Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Tanpa Meta AI, Puisi PL Simanjuntak Memainkan Efek Perlokusi Pembaca

February 13, 2025 12:56
IMG-20250213-WA0138

Prof. Dr. Wahyu Wibowo (Foto: Dokpri)

Jakarta, Hatipena – Puisi tanpa meta teknologi kecerdasan buatan ( AI ) karya Penyair Pulo Lasman Simanjuntak (63) -yang juga dikenal sebagai pewarta dan rohaniawan- di bawah ini silahkan dibaca.

Kemarau Membakar Sajakku

sungguh,
kemarau telah membakar sajakku
cuaca ganas
merayap-rayap
di atas pohon meranggas
daunnya sudah rontok
mengeluarkan semburan
gas berapi

lidah kemarau yang keji
nyaris melahap
ratusan ikan
dalam kolam
kekeringan

aku berjalan perlahan
pasti berkeringat
karena matahari
sudah lelah
berteriak-teriak

kunyanyikan mantera-mantera awan
dari seberang lautan
tak lagi berombak

sungguh
kemarau telah membakar sajakku
suhu udara panas
menyiksa
sekujur tubuh
disiram air tanah
keruh
berbau busuk

sunyi hanya mengalirkan darah beku
mengerikan
mematikan
mengejar hujan buatan

Jakarta, Minggu, 22 Oktober 2023

Khotbah

khotbah selama berabad-abad
sudah dipanggil
di atas mimbar tradisional
sampai ditelan dengan rakus
kelaparan media digital

kami ingin berjalan pasti
menerobos langit merah
meskipun setiap jam berdentang
mengalahkan keras
kita tersesat
di permukiman liar

tidak bisa menyanyi lagi
sekitar lima ribu orang
makan roti komuni
ikan ikut terbang
benua orang-orang kesepian

haruskah kita bermain sandiwara?
seluruh pesan surga
disampaikan berulangkali
di layar zoom
menyanjikan segelas jeruk
di perut matahari

sementara fashion kita
benar-benar beku
terpukul keras oleh bulan

di bawah jembatan
seribu mobil terapung
trotoar jalan remang-remang
air toilet bertebaran

aku tidak bisa lagi
melanjutkan khotbah ini
karena harus bergegas
kembali ke rahim bumi

dengan tangan berkerudung
di sembilan mata angin
berjualan amarah
sangat membosankan

Jakarta, tahun 2023

“Kali ini, melalui dua judul puisinya itu yakni Kemarau Membakat Sajakku dan Khotbah Penyair Pulo Lasman Simanjuntak memainkan efek perlokusi (daya respons) pembacanya,” komentar Prof. Dr. Wahyu Wibowo Dosen Mata Kuliah Filsafat Bahasa di Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Nasional (UNAS) di Jakarta, Kamis (13/2/2025)

Dengan imaji yang sebenarnya biasa saja, yaitu penggunaan kolokasi ”kemarau membakar” yang oleh Pulo Lasman Simanjuntak diberi lanjutan “membakar sajakku” sehingga makna puitik yang hendak dicapainya adalah puisi yang terbakar dalam pemahaman perlokusi tadi.

“Bagaimana Pulo Lasman Simanjuntak menggantungkan pada respon pembaca puisinya,” katanya lagi.

Menurut Wahyu Wibowo, gaya ucap yamg perlokutif itu juga ditemukan pada puisi Pulo Lasman Simanjuntak berikutnya.

Ketika ia mengatakan “khotbah selama berabad-abad sudah dipanggil di atas mimbar”, alias sudah lama khotbah menjadi “tamu” mimbar.

Dan, itu yang dipertanyakan Pulo Lasman Simanjuntak sehingga-itu tadi-sajaknya memiliki daya perlokutif bagi siapa pun pembacanya.

“Tanpa memerlukan kaitan dengan perkembangan teknologi kecerdasan buatan AI, misalnya, yang belakangan sedang marak menjadi perbincangan. Begitulah Pulo Lasman Simanjuntak yang membiarkan sajaknya bernyanyi sendiri, seperti ucapannya, khotbah berabad-abad sudah dipanggil,” pungkas Wahyu Wibowo.(*)