Rizal Tanjung | Penulis, Sastrawan Sumbar
HATIPENA.COM – Di negeri yang masih mencari definisi bagi kata “sastrawan”, muncul satu nama yang selalu memantul seperti gema di dinding kosong: Denny JA. Ia datang membawa bendera yang ia jahit sendiri — bertuliskan “pelopor puisi esai”, seolah dunia sastra sebelum dirinya hanyalah padang sunyi tanpa rumput, tanpa akar, tanpa Pope, tanpa Eliot, tanpa Chairil yang pernah menggigit malam dengan sepi paling purba.
Tetapi inilah zaman ketika cermin lebih terkenal daripada wajah, dan Denny, dengan segala kecepatan zaman digital, tahu cara mencintai pantulannya sendiri. Ia menyebut dirinya pelopor, sedangkan para penyair yang telah berjalan ribuan halaman sebelum dirinya — hanya disebut “masa lalu yang belum di-branding”.
Sastra, dalam tangannya, bukan lagi jendela jiwa; ia menjelma spanduk promosi yang dikibarkan di gedung seminar.
Pohon yang Baru Tumbuh di Taman yang Sudah Rimbun
Sungguh lucu, ketika seseorang menanam tunas di taman yang telah penuh pepohonan tua, lalu dengan bangga berkata: “Lihatlah, akulah yang pertama membuat hijau di dunia.”
Denny JA, dengan segala gelora medianya, seperti pohon muda yang menuntut tepuk tangan dari akar-akar yang telah berumur seratus tahun.
Ia memang baru tumbuh — tapi tumbuh di atas tanah yang disiram oleh peluh Chairil, darah Rendra, dan air mata Sapardi. Bedanya, mereka menulis untuk menyelamatkan nurani, sementara Denny menulis untuk membangun monumen bagi dirinya sendiri.
Para sastrawan tahu, pohon yang terlalu cepat tumbuh kadang mudah tumbang — karena akarnya hanya menempel di permukaan, tidak pernah menembus bumi sejarah.
Puisi Esai: Bayangan Panjang yang Tak Berakar
Denny menyebut dirinya pelopor puisi esai.
Namun para pembaca sastra tahu: di Eropa abad ke-18, Alexander Pope sudah menulis Essay on Man, Essay on Criticism, dan berpuluh karya hibrid yang menjembatani antara puisi dan refleksi filosofis.
Jika demikian, apa yang dipelopori Denny?
Mungkin hanya satu hal: keberanian untuk mengubur kembali Alexander Pope — agar nisannya tampak seperti batu fondasi bagi dirinya sendiri.
Betapa ironisnya, bahwa nama Pope kembali diusung oleh para pengkritik hanya karena Denny begitu percaya bahwa dunia baru dimulai ketika ia mengetikkan kata pertama. Seolah sejarah adalah bayangan yang bisa dihapus dengan penghapus digital, agar namanya bersinar di layar-layar pemberitaan.
BRICS Award dan Sindrom Panggung Kosong
Lalu muncullah kabar itu: Denny JA dinominasikan untuk BRICS Literature Award.
Gelombang kecil yang disulap menjadi badai.
Sebuah panggung yang, entah mengapa, justru memperlihatkan betapa sunyinya penonton yang benar-benar memahami makna penghargaan.
Bagi sebagian orang, BRICS hanyalah cermin baru yang dipasang di ruang tamu kepentingan — kilau yang belum sempat diuji waktu, tapi sudah berani menilai siapa “terbaik” di antara mereka.
Dan di situlah Denny berdiri: bukan sebagai penyair yang diuji oleh derita, melainkan sebagai figur yang diuji oleh strategi publisitas.
Ia tampak bangga, tapi wajahnya seperti topeng dari lukisan lama yang dipoles ulang: berkilau tapi tak bernyawa.
Apakah salah jika seseorang ingin terkenal? Tidak.
Tapi salah jika ketenaran dijadikan takhta estetika dan popularitas dipaksakan menjadi ukuran nilai sastra.
