HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Sayap Kecil di Langit Nusantara

September 29, 2025 08:55
IMG-20250929-WA0005

Oleh : Nurul Jannah

Degup Cinta di Batas Langit

HATIPENA.COM – Indonesia adalah negeri kepulauan, di mana jarak tak selalu bisa ditempuh dengan roda. Ada kalanya, sayap-sayap mungil di udara menjadi jembatan waktu dan penakluk rindu.

Hari itu, aku bersama sembilan anggota tim harus menempuh perjalanan dari Balikpapan menuju Sangatta. Bukan lewat darat yang bisa menghabiskan 12 hingga 15 jam penuh kelok dan letih, melainkan dengan sebuah pesawat mungil: Pegasus Air Service: burung besi kecil yang hanya memuat 20 orang, termasuk pilot dan kopilotnya.

“Bu Nurul, kita jadi beneran naik Pegasus ini?” bisik Mas Miki, ahli remote sensing tim audit kami. Matanya membesar, antara kagum dan cemas.

Aku tersenyum, meski dada ini ikut berdegup. “Iya, Mas. Percayalah, langit hari ini akan jadi sahabat kita.”

Sejarah Kecil, Sayap Besar

Pegasus Air Service bukanlah maskapai besar dengan ratusan armada. Ia lahir karena kebutuhan nyata: menghubungkan kota-kota tambang, pelosok, dan wilayah yang terlalu jauh bila ditempuh darat.

Konon, Pegasus dimiliki oleh swasta yang bermitra dengan perusahaan besar di Kalimantan, khususnya untuk mendukung mobilitas cepat antara Balikpapan dan Sangatta. Armada kecil ini ibarat urat nadi rahasia di tanah Borneo: sederhana namun vital, menghubungkan kerja, bisnis, dan pengabdian.

Pengalaman ini sangat terbatas. Tak ada tiket online yang bisa dipesan sembarangan. Semua diatur ketat, dijadwalkan, dan hanya diberikan kepada mereka yang punya keperluan mendesak.

Terminal Sunyi, Degup Sunyi

Begitu memasuki area terminal Pegasus, aturan berubah. Handphone harus dimatikan. Bukan hanya airplane mode, melainkan benar-benar mati.

“Sudah masuk wilayah kami, Bu. Demi keselamatan,” ucap seorang petugas dengan senyum tegas.

Aku sempat menatap layar HP, ingin sekali mengabadikan momen langka ini. Tapi akhirnya kutekan tombol off, menyerah pada aturan langit. Sejak saat itu, sunyi merambat. Tak ada notifikasi, tak ada gangguan; hanya aku, tim, dan langit yang menunggu di ujung pintu boarding.

“Deg-degan, Bu?” tanya Mbak Okta, rekan satu tim yang duduk di sampingku.

“Kalau jujur, iya. Tapi inilah nikmatnya perjalanan. Kita tahu masih hidup ketika jantung kita berlari lebih cepat,” jawabku sambil mencoba menenangkan diri sendiri.

Sayap Kecil, Langit yang Luas

Ketika Pegasus lepas landas, deru mesinnya jauh dari halus. Lebih menderu, lebih kasar, tapi justru itulah yang membuat bulu kuduk merinding.

Tubuh pesawat berguncang, perlahan meninggi. Dari jendela kecil, Kalimantan terbentang bagai permadani hijau tak berujung. Sungai-sungai berliku, hutan menjelma karpet zamrud, awan-awan menari di langit biru.

“Masya Allah… indah banget dari atas,” lirih bisik Mbak Fitri. Matanya nampak berkaca-kaca, seperti hendak menangis bahagia.

Ya, di ketinggian itu, rasa cemas bercampur takjub. Setiap guncangan adalah ujian, setiap pandangan keluar jendela adalah hadiah.

Waktu yang Dihadiahi Langit

Lewat darat, kami mungkin masih terjebak di jalan panjang, melewati jembatan kayu, hutan berdebu, menanti siang berganti malam. Tapi di sayap mungil Pegasus, waktu dipangkas: 12–15 jam berubah menjadi hanya sekitar satu jam.

Pak Agus Panca, ahli tambang yang paling riang di tim, menepuk pundak Ketua kami, Dr. Irdika Mansur, sambil berbisik penuh syukur: “Ternyata benar, waktu itu hadiah. Dan hari ini, hadiah itu turun dari langit.”

Dr. Irdika tersenyum bijak. “Ya, perjalanan ini bukan hanya soal cepat sampai. Tapi tentang bagaimana kita belajar percaya: pada mesin, pada pilot, pada langit, dan pada takdir.”

Doa di Balik Awan

Ketika roda Pegasus menyentuh landasan Sangatta, napas panjang serentak terdengar. Ada lega, ada haru, ada syukur. Kami saling pandang, berdoa dalam hati, lalu tersenyum.

Di tengah kecilnya kabin, terbatasnya kursi, dan deru mesin yang keras, aku merasakan sesuatu yang besar: rasa syukur tak terhingga. Bahwa Indonesia dengan segala kepulauannya selalu punya jalan, bahkan lewat pesawat kecil yang sederhana.

Langit bukan ruang kosong, melainkan jembatan kehidupan. Pegasus, dengan segala keterbatasannya, mengajarkan: perjalanan bukan hanya tentang tujuan, tapi juga keberanian menantang batas diri.

“Terbanglah, meski dengan sayap kecil. Sebab yang membuatmu sampai bukan ukuran sayapmu, melainkan keyakinan hatimu.”

Puisi untuk sang Pegasus

Sayap Kecil, Doa Besar

Di ujung landasan,
mesin meraung,
seperti dada
yang menahan degup rindu.
Langit terbuka,
bumi mengecil,
dan kita hanyalah titik
di antara awan.

Pegasus, engkau bukan pesawat mungil semata,
engkau adalah jembatan waktu, pemeluk jarak,
sekaligus penakluk sunyi.
Kami duduk rapat,
dua puluh jiwa,
dalam ruang sempit
yang penuh doa.

Setiap guncangan adalah pengingat,
bahwa hidup selalu tentang keberanian.

O langit Sangatta,
O bumi Balikpapan,
hari ini kami tahu:
perjalanan bukan semata
cepat sampai,
melainkan keyakinan bahwa Tuhan menjaga setiap sayap kecil kita.

Terima kasih, Pegasus,
engkau ajarkan kami arti sederhana,
bahwa tak perlu besar
untuk berarti.
Cukup terbang setia,
dengan doa
yang tak pernah padam. (*)

Bogor, 29 September 2025