Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Peta Jalan Agama di Zaman Artificial Intelligence

March 19, 2025 10:56
IMG-20250319-WA0085

Epilog

Kekosongan Teori Sosiologi Agama di Era AI (9)

Oleh Denny JA

HATIPENA.COM – Tahun 1831, seorang pemuda berusia 22 tahun berlayar dari Inggris dengan kapal HMS Beagle. Ia berangkat dalam ekspedisi lima tahun mengelilingi dunia.

Di pulau-pulau Galapagos, ia mengamati burung finch memiliki paruh yang berbeda-beda, tergantung pada makanan di habitatnya.

Pengamatan sederhana ini, bertahun-tahun kemudian, melahirkan sebuah teori yang mengguncang dunia: teori evolusi oleh seleksi alam.

Pemuda itu adalah Charles Darwin. Sebelum Darwin, manusia memandang kehidupan sebagai sesuatu yang statis.

Namun, Darwin menunjukkan kehidupan itu berkembang, berubah, dan beradaptasi seiring waktu. Teorinya tidak hanya menjelaskan masa lalu tetapi juga membuka cara pandang baru untuk melihat masa depan.

Sejarah menunjukkan ketika zaman berubah, ada pemikir yang mencari polanya. Mereka menangkap kompleksitas, menyederhanakannya, dan menjadikannya teori.

Teori ini bukan hanya refleksi masa lalu, tetapi juga peta jalan bagi masa depan.

Begitulah yang terjadi dalam agama. Ketika zaman berubah, agama pun berevolusi. Setiap era melahirkan pemikir yang menata ulang pemahaman keagamaan agar tetap relevan.

Kini, sekali lagi kita berada di titik perubahan besar: era kecerdasan buatan (AI). Teknologi ini bukan sekadar alat, tetapi juga mengubah cara manusia berpikir, beragama, dan mencari makna hidup.

Jika Darwin menemukan pola perubahan dalam biologi, bagaimana dengan perubahan dalam dunia sosiologi agama di era AI?

-000-

Sepanjang sejarah, perubahan besar dalam sosiologi agama sering kali diawali dengan pemikiran yang menata ulang pemahaman lama.

Max Weber dan Agama sebagai Kekuatan Sosial

Salah satu teori besar tentang sosiologi agama datang dari Max Weber. Ia seorang sosiolog Jerman. Dalam bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Weber menghubungkan nilai-nilai agama Protestan dengan munculnya kapitalisme modern.

Ia menunjukkan agama tidak hanya soal iman, tetapi juga faktor ekonomi dan sosial yang membentuk peradaban.

Di sisi lain, Karl Marx melihat agama dari sudut pandang yang berbeda. Baginya, agama adalah opium rakyat, alat yang digunakan oleh penguasa untuk mempertahankan status quo.

Marx tidak melihat agama sebagai wahyu suci, tetapi sebagai bagian dari struktur sosial yang harus dianalisis secara kritis.

Dua contoh ini menunjukkan bagaimana pemikiran agama berkembang seiring waktu. Sekarang, di era AI, kita memerlukan teori baru yang menangkap bagaimana agama berevolusi di dunia yang semakin digital.

-000-

Saya menyusun tujuh prinsip utama yang menjelaskan bagaimana agama dan spiritualitas mengalami perubahan di era AI:

1.  Keyakinan agama tak berkorelasi dengan kualitas kehidupan bernegara. Negara yang paling religius tidak selalu yang paling sejahtera, bersih dari korupsi, atau bahagia. 

Sebaliknya, data 111 negara menunjukkan negara dengan mayoritas populasi menyatakan agama penting, cenderung di negara itu pemerintahannya korup (Data 2009, 2023).

Negara yang paling bersih dari korupsi (TI, 2024) adalah negara skandinavia. Di negara itu hanya di bawah 25 persen yang menyatakan agama penting.

Sementara di negara yang di atas 90 persen populasinya menyatakan agama penting seperti Indonesia (Muslim), India (Hindu), Thailand (Budha), Filipina (Katolik), korupsi pemerintahannya cukup tinggi.

Data ini menunjukkan faktor politik, ekonomi, dan sejarah lebih dominan daripada sekadar tingkat religiusitas untuk membangun kualitas hidup bernegara.

2.  Bertahannya keyakinan agama bukan karena kebenaran faktual. Agama bertahan bukan karena bukti empiris, tetapi karena fungsinya dalam memberi makna dan komunitas. 

Dua agama paling besar yang bertentangan soal fakta sejarah, dua- duanya bisa tetap
hidup (Kisah anak Nabi Ibrahim yang akan dikorbankan, Ishak (menurut Kristen) versus Ismail (menurut Islam).

3.  Agama bukan lagi satu-satunya pedoman untuk hidup bahagia dan bermakna. Psikologi positif dan neuroscience kini menawarkan cara ilmiah untuk menemukan kebahagiaan.

