wajah yang berbeda dari kita.

Di sinilah spiritualitas bukan jalan naik ke langit, tapi perjalanan turun ke dalam hati, dan kemudian menyentuh dunia.

Pesan spiritual universal pertama dari “Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama,”: Realitas bersifat Spiritual!

-000-

Apa itu realitas bersifat spiritual? Adakah sains mendukung ini? Apa itu agama sebagai kekayaan kultural milik kita bersama? Di mana posisi wahyu dalam pandangan ini?

Fisikawan kuantum dan filsuf kesadaran berpendapat bahwa realitas adalah spiritual karena kesadaran menjadi fondasi alam semesta.

Eksperimen kuantum seperti double-slit menunjukkan partikel berperilaku berbeda saat diamati. Ini menyiratkan kesadaran memengaruhi realitas.

Eugene Wigner, pemenang Nobel Fisika, berpendapat kesadaran pengamat menyebabkan kolaps fungsi gelombang, menjadikan kesadaran sebagai unsur mendasar eksistensi.

Pandangan ini mendekati idealisme metafisik, ketika realitas material hanyalah pantulan dari pikiran kosmis.

Buku Rekomendasi untuk pandangan ini: Symmetries and Reflections: Scientific Essays – Eugene Wigner.

Ini renungan dari raksasa ahli Fisika kuantum lain: Max Planck:

“Ilmu pengetahuan tidak dapat memecahkan misteri terakhir alam, karena pada akhirnya kita sendiri adalah bagian dari misteri yang kita coba pecahkan.” (2)

Fisika klasik, sejak Newton, menggambarkan dunia sebagai mesin besar yang bergerak sesuai hukum deterministik.

Namun, fisika kuantum membuka pintu menuju dunia yang lebih misterius. Ini dunia di mana kesadaran tampaknya berperan dalam membentuk kenyataan.

Pada level subatomik, partikel menunjukkan perilaku gelombang dan partikel secara bersamaan hingga diamati. Dalam eksperimen double-slit, elektron bergerak seperti gelombang hingga diamati, kemudian berubah menjadi partikel yang terlokalisasi.

Fenomena ini dikenal sebagai kolaps fungsi gelombang, dan inti perdebatan ini membawa fisikawan ke kesimpulan mengejutkan: kesadaran pengamat berperan dalam membentuk realitas.

Eugene Wigner, pemenang Nobel Fisika, dalam bukunya Symmetries and Reflections, menyatakan bahwa kesadaran adalah elemen penting dalam proses kuantum.

Baginya, realitas hanya mengambil bentuk definitif ketika disadari oleh pengamat yang sadar. Pandangannya menggugah refleksi bahwa realitas fisik berakar pada kesadaran—sebuah entitas spiritual yang melampaui materi.

Namun, dalam laboratorium yang sama, para ilmuwan masih berdebat:
Apakah kesadaran memang pencipta realitas,
ataukah ia sekadar penonton dalam teater kuantum yang absurd?

Fisikawan Bohr mengingatkan: “Jangan terburu memeluk mistisisme, alam semesta mungkin hanya bermain teka-teki dengan logika kita.”

Di sini, sains dan spiritualitas berbisik dalam bahasa yang sama: bahwa realitas adalah misteri yang tak sepenuhnya terjangkau, dan kerendahan hati adalah jembatan menuju kebijaksanaan.

-000-

“Wahyu turun dari langit, tetapi ia berakar di bumi.”

Agama, meskipun berasal dari wahyu ilahi yang transenden, tak terhindarkan menjadi bagian dari kultur saat memasuki sejarah manusia.

Ketika wahyu diwahyukan, ia berpakaian bahasa dan simbol-simbol kultur lokal, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari tradisi dan nilai-nilai masyarakat.

Bahasa adalah produk kultur, dan saat wahyu diartikulasikan dalam bahasa manusia, ia menyerap nuansa kultural yang membentuk tafsirnya.

Setiap tradisi keagamaan menunjukkan bagaimana elemen transendensi menjadi bagian dari kultur:

•   Islam di Arab: Ajaran tauhid berpadu dengan hukum adat dan tata sosial masyarakat.

•   Kristen di Barat: Pesan kasih Kristiani membentuk etika moral dalam kultur Eropa.

•   Hindu di India: Konsep dharma menyatu dalam sistem sosial dan ritual budaya.

Wahyu tidak bisa eksis di luar konteks budaya, karena manusia memahami kebenaran transenden melalui simbol, ritus, dan bahasa kultur.

Bahkan penafsiran wahyu berkembang seiring waktu, menyesuaikan diri dengan dinamika sosial.

Dalam proses ini, agama menjadi jiwa kultur yang menjaga makna transendensi dalam kehidupan manusia.

Agama adalah sistem simbol yang memberi makna pada pengalaman manusia, menyelaraskan realitas transenden dengan tatanan dunia.

Maka, agama adalah wajah transendensi dalam kultur, dan kultur adalah ekspresi sosial dari wahyu yang hidup.

“Ketika wahyu masuk ke dalam sejarah, ia menjadi kultur. Dan di dalam kultur, wahyu menemukan bentuk yang menghidupkan makna spiritual bagi peradaban.”

-000-

Di balik segala perbedaan yang terlihat, ada keheningan yang menyatukan.

Ketika Francis dari Assisi menatap wajah Sultan Malik al-Kamil, ia menemukan Tuhan di tempat yang tidak diduga. Di situ, batas antara agama, budaya, dan tradisi menghilang. Hanya cahaya kesadaran universal yang bersinar.

Begitu pula wahyu. Ketika ia masuk dalam sejarah, ia menjadi kultur, mengakar dalam bahasa, adat, dan simbol manusia. Dalam proses itu, dimensi spiritual wahyu tetap hidup dalam setiap ritus dan nilai-nilai budaya.

Esai ini juga mengajukan satu term baru: quantum spirituality ethics. Ini etik soal ketidakpastian kuantum yang menginspirasi kerendahan hati dalam beragama.

“Jika elektron bisa berada di dua tempat sekaligus, mengapa kebenaran agama harus terkurung dalam satu tafsir?”

Di dunia yang terus berubah, spiritualitas universal ini menjadi jembatan antara hati yang terpisah. Ia mengingatkan kita bahwa di balik keragaman, Tuhan hadir di setiap denyut kehidupan.

Dan di situlah, realitas akhirnya menjadi spiritual.***

Mekkah, di Hari Lebaran 30 Maret 2025

CATATAN

(1) Francis dari Assisi jumpa Sultan Malik al-Kamil
Meeting Sultan Malik al-Kamil: St. Francis in a Foreign Land | Franciscan Media

(2) Kutipan dari Max Planck, Bapak Fisika Kuantum, pemenang Nobel Fisika 1918
Relativity, the Absolute, the Human Search for Truth: Nobel Laureate and Quantum Theory Originator Max Planck on Science and Mystery – The Marginalian

-000-

Ratusan esai Denny JA soal Filsafat Hidup, Sejarah, Sastra, Politik, Agama dan Spiritualitas dapat di lihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/1B6xMHwunt/?mibextid=wwXIfr