Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Seberapa Dekat Engkau dengan Puisi?

December 30, 2024 17:17
Sang "Nabi Penyair" Edy Samudra Kertagama (Foto: Dokumen Pribadi)
Sang "Nabi Penyair" Edy Samudra Kertagama (Foto: Dokumen Pribadi)

Esai Mini

Edy Samudra Kertagama

CATATAN yang sudah lama hilang lantas saya mencoba mengingat-ingat kembali tentang “Seberapa dekatnya diriku dengan puisi?”. Mungkin pertanyaan ini begitu ringan dan sepele untuk di jawab, tapi bagi saya ini cukup membuat saya pusing juga, karena saya harus bisa dan mampu untuk menjawabnya, meski tak seluas penjabarannya secara detail karena saya bukan kritikus, tapi saya hanya seorang penyair.

Itu pun sebutan banyak orang selama ini, yang membuat saya harus terus-menerus menulis apa pun hasil karya saya, karena bagi saya itu merupakan proses kreatif yang  harus saya lakukan, hingga saya kembali menemukan catatan soal “seberapa dekat engkau dengan puisi?”

Mungkin puisi adalah sebentuk cerita. Karena ia menuntut perbedaan, baik dalam bentuk maupun cara kita melakukan pembacaan-menafsirkan.

Puisi menuntut perlakuan yang berbeda, hanya dengan menariknya ke dalam rasa puisi itu akan kita dapati makna di dalamnya.

Ya, pertanyaan yang mendasar, “Seberapa dekat engkau dengan Puisi?” seberapa dekat pula engkau dengan konflik yang ada di dalamnya hingga jadi pertarungan batin buatmu, hingga sampai-sampai engkau mencari  pembelaanmu terhadap apa yang kau tafsirkan dengan membawa setumpuk buku.

Belum lagi kau harus bisa menghadapi berbagai bentuk pada pendalaman tema yang harus kau pahami, walau saat itu engkau sering bertanya jalan indah yang mana harus aku lalui.

Sementara keindahan bahasa dalam puisi itu, tak bisa engkau apresiasi karena ia sudah mutlak ada. Dan engkau tak perlu mengotak-atiknya, sehingga engkau meminta apa yang engkau lakukan bisa dianggap sebuah puisi yang betul-betul indah dan telah selesai engkau tulis.

Sedang saat itu engkau tak sengaja telah merusak keindahan itu sendiri yang kuanggap engkau sedang menikmati kegagalan dan engkau perlu diberi cahaya agar puisimu tidak gelap, hingga hilang makna dan jadi sia-sia pula engkau termenung sampai menghabis bergelas-gelas kopi, dan rokok, ditambah daya hayalmu (imajinasi) yang belum siap untuk jadi penulis yang kreatif.

Seberapa dekat engkau dengan puisi? Berarti engkau harus lebih dulu dekat dengan Tuhanmu, walau kadang-kadang Tuhan menjadi konflik dalam puisimu, “karena kehidupan sosialmu”.

Seberapa dekat engkau dengan puisi? Begitu pun engkau harus dekat dengan kedua orangtua walau itu bisa menjadi konflik juga karena engkau menganggap keduanya pilih kasih denganmu.

Semacam konflik inilah bisa ada dalam bentuk apa pun dan engkau tinggal memilihnya, sehingga engkau betul-betul dapat memahami proses kreatifmu sebagai penulis  dan tidak hanya sekadar menempatkan imajinasi pada ruang yang tidak seharusnya dilakukan.

Jadilah, penulis puisi yang lebih kreatif dan jangan terlalu “berandai-andai hingga menjadi lipstik, karena penulis puisi bukan sedang mukis tapi melukiskan sebuah lukisan dengan kata-kata.

Melukiskan sebuah lukisan artinya bisa pada alam semesta, diri kita, orang lain, peristiwa saat ini atau masa lampau, dan kita harus segera menghilangkan egosentrik kita, jika  tidak mau disebut abstrak. Salam takzim.

Lampung-Indonesia, 2024