Butet Siregar
HATIPENA.COM – Anno, 2006
I’m Standing Here
Ada seribu alasan kenapa aku bisa aja ditimpukin rame-rame sekarang juga oleh ratusan orang-orang ini. Tapi aku gak bisa nemuin satu aja alasan, kenapa mereka sekarang malah menatapku dengan tatapan takjub dan terpesona.
Ops, yang terakhir, nambah-nambahin doang. Hehe.
Hmmm, yeah. Akhirnya aku dapat juga satu alasannya: karena aku seorang penulis ABG, kelas dua SMP dan bukuku sudah tiga!
Di depanku dan ibuku saat ini, ruangan yang luasnya tiga kali aula di sekolahku, sekitar seribuan pasang mata mengarah kepada diriku. Siap mendengar apapun yang akan kusampaikan.
Mereka, anak-anak sebayaku dari kelas satu sampai tiga, semua angkatan! Bener, sepertinya ada seribu siswa. Akhwat dan ikhwan dipisah. Maklum, ini kan kawasan pontren, semoderen apapun tetap jaga syariat.
Sesaat ada yang jail di otakku, gimana kalau mulutku berteriak lantang:
“Aloooow galz… Apa di sini ada koruptor? Hajar bleeeh!”
Kulirik Mama lagi asyik presentasikan Jurus Jitu Menulis yang suka disebutnya sebagai; Awasss: Virus PS!
Sampai kemudian tibalah waktunya. Yup, inilah waktu buatku!
“Giliranmu, Nak. Sampaikan saja apa yang ada dalam pikiranmu tentang menulis, oke?” bisik Mama seraya menelengkan matanya ke arahku, anak ceweknya semata wayang ini.
“Yah, baiklah, temen-temenku sayang, assalamu alaikuuum!”
“Apa di sini ada yang suka menulis?”
“Men… indahnya menulis Islami…”
“Kita antipornografi kaaan?”
“Pantang nulis or baca yang esek-esek, seputar pusar ke bawah…”
Suasananya mendadak hangat, hangat dan, beuh; keplok tangan dimulai!
Belum lagi yang ngikik-ngikik di pojokan sana. Sepertinya anak-anak spontan ngikut kekoclakan gw. Hihi.
Mama mendekatkan wajahnya ke kupingku dan berbisik, mengingatkan:
“Nyantey, tapi makna ya Nak…”
Aku mengangguk sepakat: “Siiip… Mom!”
Anak-anak ABG itu antusias sekali.
Seakan-akan kepingin mengupas habis, gimana jadi seorang penulis terkenal, dan kiat-kiatnya.
Kalau kupikir-pikir sih, anak-anak itu ngiler banget dengan popularitasku. Begitu citraku di mata mereka, Sodara!
“Tanda tangannya, ya Zhizhi…”
Wuiiih, anak-anak itu mau saja antri, berjubelan supaya bukuku kutandatangani.
Mereka tidak tahu sih, gimana aku sendiri masih sering minder.
Oya, bahkan di sekolahku, di kampungku; jarang yang kenal profesiku dan ibuku. Tapi di sini, di depan hadirin sebanyak ini, kami berdua seolah-olah berubah. Menjadi seleb euy!
Aku masih ingat, di acara talkshow bareng ibuku itu, nomik Cover Boy Lemot terjual 300 eksemplar. Aku dapat honor 300 ribu. Itulah honor terbesarku sebagai pembicara.
Sejak saat itu, aku sering tampil bareng Mama. Memenuhi undangan dari berbagai sekolah, kampus di Jabotabek, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Batam bahkan Singapura.
Suatu hari yang indah dalam hidupku.
Aku dan Mama diundang ke Singapura. Sebagai pembicara. Di depan seratus, duaratus, mungkin seribu? Silakan hitung sendiri. Aku terlalu pusing buat ngitung-ngitung kepala yang sekarang semuanya tertuju ke arah kami. Ke arah panggung, tepatnya. Aku dan Mama diminta tampil duet membacakan karya.
Sehari sebelumnya, kami tampil di Batam. Wawancara dengan koran-koran besar dan televisi Batam. Terus, bacakan karya dan talkshow bareng SNADA di depan masyarakat kampus kuning. Kami disponsori oleh Cordova, sebuah travel yang memberangkatkan Mama umroh dan haji. Gratis!
Dan kulirik Mama. Iiih, bisa-bisanya nih nyokap gw nyantey gitu. Membacakan cuplikan dari buku terbarunya; Bagaimana Aku Bertahan.
Hadirin menyimak dengan hangat. Kulihat bahkan ada yang langsung sengguk-sengguk nangis segala tuh.
Maklum, yang Mama bawakan adalah episode kelabu dalam hidupnya. Intinya, buku ini merupakan serial kenangan Mama yang diangkat dari kesehariannya sendiri.
