Oleh: Nurul Jannah
Ketika Doa, Keringat, dan Cinta Menjadi Sejarah
“Setiap langkah yang tulus adalah doa yang menjelma jalan, dan setiap doa yang dipanjatkan dengan cinta akan menemukan panggungnya.”
HATIPENA.COM – Pagi itu, Savoy Homan berdiri megah, menyimpan jejak sejarah yang tak pernah lekang. Savoy Homan menjadi saksi lahirnya harapan dan sejarah baru.
Dari pintu kaca besar yang terbuka, melangkah Bu Canting dengan tatapan penuh doa. Senyumnya memantulkan cahaya optimisme, membawa serta degup harapan dari puluhan UMKM yang telah ia bina.
Ia tahu, perjuangan UMKM bukan hanya soal menjual produk, melainkan tentang air mata yang jatuh di dapur kecil, tungku sederhana yang mengepul, dan tangan-tangan yang tak pernah lelah menenun cinta ke dalam setiap karya.
“Bismillah… semoga hari ini karya mereka berbicara lebih lantang daripada kata-kata,” bisiknya lirih, seakan menitip doa pada langit-langit hotel bersejarah itu.
Deretan Produk, Deretan Doa
“Sebuah produk bukan hanya barang. Ia adalah jiwa yang dikemas dengan cinta dan pengorbanan.”
Meja demi meja tersusun rapi: 14 jumlahnya: bagai barisan doa yang siap disaksikan dunia.
Dan di antara deretan itu, meja 6 menjadi tempat UMKM binaan Bu Canting flexing produk. Kentang Mustofa, Bawang Goreng, Ikan asin, Cidut, Rengginang, Kacang Bawang, serta Ikan Asin menjadi menu andalan dan favorit emak-emak di jagat literasi ini.
Aromanya menyeruak, pedas-manisnya membangkitkan rindu akan dapur sederhana yang penuh cinta. Setiap gigitannya menjadi simbol perjuangan. Kisah perjuangan seorang ibu yang menolak menyerah pada hidup.
“Masya Allah… ini yang paling saya tunggu, Kentang Mustofa!” seru Bu Eneng.
Bu Iswanti, NJD Jogja yang hadir dengan berkarung Salak penuh cinta, ikut menimpali “Kalau emak-emak sampai menunggu produk UMKM. Produk bakalan Viral. Berarti juara, Bu!”
Bahagia mereka berpadu dengan harum kentang balado, menciptakan suasana hangat yang bukan hanya mengenyangkan, tapi juga menguatkan.
Tak jauh dari sana, produk-produk UMKM lain juga bersinar: kecimpring renyah yang suaranya seperti tawa anak kecil di sore hari, telur puyuh dan telur asin yang membangkitkan nostalgia kampung halaman, madu murni dan madu bawang yang jadi obat rindu pada alam, kosmetik herbal, tas, sepatu, alat kesehatan, hingga buku-buku karya penulis yang berjajar anggun.
Setiap produk adalah doa yang terbungkus rapi, setiap label adalah cerita hidup, dan setiap bungkus adalah perjalanan panjang yang penuh keteguhan hati.
Dialog yang Menghangatkan
“Kekuatan UMKM bukan pada modal besar, melainkan pada hati yang saling menguatkan.”
Keramaian mulai mengalir.
Bu Wiwi mencicipi keripik pisang caramel, matanya nampak berbinar.
“Masya Allah, ini bukan hanya enak, Bu Canting… ini mah keripik pisang penuh rasa cinta dan perjuangan!”
Teh Indari menepuk lembut bahu Bu Canting sambil tersenyum menguatkan. “Saya percaya, ketika perempuan bergerak dengan cinta, UMKM tak hanya berdiri… mereka akan terbang.”
Bu Lela, dengan suara penuh keyakinan, menambahkan, “Hari ini kita bukan hanya menjual produk. Kita sedang membuktikan bahwa UMKM adalah wajah sejati bangsa. Lihatlah, betapa anggun mereka berdiri.”
Bu Sempa, sang Komisaris Savoy Homan, dengan elegan mengangkat sebuah produk UMKM sambil tersenyum, “Savoy Homan kembali menjadi saksi sejarah. Hari ini, sejarah ditulis oleh tangan-tangan UMKM Bangsa.” tandasnya.
Suara-suara itu berpadu bagai simfoni doa dan keyakinan, menyalakan api harapan yang menjalar ke setiap hati.
Romantika Kecil di Balik Stok yang Habis
Ketika produkmu habis, jangan panik. Itu tanda doamu dikabulkan.
Di tengah riuh, seorang pelaku UMKM bergegas menghampiri dengan wajah cemas.
“Bu Canting, stok saya habis! Bagaimana ini?”
Bu Canting menatapnya penuh arti.
“Jangan takut. Habis itu tanda cinta. Laku itu tanda doa diterima. Anggap ini bukti: usaha kecil kita sudah mengetuk hati orang lain.”
Kata-kata itu bagai embun di tengah terik, menyejukkan sekaligus menguatkan.
Harmoni yang Menggetarkan di Savoy Homan
Sejarah tidak selalu ditulis dengan tinta emas. Kadang ia ditulis dengan keringat, doa, dan cinta yang tak terlihat.
Siang menjelang. Lampu kristal hotel memantulkan cahaya harapan ke setiap sudut ruangan.
Meja demi meja telah menyatu dalam satu kisah: UMKM bukan hadir sebagai pelengkap, melainkan nyawa bangsa yang ingin berdiri dengan martabatnya sendiri.
Bu Canting menatap jauh, matanya berkaca-kaca.
“Hari ini kita menulis sejarah dengan tangan kita sendiri. Bukan dengan tinta emas, melainkan dengan keringat dan doa. Dan semoga sejarah ini tak berhenti di sini.”
Savoy Homan hari itu menjelma menjadi panggung doa, panggung perjuangan, panggung cinta. Kadang perjuangan lahir dari tangan kecil yang dianggap remeh. Namun ketika cinta memeluknya, ia menjelma menjadi gelombang besar.
Dan di Savoy Homan, tangan-tangan kecil itu bersuara lantang: Kami ada. Kami kuat. Kami bagian dari sejarah bangsa. (*)
Bogor, 6 Agustus 2025