Para Penyair Turun dari Gunung
Lalu para penyair yang telah lama berdiam di sunyi, turun dari gunung-gunung kata-kata mereka. Mereka menulis surat terbuka, puisi sindiran, esai pembalasan, dan tawa getir di warung-warung diskusi.
Mereka tidak iri pada kekayaan Denny, bukan.
Mereka hanya kecewa melihat dunia yang dulu sakral — kini menjadi panggung bagi penyair industrial.
Mereka datang bukan membawa pedang, tetapi pena yang retak — karena tahu, yang mereka lawan bukan manusia, melainkan sistem yang menjadikan sastra semacam lomba kecantikan bagi intelektual.
Dan Denny, sayangnya, berdiri di tengah pusaran itu dengan kostum rapi, percaya diri, sambil berucap: “Aku pelopor, aku pembaharu.”
Sementara di kejauhan, suara Rendra bergema:
“Kau hanya mendandani luka dengan bros, Nak. Bukan mengobatinya.”
Kekayaan dan Kekosongan
Sebuah catatan kaki berbunyi:
“Kekayaan Denny JA jauh melampaui nilai BRICS Award.”
Kalimat ini, kalau dibaca dengan mata yang terbuka, bukan pujian — tapi epitaf yang halus.
Sebab ketika kekayaan seseorang disebut lebih tinggi daripada nilai penghargaan, sesungguhnya kita sedang membicarakan ketimpangan nilai: bahwa uang telah menelan puisi, dan sastra telah digadaikan pada pasar.
Apa jadinya bila penyair diukur dengan rekening?
Apa jadinya bila penghargaan diberikan bukan karena makna, tetapi karena koneksi?
Maka dunia sastra kehilangan cahayanya — sebab lilin-lilin kecil penyair sejati tenggelam dalam sorot lampu panggung sponsor.
Kesombongan yang Berjalan di Atas Bayangan Sendiri
Denny JA sering bicara tentang kebahagiaan, riset sosial, indeks religiusitas, bahkan dunia akademis.
Ia menulis dengan data, berbicara dengan grafik, tetapi melupakan bahwa sastra adalah tubuh dari jiwa, bukan tabel dari survei.
Ia ingin menjadi Socrates di tengah seminar, padahal sastra tidak lahir dari seminar. Ia tumbuh dari sunyi — dari sepi yang menulis dirinya sendiri di jantung manusia.
Kesombongan yang paling halus dalam dunia sastra bukanlah berkata “Aku hebat”, tapi ketika seseorang membuat sistem untuk memastikan dirinya disebut hebat oleh orang lain.
Dan di situlah Denny berdiri: di depan cermin panjang yang memantulkan semua wajah yang ingin ia tiru — lalu menyebut pantulan itu dirinya sendiri.
Mengubur Pope atau Menggali Diri Sendiri?
Maka pertanyaan paling getir yang tersisa:
Apakah Denny JA sedang berusaha mengubur Alexander Pope untuk kedua kalinya, atau justru sedang menggali kuburnya sendiri di taman sastra yang ia cemari dengan papan nama?
Sastra tidak membutuhkan pahlawan instan.
Ia hanya butuh kesetiaan — pada kata, pada waktu, pada luka yang jujur.
Dan di dunia yang semakin penuh “pelopor” buatan, mungkin yang paling revolusioner sekarang adalah menjadi penyair yang diam, tetapi benar.
Denny JA mungkin akan terus menulis, dan dunia akan terus membaca — tapi sejarah, seperti air, akan menilai sendiri mana batu yang murni, mana yang hanya disemir.
Sastra Indonesia tidak kekurangan nama, tapi kekurangan kesadaran untuk tidak menuhankan nama.
Dan Denny, dalam segala kebisingan popularitasnya, hanyalah satu contoh dari zaman ketika puisi kehilangan arah, karena terlalu sibuk mencari panggung.