“Pede aja lageee. Cuma itu yang kita bisa,” kuingat kata-kata Mama di atas kapal ferry yang membawa kami dari Batam menuju Negeri Singa ini.
Hadirin adalah para PRT berasal dari Indonesia, para pahlawan devisa yang sering dilecehkan di negeri orang. Ops, tapi PRT di sini, jangan salah men. Penampilan mereka cute-cute deh!
Busana muslimah yang mereka pakai tak beda dengan baju para model majalah Muslimah. Bahasa Inggris mereka juga jauh lebih bagus daripada pribuminya, orang Singapura, yang nginggris dengan logat aneh itu.
“Inilah saudari-saudari kita yang sedang wisuda…”
“Mereka telah mengikuti kursus-kursus; Bahasa Inggris, Komputer, Menjahit, Memasak yang diselenggarakan oleh komunitas Muslim Singapura, Mesjid Mujahidah…”
Selintas ada yang nyelip di otakku. Kenapa sih bukan orang Indonesia yang bikin acara beginian? Bukan pihak KBRI? Hm, mungkin mereka sudah terlalu banyak gawe.
Sampai lupa mengundang kami, seniman kecil.
Ketika Mama menuliskan keheranan kami ini melalui situs gratisannya, multiply.
Serentak mendapat respon pihak KJRI. Mama sempat digugat, diomeli habis oleh salah seorang karyawan KJRI. Sempat bikin kami merasa tak nyaman. Belum lagi ditambah dengan persoalan salah nama pada tiket pulang Mama. Bukan nama asli seperti di paspor, melainkan nama pena; Pipiet Senja. Jelas saja pihak Garuda tak mau terima.
Mujurlah, Kang Teddy SNADA yang murah hati, banyak membantu. Membelikan Mama tiket baru, hingga aku tak jadi kehilangan Mama. Ditahan di pulaunya Raffles. Beuh!
“Giliranmu,” bisik Mama, spontan membuyarkan semua angan-anganku.
Karena sudah dimulai dengan semangat Mama yang menimbulkan suasana hangat, respon yang sangat bagus, pede sajalah. Ternyata aku pun bisa mendukung dengan sepenuh hati, sepenuh jiwa-ragaku.
Plookk… ploookkk!
Kami turun pentas, disalami saudari-saudari PRT, dan pihak penyelenggara. Jeprat-jepret difoto bareng SNADA.
Wuiiih, alhamdulillah, seperti seleb saja!
Kami punya waktu selama lima hari berkeliling Singapura.
Selain acara di Mesjid Mujahidah, FLP Singapura mengundang kami juga. Acaranya di rumah salah seorang anggota FLP Singapura, Mbak Novi di kawasan Balam Road.
Ternyata ada penulis teenlit si Cinta Puccino, Nisha Rahmania, yang bajunya (realita loh!) ngablak. Sampai payudaranya, nyaris separonya kelihatan. Tapi memang cantik sih. Pasti lebih cantik lagi tuh, kalau saja dia pake jilbab.
Sumpah euy!
Di sini, kami jumpa komunitas pecinta buku dan penulis. Ada Mbak Febi Yudith Fabiola, Mbak Lia, Mbak Mela, dan beberapa sobat Mama lainnya. Serasa di negeri sendiri, silaturahmi berlangsung akrab dan hangat.
Dialog kepenulisan; nikmaaat!
“Sekarang kita bisa jalan-jalan, Nak,” ajak Mama begitu keluar dari apartemen Mbak Lia. Berdua saja, kan Mama pernah jalan sebelumnya di Negeri Singa ini.
Percaya deh, hati kami diliputi kebahagiaan dan keriangan. Meskipun dari Tanah Air hampir tak punya duit. Begitu pengakuan Mama sebelum berangkat. Dari hasil penjualan buku, kami bisa jalan-jalan dan beli sedikit oleh-oleh.
“Kita ketemuan di stasiun Central,” kata Kang Teddy SNADA kemarin.
Dia dan abang-abang SNADA lainnya menginap di rumah Ustad Marzuki kawasan Pasir Ris Street 71. Kalau yang lainnya sudah pulang, dia dan Mas Amin dari Cordova masih bertahan. Mau pulang bareng kami.
Pas ketemu sosok berbadan subur (masih jomblo!) di tempat yang dijanjikan, ketawanya sudah nongol duluan. Akang satu ini memang tukang ngocol. Sepertinya segalanya bisa dibuat kocak sama munsyid satu ini.
Bayangkan saja, begitu dia lihat kami, tangan-tangannya dikembangkan. Terus, dia bergaya aktor India, berlari kecil-kecil ke arah kami. Gestur tubuhnya itu loh, mirip banget si Olga. Hadeeew!
“Alooow… Buteeeet! Teteeeh!” serunya dilagukan dangdut.
Iiiih, sumpe deh, tidak malu-malunya tuh!
