Oleh Gunawan Trihantoro
Ketua Satupena Kabupaten Blora dan Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah
HATIPENA.COM – Senja meleleh pelan di ujung langit, membakar cakrawala dengan warna keemasan yang merembes di sela-sela daun jati tua. Udara sore membawa aroma tanah kering dan bulir jagung matang, semerbak yang hanya bisa ditemui di desa kecil ini, tempat segala cerita dimulai dan mungkin diakhiri.
Di bawah patung kuda putih yang menjulang gagah, berdiri di atas panggung batu dengan kaki depan terangkat ke langit, Tia duduk bersandar. Tangannya menggenggam setangkai bunga liar yang tadi ia petik di tepi ladang, sementara matanya menatap nanar pada lelaki yang baru datang, Arga.
Arga datang perlahan, menyibak lorong kenangan yang selama ini disembunyikan rapi di balik ketegaran Tia. Langkahnya berat, seperti diseret oleh sesuatu yang lebih kuat dari rindu, penyesalan.
“Masih suka duduk di sini rupanya,” suara Arga parau, mencoba menyapa, mencoba memecah jarak.
Tia menoleh perlahan, senyumnya samar, nyaris tak ada. “Tempat ini tidak berubah. Tapi kita yang berubah, kan?”
Arga menelan ludah. “Aku tidak pernah berhenti mencarimu.”
“Aku tidak pernah pergi,” jawab Tia lirih. “Kamu saja yang memilih jalan yang tak bisa kutapaki.”
Patung kuda putih itu dulunya adalah tempat mereka menyimpan mimpi. Mereka menyematkan harapan di bawah lengkung leher kuda batu itu, berjanji untuk selalu kembali ke sini setelah badai apa pun yang menerpa. Tapi badai tak pernah memberi aba-aba.
Tiga tahun lalu, Arga pergi ke kota membawa ambisi dan janji yang tak sempat ditepati. Ia tak pernah pulang saat Tia kehilangan ibunya, saat ladang jagung mereka hampir dijual, saat hujan datang menghanyutkan semua yang mereka bangun bersama.
“Aku terlalu sibuk mengejar sesuatu yang ternyata bukan untukku. Baru kusadari… rumahku tetap di sini, bersamamu.” Arga duduk di samping Tia, mendekatkan diri perlahan, seolah takut mengusik luka yang belum sembuh.
“Kenapa sekarang, Ga?”
“Karena aku baru sadar… rindu yang paling menyakitkan bukan yang tak terbalas, tapi yang terlambat.”
Angin sore berbisik pelan, menggoyangkan rambut Tia, memantulkan cahaya senja di matanya yang berkaca.
“Kamu tahu apa yang menyakitkan bagiku?” tanyanya. “Bukan saat kamu pergi, tapi saat kamu tak pernah memberi kabar. Aku menunggumu setiap hari di bawah patung ini. Setiap hari.”
Arga tertunduk. “Maafkan aku…”
Tia menatap ke arah patung itu. “Kuda itu masih berdiri gagah. Seperti aku yang mencoba bertahan. Tapi aku lelah, Ga. Aku lelah berharap.”
Suasana menjadi sunyi. Hanya ada detak jantung dan desir dedaunan. Tapi dalam diam itu, ada pertempuran, antara hati yang masih mencinta dan luka yang terlalu dalam.
“Berilah aku satu kesempatan. Bukan untuk memperbaiki masa lalu, tapi untuk menenun kembali masa depan.” Arga meraih tangan Tia, menggenggamnya erat.
Tia terdiam, lama.
“Aku sudah menanam benih jagung baru. Ladang itu masih bisa diselamatkan. Tapi butuh dua tangan untuk merawatnya.”
Tia menoleh, matanya berkabut. Tapi di sana, terselip seberkas cahaya.
“Aku akan memulainya dari ladang. Tapi bukan karena kamu. Karena aku ingin sembuh. Jika kamu mau berjalan bersamaku… jangan pernah lepas lagi.”
Arga mengangguk pelan, matanya tak lepas dari milik Tia.
Senja kian meredup, malam menggantikan cahaya. Tapi di bawah patung kuda putih itu, dua jiwa yang pernah patah mulai merangkai harapan baru.
Rindu mereka tak lagi sendirian. Kini, ia punya tempat untuk pulang. (*)
Rumah Kayu Cepu, 10 Mei 2025