Di akhir hari, mungkin Denny JA memang seorang pelopor —
bukan pelopor puisi esai,
melainkan pelopor era di mana citra lebih penting dari makna.
Di Meja Kosong Sang Tuhan Baru
Ada semacam kesunyian yang ironis ketika manusia mencoba menulis dirinya ke dalam sejarah.
Di sanalah Denny JA berdiri — bukan di tepi pantai sastra, tetapi di tengah pasar, menjual ombak yang ia buat sendiri dari busa kata dan angka.
Kita menyaksikan bagaimana sastra dijadikan mesin legitimasi eksistensi, bukan perenungan makna.
Camus pernah menulis bahwa absurditas lahir ketika manusia berteriak pada dunia yang diam.
Denny, mungkin tanpa sadar, adalah manusia absurd yang berteriak pada langit sastra:
“Lihat aku, aku telah mencipta genre!”
Tetapi dunia sastra diam, karena dunia ini telah terlalu sering mendengar teriakan serupa dari mereka yang haus dikenang.
Dan dari diam itu lahir ironi yang lebih dalam: bahwa keinginan untuk diakui adalah bentuk lain dari ketakutan untuk punah.
Barthes dan Kematian Sang Pengarang
Roland Barthes menulis: “The author is dead.”
Kata-kata itu bukan sekadar metafor, tapi semacam pisau yang memisahkan teks dari ego penciptanya.
Namun Denny JA tidak mau mati.
Ia ingin hidup di setiap karyanya, menempel pada setiap catatan kaki, hadir di setiap poster lomba, bahkan berbisik di setiap wawancara.
Ia menjadikan teksnya sebagai tubuh, dan tubuhnya sebagai merek.
Puisi, dalam tangannya, kehilangan keniscayaan untuk “menjadi bebas dari pengarang”.
Ia tidak lagi bicara tentang manusia, melainkan tentang manusia bernama Denny.
Puisi itu bukan karya — melainkan biografi yang dipaksa menjadi estetika.
Barthes mungkin akan tertawa getir:
“Bagaimana bisa sebuah teks hidup, jika pengarangnya menolak mati di dalamnya?”
Nietzsche dan Kematian Tuhan yang Dipalsukan
Nietzsche pernah mengumumkan bahwa Tuhan telah mati.
Namun ia tidak bermaksud meniadakan spiritualitas — ia sedang menelanjangi kesombongan manusia modern yang berusaha menggantikan Tuhan dengan dirinya sendiri.
Dan bukankah itu yang kita saksikan dalam fenomena Denny JA?
Ia tidak lagi mencari makna — ia menciptakan makna agar bisa memujanya.
Ia membangun altar di mana puisi menjadi simbol religiusitas baru: bukan untuk Tuhan, tapi untuk dirinya sendiri.
“Pelopor puisi esai,” katanya.
Kalimat itu bukan definisi, melainkan doa keangkuhan, seperti manusia yang menatap cermin dan berbisik:
“Akulah yang pertama mencipta langit kata.”
Nietzsche menyebut manusia semacam ini sebagai Übermensch palsu — yang gagal menanggung beban kebebasan, lalu melarikan diri ke dalam citra.
Mereka ingin menjadi Tuhan, tetapi hanya sanggup menjadi aktor di panggung kebesaran palsu.
Camus dan Absurditas Keabadian
Dalam The Myth of Sisyphus, Camus menggambarkan manusia yang mendorong batu ke puncak bukit hanya untuk melihatnya menggelinding lagi.
Batu itu adalah ambisi, bukit itu adalah popularitas, dan Sisyphus — barangkali — bernama Denny JA.
Setiap kali ia menulis, ia seperti mendorong batu ke puncak penghargaan baru.
Setiap kali batu itu jatuh, ia menulis lagi, membentuk narasi baru tentang “inovasi”, “peloporan”, “pengakuan internasional”.
Namun batu itu tak pernah menetap di puncak, karena puncak yang ia tuju bukanlah kebenaran, melainkan tepuk tangan.