Saya mengembangkan formula berdasarkan 30 tahun riset positive psychology dengan singkatan 3P + 2S (Personal Relationship, Positivity, Passion, Small Winning dan Spiritual Blue Diamonds).

4.  Era AI mengubah peran otoritas agama. AI memungkinkan individu untuk memahami agama tanpa perantara ulama atau pendeta.

Pertanyaan apapun soal hidup dan iman, misalnya, dalam hitungan detik bisa diberikan dari berbagai tafsir agama, filosofi dan science.

Individu bebas memilih jawaban yang mana yang paling sesuai dengan kesadaran dan kebutuhannya.

Algoritma itu bisa membandingkan 1.236 interpretasi kitab suci dari berbagai era.

Individu akan memilih informasi AI yang imparsial (dan menyajikan beragam spektrum) daripada otoritas agama yang dianggap terbelenggu bias sejarah dan hanya satu tafsir.

Di masa lalu, pewahyuan datang dari suara yang dianggap suci. Kini, algoritma membisikkan jawaban dalam bahasa data.

Dulu, para pendeta, ulama, biksu menafsirkan kitab untuk umat.
Kini, jutaan model AI menafsirkan teks suci dengan presisi statistik. Tapi, apakah kebenaran lebih dekat ketika diolah dalam angka?

5.  Agama semakin menjadi warisan kultural milik bersama. Hari raya agama kini dirayakan secara sosial oleh penganut agama lain. Mulai terjadi trend universalisasi ajaran agama agar bisa dinikmati siapapun, termasuk yang bukan penganut agama itu.

Meditasi dari agama Budha dan Hindu kini dikembangkan dan bisa dinikmati siapapun tanpa perlu menjadi penganut agama itu.

6.  Tafsir agama yang bertahan adalah yang sesuai dengan hak asasi manusia. Tafsir konservatif yang menolak HAM akan semakin ditinggalkan.

Dulu perbudakan dan perlakuan diskriminatif kepada perempuan pernah dibenarkan oleh tafsir agama, tapi kini tafsir itu mulai ditinggalkan.

7.  Komunitas menjadi kunci penyebaran gagasan agama di era baru. Tanpa komunitas, ide-ide besar akan sulit bertahan dan menyebar.

Di era digital, komunitas virtual menjadi ruang baru bagi pertukaran gagasan keagamaan.

Platform seperti Discord, Reddit, dan grup WhatsApp tidak hanya menghubungkan penganut agama dari berbagai belahan dunia, tetapi juga menciptakan interpretasi baru tentang teks suci.

Misalnya, di sebuah forum online, sekelompok pemuda Muslim dari Indonesia, Mesir, dan Amerika Serikat berdiskusi tentang bagaimana AI dapat membantu memahami Al-Qur’an secara lebih inklusif.

Mereka menggunakan model bahasa AI untuk menganalisis ayat-ayat yang sering dianggap kontroversial, menghasilkan tafsir yang lebih kontekstual dan relevan dengan kehidupan modern.

Ini menunjukkan komunitas virtual bukan hanya tempat berkumpul, tetapi juga laboratorium bagi evolusi pemikiran keagamaan.

Prinsip-prinsip ini menjadi peta jalan bagi dunia agama di tengah revolusi AI.

Dalam membangun teori di atas, saya menggunakan mixed methodology, yang menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.

Pendekatan kuantitatif menggunakan survei global, data statistik, dan indeks kebahagiaan untuk melihat pola umum dalam kehidupan beragama.

Sedangkan pendekatan kualitatif melibatkan studi kasus, wawancara mendalam, dan analisis sejarah untuk memahami perubahan agama di berbagai belahan dunia.

Metode ini berbeda dari pendekatan klasik di era Durkheim, Weber, dan Marx yang lebih menekankan pada teori sosial dengan data terbatas.

Para sosiolog klasik seperti Durkheim, Weber, dan Marx melihat agama sebagai fenomena yang statis atau sebagai alat kekuasaan.

Namun, teori agama di era AI menambahkan beberapa dimensi baru.

•   Agama dalam era digital: Bagaimana AI mengubah cara manusia beragama, mencari Tuhan, dan memahami teks suci.

•   Dinamika komunitas virtual: Bagaimana keimanan berkembang dalam jaringan digital, di luar institusi tradisional.

•   Persaingan antara agama dan sains dalam pencarian makna: Dulu, sains dan agama sering dipandang bertentangan. Kini, psikologi positif mulai mengambil peran yang dulu dimiliki agama dalam menjawab pertanyaan eksistensial manusia.

Dengan demikian, teori ini bukan hanya reinterpretasi dari sosiologi agama klasik, tetapi juga pembaruan yang relevan dengan zaman.

