Penulis: Ririe Aiko
#30Harimenulispuisiesai
Puisi Esai 20
HATIPENA.COM – Puisi esai ini terinspirasi dari peristiwa tragis yang terjadi pada 18 Maret 2025, saat serangan udara Israel menghantam Jalur Gaza pada waktu sahur, menewaskan lebih dari 400 warga Palestina, termasuk anak-anak dan wanita –
Pukul dua lewat tiga puluh,
di meja kayu yang mulai rapuh,
seorang ibu menyendok bubur ke mangkuk anaknya.
Tangan mungil itu menyambut,
mata kecilnya berbinar,
seolah sahur malam ini adalah perayaan kecil,
di tengah dunia yang terus mencabut mimpi mereka.(1)
Tapi kemudian bumi berguncang.
Dinding rumah mulai berteriak,
sebelum runtuh dalam debu dan api.
Sendok kecilnya terlepas dari jemari anak itu.
Semangkok bubur tumpah ke lantai,
dan di langit Gaza, bintang-bintang meledak,
berubah menjadi pecahan besi dan bara.
Sang ibu tak sempat menutup doa sahurnya,
tak sempat memastikan sang anak menghabiskan suapan terakhirnya.
Ia hanya merasakan angin panas
menyapu tubuhnya,
dan di detik berikutnya, ia tak lagi mendengar apa-apa.
—000—
Di tanah yang hanya mengenal warna abu,
anak-anak tidak lagi bertanya tentang masa depan.
Mereka tumbuh lebih akrab dengan suara dentuman,
ketimbang nyanyian kemerdekaan.
Mereka tahu bahwa tembok bisa runtuh kapan saja.
Seorang gadis kecil mencari ayahnya,
melintasi jalan yang kemarin masih dipenuhi tawa.
Ia menemukan sepasang sandal yang ia kenal,
tertutup debu, bersimbah darah.
Ia ingin memanggil, “Ayah…”
tapi suara tak keluar dari tenggorokannya.
Ia bahkan tak bisa lagi menangis.
Luka ini terlalu sakit, untuk dileburkan dengan airmata.
—000—
Jauh di rumah sakit,
stok obat-obatan mulai menipis.(2)
Seorang dokter menatap bayi prematur,
di dalam inkubator yang telah kehilangan daya.
Ia menghitung detik, menunggu ajal tiba,
tapi ternyata kecepatan rudal, lebih awal merenggut nyawanya.
Bahkan rumah sakit pun menjadi sasaran.(3)
Di tempat lain, seorang bocah lelaki
menemukan buku tulisnya di bawah puing-puing sekolah.
Sampulnya koyak, tintanya luntur,
tapi di halaman terakhir,
ia masih bisa membaca cita-citanya:
“Aku ingin menjadi dokter,
agar bisa menyembuhkan banyak orang.”
Ia menatap sekeliling.
Tak ada lagi yang bisa disembuhkan.
Semua telah pergi menuju Tuhan.
—000—
Di luar Gaza, dunia tetap berjalan.
Ada yang menyeruput kopi di pagi hari,
ada yang mengeluh tentang hujan yang tak kunjung reda.
Di layar kaca, berita tentang kematian
hanya menjadi angka, menjadi statistik,
menjadi tajuk yang segera dilupakan.(4)
Di ruang sidang yang megah,
Para pejabat mengangkat tangan,
mengeluarkan resolusi yang tak lebih tajam,
daripada serpihan kaca di jalanan Gaza.
Mereka berbicara tentang kemanusiaan,
tapi tak pernah benar-benar menghentikan
darah yang terus mengalir.
Seorang lelaki tua duduk di antara reruntuhan,
tangannya menggenggam mushaf kecil
yang sampulnya terbakar separuh.
Ia membaca ayat dengan suara bergetar,
menyelipkan doa di antara keputusasaan.
“Tuhan, bukankah Kau ada di mana-mana,
hentikanlah tangisan dan segala duka di Gaza.”
Angin membawa suara itu ke sudut kota yang tinggal abu.
Dan Tuhan, mungkin mendengar,
mungkin diam, atau mungkin menangis
bersama Gaza yang tersedu.
—ooo—
Catatan :
(1)https://www.theguardian.com/world/2025/mar/19/our-hopes-are-gone-gaza-faces-fresh-devastation-as-ceasefire-collapses?
(2)https://www.reuters.com/world/middle-east/gaza-hospitals-overwhelmed-by-hundreds-injured-israeli-barrage-2025-03-18/
(3)https://www.tempo.co/internasional/who-rs-kamal-adwan-diserang-israel-fasilitas-kesehatan-terakhir-di-gaza-utara-tidak-berfungsi-1187040
(4)https://www.theguardian.com/world/2025/jan/15/the-devastating-impact-of-15-months-of-war-on-gaza