Camus akan berkata: “Yang tragis bukanlah penderitaan Sisyphus, tapi keyakinannya bahwa batu itu berarti.”
Dan di situlah absurditas Denny JA bersemayam:
Ia berlari mengejar keabadian dalam dunia yang sudah lama melupakan makna keabadian.
Sartre dan Neraka Bernama Pengakuan
Sartre menulis dalam No Exit: “Hell is other people.”
Bagi Denny, neraka bukanlah orang lain, tetapi ketiadaan pengakuan dari orang lain.
Ia tidak bisa berdiam.
Ia tidak bisa menjadi anonim.
Ia harus dikenal, dipublikasikan, diseminarkan, dianugerahkan.
Dalam pandangan Sartre, manusia semacam ini adalah eksistensi yang tergantung pada tatapan orang lain.
Ia tidak ada jika tidak dilihat.
Ia tidak hidup jika tidak dipuji.
Dan di situlah tragedi sejati Denny JA:
Ia mungkin memiliki kekayaan, penghargaan, dan ribuan pengikut, tetapi ia kehilangan satu hal yang paling hakiki bagi penyair: kesunyian.
Borges dan Labirin Bernama Citra
Borges pernah menulis tentang seseorang yang begitu ingin dikenal sehingga akhirnya ia menciptakan sosok lain yang identik dengan dirinya, dan hidup di balik topeng itu.
Sampai suatu hari ia sadar: yang dikenal orang bukan lagi dirinya, melainkan bayangan ciptaannya sendiri.
Denny, dalam dunia sastra, tampak seperti manusia Borgesian —
hidup di labirin yang ia bangun sendiri dari kata “pelopor”, “genre baru”, “nominasi Nobel”, “BRICS Award”.
Dan di tengah labirin itu, ia tersesat,
karena setiap pintu yang dibukanya mengarah ke ruang yang sama: dirinya sendiri.
Rilke dan Keterasingan dari Jiwa
Rilke pernah berkata, “Karya besar lahir dari kesunyian yang panjang dan kesediaan untuk menanggung derita.”
Denny tampaknya melompati tahap itu.
Ia langsung ke panggung sebelum melalui kesepian.
Sementara para penyair sejati masih berbincang dengan malam dan nasibnya sendiri,
Denny sudah berbincang dengan panitia, sponsor, dan panitia penghargaan.
Ia bukan tak berbakat — tapi ia terlalu cepat memanen sebelum benihnya matang.
Dan buah yang terlalu cepat dipetik, seringkali indah di permukaan namun pahit di lidah sejarah.
Dari Tuhan Palsu ke Manusia yang Belum Selesai
Jika Nietzsche mengumumkan kematian Tuhan untuk membebaskan manusia,
maka Denny JA justru menghidupkan Tuhan dalam dirinya sendiri — bukan untuk kebebasan, tetapi untuk citra.
Ia ingin menjadi abadi, tetapi lupa bahwa keabadian tidak diciptakan oleh publikasi, melainkan oleh makna yang tak bisa dibunuh waktu.
Dan makna, seperti bunga liar, hanya tumbuh di tanah yang disirami kejujuran.
Pada akhirnya, Denny JA bukan musuh sastra — ia adalah gejala zaman,
zaman di mana penyair lebih sibuk mengelola wujudnya daripada mengelola jiwanya.
Doa di Tengah Cermin
Mungkin, suatu malam nanti, Denny akan duduk sendirian di depan cermin, dan bertanya dalam sunyi yang paling jujur:
“Apakah aku sungguh sastrawan, atau hanya bayangan dari keinginanku sendiri untuk disebut sastrawan?”
Dan bila malam itu tiba,
barangkali Tuhan yang dulu ia gantikan dengan namanya sendiri akan tersenyum kecil dan berkata lembut:
“Akhirnya kau kembali menjadi manusia.”
Sumatera Barat, Indonesia 2025