HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Sabar Atas Musibah

October 3, 2025 09:53
IMG-20251003-WA0010

Catatan Cak AT

HATIPENA.COM – “Innalillahi wa inna ilayhi raji’un.” Kalimat pendek yang kerap kita dengar setiap kali ada kabar duka. Tetapi begitu ia meluncur dari bibir seorang ibu yang anaknya tertimbun reruntuhan, atau dari seorang ayah yang menunggu di depan gerbang pesantren dengan mata sembab, kalimat itu bukan sekadar lafaz; ia berubah menjadi jerit pilu yang membelah dada.

Ayat ini, tercatat dalam surah al-Baqarah ayat 156, turun bukan untuk sekadar dipajang di spanduk takziah, melainkan sebagai pengingat eksistensial: kita ini semua milik Allah, dan kepada-Nya lah akhirnya kita kembali, entah melalui jalan mulus atau terjal, entah lewat sakit yang lama atau musibah yang mendadak.

Al-Qur’an menegaskan bahwa mereka yang mengucapkan “Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un” disebut sebagai orang-orang yang sabar, dan justru bagi merekalah Allah menjanjikan kabar gembira, seperti ampunan dan rahmat (QS. al-Baqarah: 155–157).

Sabar dalam menghadapi musibah bukan berarti membisu dalam derita, melainkan menahan diri dari putus asa sekaligus tetap mencari jalan ikhtiar. Dalam tafsir para ulama, sabar itu ada tiga: sabar dalam taat, sabar dalam menjauhi maksiat, dan sabar dalam menerima ujian.

Tragedi Ponpes Al Khoziny ini memanggil kita untuk sabar dalam arti ketiga: menegakkan hati di tengah kepedihan, sambil tetap berpikir jernih agar duka tidak berulang. Sebab sabar bukanlah pasrah yang pasif, melainkan energi batin untuk bertahan dan bangkit kembali.

Al-Qur’an tidak hanya sekali bicara tentang musibah. Tercatat puluhan ayat yang menyinggung soal bencana, cobaan, atau ujian hidup: dari surah al-Ankabut ayat 2 — “Apakah manusia mengira mereka akan dibiarkan berkata ‘kami beriman’ tanpa diuji?” — hingga surah al-Hadid ayat 22 — “Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan sudah tertulis di Lauh Mahfuz sebelum Kami mewujudkannya.”

Bahkan Nabi Muhammad SAW menegaskan dalam hadis sahih: “Tidaklah seorang muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, bahkan duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapus sebagian dosa-dosanya.” Musibah, dalam nalar iman, bukanlah sekadar malapetaka, melainkan koreksi langit terhadap kesombongan bumi.

Maka ketika gedung yang difungsikan sebagai mushalla di Ponpes Al Khoziny Buduran, Sidoarjo Jawa Timur, roboh saat para santri sedang shalat ashar berjamaah, ayat itu menggema bukan hanya di mushaf, melainkan di sela-sela isak tangis keluarga korban. Puluhan santri menjadi korban, sebagian masih terjebak di dalam beton-beton yang runtuh, sementara doa dan teriakan bercampur dengan debu serta bunyi palu darurat dan mesin eskavator tim penyelamat.

Warga pun mengaku mencium bau anyir yang tertiup angin dari reruntuhan. Bau kematian yang membungkus tragedi, tapi sekaligus bau pengingat: betapa rapuhnya kita. Seperti gempa Aceh 2004 yang meluluhlantakkan kota dan merenggut lebih dari 160 ribu jiwa, atau tsunami Jepang 2011 yang memporak-porandakan negeri yang katanya paling disiplin konstruksi di dunia, musibah selalu punya tiga wajah: duka, kesabaran, dan pelajaran.

Namun, ada garis tipis antara menerima takdir dan menutup mata dari kelalaian manusia. Takdir Allah itu absolut, tapi ketidaktelitian dalam konstruksi gedung jelas bukan bagian dari takdir, melainkan keteledoran yang bisa dihitung dengan kalkulator dan diuji dengan alat ukur sipil.

Dalam teori teknik sipil modern, apalagi untuk fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, dan pesantren, kekuatan struktur harus safety factor minimal 1,5 kali lipat dari bangunan hunian biasa. Mengapa? Karena gedung itu bukan sekadar tembok dan semen, melainkan rumah bagi nyawa-nyawa yang berkumpul serentak. Lalu, mengapa aturan sederhana itu tak diperhatikan?

Kita bisa mengatakan “innalillahi” setiap kali tembok runtuh, tapi kalau tetap mendirikan bangunan tanpa perhitungan struktural yang matang, maka jerit itu hanya jadi kaset yang diputar ulang. Padahal Nabi pernah menegur seorang sahabat yang membiarkan untanya tanpa diikat dengan berkata, “Ikatlah dulu untamu, lalu bertawakkallah kepada Allah.”

Itu berarti, kita memang harus bertawakkal sepenuhnya kepada Allah sebagai bagian dari keimanan. Namun, sebelum menyerah pada qadar, ada ikhtiar yang wajib dilakukan: memastikan pondasi bangunan cukup kuat, memastikan baja tidak dipotong seenaknya, memastikan mushalla tidak ditopang oleh semangat gotong royong belaka, melainkan juga kalkulasi teknis yang sahih.

Runtuhnya salah satu gedung di Pesantren Buduran itu sendiri terjadi begitu cepat, secepat doa-doa yang sedang diucapkan dalam rakaat shalat ashar. Santri-santri yang khusyuk tiba-tiba mendapati dinding, lantai, dan langit-langit runtuh menimpa mereka, sementara jeritan berbaur dengan dentuman beton dan debu yang menyesakkan dada.

Hingga beberapa hari setelah kejadian, suasana pondok masih diselimuti kepanikan sekaligus ketabahan: keluarga korban berkerumun di sekitar gerbang, sebagian duduk terpekur sambil membaca doa, sebagian lain memandangi tumpukan reruntuhan dengan mata nanar. Di luar pagar, masyarakat sekitar bergantian mengirim bantuan logistik dan doa, seakan ingin meneguhkan bahwa duka pesantren adalah duka bersama.

Pesantren Al Khoziny sendiri bukanlah lembaga kecil yang baru tumbuh kemarin sore. Ia telah berdiri lebih dari seabad, menjadi bagian penting dari sejarah pendidikan Islam di Buduran, Sidoarjo, bahkan Nusantara. Di pesantren tua inilah KH Hasyim Asy‘ari muda, juga banyak nama lainnya, pernah menimba ilmu, sebelum kelak mendirikan Nahdlatul Ulama. Maka robohnya gedung ini bukan hanya musibah fisik, melainkan juga goresan luka pada memori sejarah ulama Nusantara.

Tragedi Ponpes Al Khoziny ini, jika dibaca dengan kacamata iman, adalah ujian berat. Jika dibaca dengan kacamata teknik, ia adalah catatan merah. Dan jika dibaca dengan kacamata kemanusiaan, ia adalah seruan keras: jangan lagi biarkan gedung-gedung pendidikan kita menjadi “kuburan massal” yang ditunggu waktu. Mari, hitung lagi gedung-gedung sekolah kita.

Musibah memang selalu datang tanpa undangan. Tetapi tanggung jawab moral dan profesional manusia adalah memastikan ketika musibah datang, kita tidak mempercepatnya dengan keteledoran kita sendiri. Dari reruntuhan ini, dari bau anyir yang menyergap angin sore, kita seharusnya belajar bahwa musibah bisa jadi takdir, tapi kelalaian selalu pilihan. (*)

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 3/10/2025