Oleh: Nurul Jannah
Siang di Bandara Syamsudin Noor, Banjarbaru
HATIPENA.COM – Begitu kakiku menjejak garbarata, udara hangat dan lembap khas Kalimantan langsung menyergap, seperti sapaan lembut dari alam yang telah lama menunggu.
“Inilah Bumi Lambung Mangkurat,” gumamku pelan.
Kembali untuk kedua kalinya dalam waktu berdekatan, namun kini dengan misi berbeda.
Minggu lalu aku datang sebagai pelancong, menikmati liburan di tanah Banua ini. Kini aku kembali sebagai auditor lingkungan hidup, membawa tanggung jawab besar di sebuah perusahaan tambang.
“Lucu ya,” bisikku dalam hati, “datang ke tempat yang sama… tapi maknanya bisa berubah sedalam ini.”
Momen Kembali yang Menggetarkan
Langkahku terhenti di depan tulisan besar. “Selamat Datang: Selamat Mangku Kawokng.” Sapaan dalam bahasa Dayak itu menyentuh hati, seolah leluhur Banua sendiri berbisik: ‘selamat pulang, anak rantau.’
Ada rasa haru. Hari Minggu kemaren aku meninggalkan tanah ini dengan enggan, dan kini, di siang yang terang, aku kembali membawa amanah. Momen ini seperti menyatukan dua dunia. Jejak liburan yang hangat dan panggilan tanggung jawab yang agung.
Gerbang dengan Ruh Tradisi
Terminal Bandara Syamsudin Noor bukan semata tempat transit; ia adalah museum hidup kebanggaan Banua.
Dinding dan pilar dihiasi ukiran Dayak bermotif burung enggang dan spiral anyaman tradisional, memantulkan warna-warna bumi yang teduh.
Tak jauh dari sana berdiri patung bekantan, hidung panjangnya tampak jenaka, satu tangan terangkat seperti melambai.
“Selamat datang kembali, penjaga hutan,” seolah ia berkata.
Aku tersenyum. “Tenang, kawan kecil. Aku kembali bukan untuk merusak, tapi menjaga.”
Di dekatnya terdapat “Bekantan Corner”, sudut edukatif berisi foto-foto koloninya di hutan bakau Sungai Barito. Sudut itu seperti pengingat lembut, di luar sana, hutan dan satwa menanti uluran tangan manusia.
Langkahku berlanjut. Sebuah peta besar Pegunungan Meratus terpampang di dinding utama dengan slogan memukau: “Meratus Geopark–The Soul of Borneo_.”
Dadaku bergetar. Seolah Meratus berbisik dari kejauhan, “Ingatlah, akulah jantung Kalimantan.”
Di sisi lain, diorama penari Japin Sigam meliuk abadi. Busana sasirangan ungu-biru mereka berkilau di bawah cahaya lampu.
“Indah sekali, ya,” ucap seorang turis Australia dalam bahasa Indonesia yang medok.
Aku tersenyum, “Bukan cuma indah. Mereka seperti menyambut dengan sukacita.”
Tarian itu hidup di benakku; alunan panting dan tabuhan gendang seolah bergema di ruang kedatangan, mengisi udara dengan keriangan khas Banua.
Para Penjaga Spirit Borneo
Di tengah keramaian penumpang, aku justru merasa tidak sendiri.
Setiap ornamen di bandara ini menjelma penjaga spiritual yang menemaniku.
Sapaan “Selamat Mangku Kawokng” seolah dikirim leluhur Dayak, patung bekantan berdiri gagah bak penjaga bakau, penari Japin tersenyum luwes, dan peta Meratus menatap dalam diam: seolah bertanya: “Sudah siapkah kau menjaga kami?”
Aku menunduk sejenak. “Insya Allah,” jawabku lirih.
Ranselku terasa berat bukan karena dokumen audit, melainkan doa, harapan, dan amanah.
Sebagai auditor lingkungan hidup, aku tahu tugasku bukan hanya memeriksa data, tetapi menjembatani manusia dan alam agar bisa hidup berdampingan.
“Siapa lagi yang akan peduli kalau bukan kita?” bisikan hati itu berulang-ulang menggema di dada.
Resonansi yang Menggetarkan
Setiap detail di bandara ini bergetar dalam frekuensi yang sama dengan jiwaku.
Ukiran Dayak membisikkan kearifan leluhur, patung bekantan mengajarkan empati, penari Japin menyalakan sukacita, dan Meratus Geopark menegaskan makna: menjaga Borneo adalah menjaga jiwa sendiri.
Aku menarik napas panjang, menahan haru. Di tengah hiruk pikuk penumpang, hatiku justru hening. Di sini, di gerbang Borneo, aku tak hanya transit: aku sedang berdialog dengan alam dan sejarah.
Langkah Menuju Amanah
Usai mengambil bagasi, aku kembali menatap sekeliling: patung bekantan, diorama Japin, dan peta Meratus seakan melambai perpisahan.
“Terima kasih, Banua atas sambutanmu yang penuh makna.”
Sinar matahari Kalimantan menyambutku di luar terminal. Topi lapangan kupasang, ransel kukencangkan, langkah mantap menuju kendaraan yang menunggu.
Kini aku tahu, perjalanan ini bukan hanya penugasan profesional semata, melainkan ziarah batin. Dalam hati, kutanamkan semboyan warga Banjar: “Waja Sampai Kaputing”; semangat baja hingga tetes penghabisan.
Di bawah langit cerah Banjarbaru, aku membawa tekad itu dalam dada bahwa tugas ini adalah panggilan untuk menjaga The Soul of Borneo, demi Banua tercinta dan generasi mendatang.
Catatan dari Langit Banua
Bandara Syamsudin Noor bukan hanya gerbang fisik semata, melainkan gerbang spiritual. Tempat di mana manusia, budaya, dan alam berpadu menjadi satu.
Di sini aku belajar bahwa setiap langkah di bumi adalah doa, setiap hembusan udara adalah pesan dari Sang Pencipta agar kita menjaga apa yang telah Ia titipkan.
Kalimantan bukan hanya pulau; ia adalah hati yang berdetak lembut di tubuh Nusantara.
Dan hari ini, di bawah langit Banua yang biru dan terik, aku tahu, tugasku bukan hanya melakukan audit lingkungan hidup, tapi menjaga kehidupan itu sendiri. (*)
Bumi Allah, 13 Oktober 2025