Terus, pertama-tama yang dia mau singgahi adalah toko buku.
Wuuuiiih, beruntung banget, masih satu visi-misi. Lama kita ngubek-ngubek di istana buku ini. Biarpun gak beli, aku sudah cukup puas mengagumi koleksinya. Inilah toko buku terkeren yang pernah kulihat.
“Sok atuh, Butet, mau beli buku apa?” Kang Teddy terdengar tulus.
“Hmm, tapi mahal-mahal, pake dolar Singapura lagi,” keluhku.
Padahal, aku kepingin beli pernak-pernik. Selain buku gitu. Sepertinya Mas Amin bisa memaklumi jalan pikiranku tuh. Buktinya dia manawariku, boleh pilih buku apa saja dan akan dibayarinya. Waaa, tengkiyu!
“Pernak-perniknya entar dibayari Kang Teddy, ya?” pintaku memelas.
“Sok laaah, minta dibeliin apa sih? Pernak-pernik segede Singa?” sahut Kang Teddy sambil ngekeh.
“Iiih, meuni nyungkun!”
“Buteeet, euleuh-euleuh! Etah tahu nyungkun geuningan?”
“Lah iyalah, kan orang Sunda juga Suntak!”
“Dasar… anak Teh Pipiet Senja tea, pikiraneun!”
Nyungkun, bahasa Sunda, memberi secara berlebihan sambil tak rela. Tapi aku percaya kok, akang satu ini rela-rela saja diapain. Hihi.
Puas punya novel tebal bahasa Inggris dengan harga yang selangit, menurut ukuranku. Mas Amin dengan senang hati membayarnya.
Kami melanjutkan jalan-jalan, dari satu mal ke mal lainnya. Di negeri tetangga ini, jarang sekali orang yang jalan kaki di trotoar. Kita jalan di bawah gedung-gedung pencakar langit yang disambungkan oleh mal-mal.
Menjelang petang, kami memasuki kawasan Esplanade yang terkenal itu. Mujur banget, ada Kang Teddy yang hobi sekali makan dan minum. Jadi, kita ikutan kenyang.
Karena tiap sebentar beliau mengajak kami rehat, mampir di kafe-kafe. Lantas mentraktir kami makanan dan minuman segar sepuasnya. Siiip!
Besoknya, besoknya lagi, kami mengulangi jalan-jalan itu.
Kadang bareng Kang Teddy dan Mas Amin. Tapi lebih sering aku dan Mama saja, berduaan, wara-wiri ke mana-mana. Naik turun MRT, kereta yang keren-keren dan bersihnya luar biasa itu. Oh, Negeri Singa!
“Pssst, gilee men, ganteng tuh Tet! Lihat ke sebelah kananmu, woooi! Beneran keceee!” suara Mama meningkahi gerakan kami yang baru turun dari bis di kawasan IKEA.
Tahu tuh, Kang Teddy ternyata hobi mengoleksi barang-barang antik. Setelah sukses menemukan pesanan Aming, sohibnya itu di sebuah supermal (barangnya rahasia!), giliran mencari oleh-oleh buat dikoleksi pribadi.
Maka, IKEA menjadi incarannya. Di sini dijual segala macam perabotan rumah tangga, mulai ukuran pernak-pernik, antik sampai yang moderen.
“Teeet… rugi loh!” goda Mama lagi.
“Mooom… ampuuun deh, itu kan… tukang sapu lagee!”
“Yeeeh… biariiin! Tapi memang kece kan?” Mama keukeuh.
“Menurut Mama geto…”
Aku masih coba menghindar, jalan cepat-cepat.
Eeeh, ndilalah, Mama ngotot ngomong lagi: “Yeuh, Neng… Lamun di urang bisa jadi artis sinetron model kitu mah atuh. Enyaan, budak teh kasep pisan, deudeuh…”1
Aku yakin, celotehan Mama sampai ke telinga sang cleaning service itu.
Buktinya, dia mendadak berhenti menyapu, bergerak ke arah kami. Pas sudah berhadapan dengan Mama, mendadak dia bilang begini, meeen!
“Hatur nuhun, Ibu… Tapi da geuning teu aya anu ngajakan sinetron ka abdi nuju di Cianjur. Janten weh abdi kulayaban, damel di dieu…”2
Sementara aku melongo hebat, kulihat Mama sudah ngacir ke dalam IKEA. Ujung jilbabnya kayak ngedadahin, luthuuuu!
“Mamaaa… tungguuu!”
Gubraaak deh!
@@@
Note
1 “Hei, Neng… Kalau di kita sih bisa jadi artis sinetron yang model gini mah. Sungguh, ganteng amat anak ini, kasihan yah…”
2 Terima kasih, Ibu… Tapi kok gak ada yang ngajakin sinetron sama saya waktu di Cianjur. Jadi aja saya keluyuran, kerja di sini…”