-000-

Seorang pemuda menatap layar ponselnya. Ia mengetik pelan, seakan pertanyaannya adalah doa: Aku ingin hidup penuh makna. Bagaimana caranya?

Jawaban datang dalam sekejap. Dari sudut dunia yang tak terlihat, ribuan suara berkumpul dalam algoritma.

  1. Islam (Al-Qur’an)

Surah Adh-Dhariyat (51:56)
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”

Ayat ini menegaskan bahwa tujuan utama penciptaan manusia dalam Islam adalah untuk beribadah kepada Allah dengan penuh ketulusan.

  1. Kristen (Alkitab – Perjanjian Baru)

Kolose 3:23

“Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”

Ayat ini mengajarkan bahwa segala bentuk kerja dan ibadah harus dilakukan dengan ketulusan, bukan untuk pamer atau kepentingan duniawi.

Roma 12:1

“Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.”

Ibadah yang sejati dalam Kristen adalah mempersembahkan hidup sepenuhnya untuk Tuhan, dengan hati yang tulus.

  1. Hindu (Bhagavad Gita)

Bhagavad Gita 9.22
“Tetapi mereka yang menyembah-Ku dengan cinta, dengan sepenuh hati, Aku berikan mereka semua yang mereka butuhkan dan Aku menjaga mereka.”

Dalam Hindu, ibadah dengan cinta dan pengabdian (bhakti) adalah jalan utama menuju pencapaian spiritual.

Bhagavad Gita 3.19

“Karena itu, lakukan tugasmu dengan ikhlas, tanpa mengharapkan hasil. Dengan cara ini, seseorang mencapai kebebasan tertinggi.”

Ayat ini menegaskan konsep karma yoga, yaitu berbuat tanpa mengharapkan imbalan, sebagai bentuk ibadah sejati.

  1. Buddha (Dhammapada)

Dhammapada 183
“Jangan berbuat kejahatan, perbanyak kebajikan, sucikan hati dan pikiran – itulah ajaran para Buddha.”

Dalam ajaran Buddha, ibadah bukanlah sekadar ritual, tetapi praktik moral dan penyucian batin yang dilakukan dengan keikhlasan.

Sutta Nipata 503
“Orang yang bijaksana tidak mengejar kepentingan pribadi, tetapi hidup untuk kesejahteraan semua makhluk dengan hati yang murni.”

Ayat ini menekankan bahwa kebajikan sejati adalah melayani sesama dengan niat yang tulus dan tanpa pamrih.

Dari berbagai kitab suci, terlihat bahwa ibadah dengan ikhlas, tanpa pamrih, dan penuh ketulusan adalah nilai yang dijunjung tinggi di semua tradisi agama.

Ibadah bukan hanya ritual, tetapi juga cara hidup yang penuh pengabdian dan kasih sayang.

Dari filsuf Stoik, muncul nasihat: “Terimalah nasibmu, jalani dengan kebajikan.”

Dari ilmu neurosains, AI menjawab: “Makna adalah konstruksi otak, ditenun dari kebiasaan dan harapan.”

Lalu, dari tafsir yang bertentangan:

•   Yang konservatif berkata, “Ketaatanlah yang memberi makna.”

•   Yang liberal berbisik, “Ciptakan sendiri maknamu, bebas dari dogma.”

Pemuda itu terdiam. Dalam genggamannya, ada dunia. Ia bisa memilih jalannya, atau tersesat dalam lautan jawaban.

Ia pun sadar—AI bisa memberinya semua jawaban, tetapi makna tetap harus ia temukan sendiri. Tapi itu lebih baik dibanding jika ia hanya diberi satu tafsir saja oleh ulama, pendeta atau biksu.

-000-

Spiritualitas akan semakin bersifat personal, berbasis pencarian mandiri. Hari raya agama akan menjadi warisan budaya bersama.

Tafsir agama yang sesuai dengan HAM akan bertahan, sementara yang menindas akan memudar.

Jika Darwin menunjukkan bahwa spesies yang bertahan bukan yang terkuat, tetapi yang paling mampu beradaptasi, hal yang sama berlaku untuk tafsir agama.

Di era AI, agama yang bertahan bukanlah yang paling dogmatis, tetapi yang paling mampu berkembang bersama zaman.

Sejarah tidak pernah diam. Seperti yang dikatakan oleh filsuf Heraklitus, “Tidak ada yang tetap, kecuali perubahan itu sendiri.”

Dan agama, di era AI, sedang mengalami perubahan yang paling besar sejak ribuan tahun lalu.

“Agama pernah ditulis di batu, lalu di kitab, dan kini di baris-baris kode algoritma. Namun makna sejati tak pernah berubah: ia bukan pada medianya, tetapi pada hati yang mencari.”***

Jakarta, 19 Maret 2025