Gubahan: Sigit MPS
RASANYA baru kemarin, matahari pertama kali menyapa; memecah pagi dengan nyanyian burung dan aroma embun segar. Langkah-langkah kecil, goyah, mencari pijakan di tanah yang asing. Tawa ibuku seperti nyala lilin, menerangi jalan yang tak pernah kutahu arah akhirnya. Dunia begitu besar, dan aku begitu kecil.
Rasanya belum lama sore-sore di bawah pohon jambu. Tangan kecilku gemetar memegang layangan, menantang angin yang seolah mengerti keberanian bocah kecil. Di bawah bayangan pohon, aku bermimpi menjadi orang besar, seseorang yang dihormati, yang berguna bagi keluarga.
Rasanya belum lama, ketika kemudian masa remaja itu datang. Masa SMP dan SMA, yang penuh lika-liku. Aku adalah anak desa yang sederhana, berjalan kaki dan bersepeda ke sekolah setiap hari, menempuh jarak yang tak dekat. Namun, di balik kesederhanaan itu, ada tekad yang membara. Aku belajar untuk mendapatkan nilai terbaik yang mampu kuraih.
Belumlah lama rasanya, kini aku telah lulus SMA. Perjalananku menjadi makin menantang. Masa kuliah tiba, dan aku tahu ini bukan hal yang mudah. Sewa kos, makan dan buku-buku adalah biaya yang tidak sedikit; aku harus mencari cara untuk memperolehnya. Di sela-sela kuliah, aku mengajar sebagai guru les privat dan bimbingan belajar. Pekerjaan ini tidak hanya memberiku honor yang lumayan tetapi juga rasa bangga karena aku bisa membantu mereka meraih cita-cita.
Rasanya belum lama aku bermain layang-layang di bawah pohon jambu, ketika datanglah momen yang mengubah segalanya; bertemu seseorang—pendamping hidupku. Wajahnya tenang, senyumnya hangat. Dalam sorot matanya, terlihat harapan, kekuatan dan doa. Kami menikah dalam kesederhanaan, dengan mimpi besar yang kami bawa bersama.
Hari-hari berlalu menjadi tahun. Kami bekerja keras, membangun hidup dari nol. Aku bekerja pagi hingga malam, menyusuri Jakarta di atas roda angkot, metro mini dan bus kota. Rumah kecil yang kami tempati menjadi saksi perjuangan kami. Anak-anak lahir, membawa kebahagiaan sekaligus tanggung jawab yang lebih besar. Setiap tawa mereka adalah hadiah, tetapi setiap tangis mereka juga mengingatkan bahwa aku harus berjuang lebih keras.
Rasanya belum lama; anak-anak tumbuh dewasa, satu per satu menemukan jalannya. Ketika mereka menikah, aku melihat kebanggaan dalam diri mereka, meskipun di hati kecilku, ada perasaan rindu pada masa ketika rumah ini penuh oleh suara mereka. Kini rumah kembali sunyi; tetapi tidak lama—cucu-cucu mulai hadir, membawa keceriaan yang baru.
Anak-anak kami, menantu-menantu kami, cucu-cucu kami; mereka adalah kebahagiaan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Rasanya baru kemarin aku belajar berdiri sendiri, tetapi kini aku menjadi tempat mereka bersandar, tempat mereka pulang.
Waktu terus berjalan. Aku berdiri di depan cermin, menatap wajah yang dipenuhi kerutan. Setiap garisnya adalah cerita, setiap lekuknya adalah kenangan. Rambutku telah berubah menjadi uban, langkahku tidak lagi sekuat dulu, tetapi hatiku tetap dipenuhi rasa syukur.
Rasanya belum lama, ternyata sudah 64 tahun lebih usia, dan perjalanan ini terasa seperti mimpi panjang yang baru saja dimulai. Dari seorang bocah kecil yang gemar bermain layang-layang di bawah pohon jambu, menjadi seorang kepala keluarga, lalu kini seorang kakek. Hidup adalah perjalanan yang indah meski tak mudah. Setiap hari adalah anugerah, dan aku bersyukur masih diberi waktu untuk menikmatinya.
Rasanya belum lama, baru kemarin matahari pertama kali menyapa. Tapi lihatlah, hari ini, aku masih di sini bersama teman-teman sekolah, bersyukur atas segala yang telah dilalui. Terima kasih Tuhan, atas waktu dan semua pelajaran serta kebahagiaan yang kau berikan. ***