Nia Samsihono | Penulis Indonesia
Ketua Satupena DKI Jakarta
HATIPENA.COM – Beberapa waktu lalu, dunia sastra Indonesia diwarnai perdebatan hangat mengenai penominasian Denny JA sebagai penerima penghargaan sastra dari forum BRICS. Polemik ini berujung pada munculnya sebuah resolusi yang menolak nominasi tersebut.
Saya termasuk di antara pihak yang menandatangani resolusi itu, dengan dasar keprihatinan terhadap proses pemilihan yang belum sepenuhnya terbuka, baik mengenai siapa pengelolanya, mekanisme seleksi, maupun kriteria penilaiannya.
Ketertutupan itulah yang semula menimbulkan keberatan di kalangan sebagian sastrawan.
Namun setelah menelaah lebih jauh, persoalan ini ternyata tidak sesederhana itu. Resolusi yang lahir dari kecurigaan terhadap proses justru berisiko melahirkan sikap yang tergesa.
Sastra, sejatinya, adalah ruang kebebasan berpikir dan dialog rasional. Ia tidak boleh terjebak pada bentuk penghakiman yang menutup peluang bagi siapa pun untuk diapresiasi, selama yang dinilai adalah karya dan kontribusinya bagi dunia kesusastraan.
Dalam konteks ini, Denny JA adalah figur kompleks yang menembus batas-batas konvensional. Ia memperkenalkan bentuk Puisi Esai—suatu hibrida antara narasi reflektif, dokumenter, dan puitik.
Bentuk baru ini memancing perdebatan, tetapi perdebatan itulah yang menandakan bahwa sastra masih hidup. Kontroversi seharusnya dibaca sebagai bagian dari dinamika wacana, bukan alasan untuk menolak kehadiran seorang penulis dalam gelanggang sastra.
Persoalan sebenarnya bukan pada siapa yang dinominasikan, melainkan pada bagaimana kita menyikapi perbedaan pandangan. Dunia sastra kehilangan martabatnya bila ia dikendalikan oleh tekanan opini atau arus emosi kolektif. Seperti diingatkan Jürgen Habermas, kebenaran dan legitimasi hanya bisa dicapai melalui komunikasi rasional, bukan lewat penolakan sepihak.
Sikap kritis terhadap transparansi lembaga pemberi penghargaan tetap penting, namun harus dibedakan dari penilaian terhadap karya sastranya. Keduanya tidak boleh bercampur. Menolak sebuah nominasi tanpa membuka ruang dialog dan klarifikasi berarti menutup kesempatan untuk memperbaiki proses secara konstruktif.
Dengan pertimbangan rasional tersebut, saya, Nia Samsihono, memilih untuk tidak lagi mengikuti resolusi penolakan terhadap nominasi Denny JA. Sikap ini bukan bentuk keberpihakan personal, melainkan langkah etis untuk menegakkan prinsip keadilan intelektual—bahwa dunia sastra seharusnya menjadi medan terbuka bagi dialog, keberagaman, dan kebebasan berekspresi.
Sastra akan kehilangan daya cahayanya bila ia terjebak dalam prasangka dan eksklusivitas. Sebaliknya, ia akan tumbuh kuat jika dijaga dengan kejujuran berpikir dan penghargaan yang adil terhadap setiap upaya kreatif. (*)
Jakarta, 29 Oktober 2025