Seniman dan “Jenderal” di Taman Budaya Padang: Sebuah Refleksi tentang Kesetiaan dan Kekuasaan
Oleh Sastri Bakry
HATIPENA.COM – Saya merasa berbahagia ketika Fauzul El Nurca mengundang saya menonton pertunjukan teaternya yang berjudul Sang Jendral. Ingatan saya kembali segar ke puluhan tahun yang lalu. Di teater kecil yang nyaman, Taman Budaya Padang saya sering menonton setiap ada pementasan teater .Fauzul termasuk pemain teater senior yang saya kenal.
Sebelum berangkat ke taman budaya, saya ditanya cucu saya. “Teater itu apa nek?” Saya menjawab atas pertanyaannya yang beruntun. Intinya saya menjelaskan perbedaan teater dengan film. Antara langsung melihat dan bisa memegang pemain dengan hanya melihat layar.
Awalnya saya mengajak cucu saya, Alle 7 tahun, tetapi kemudian saya batalkan khawatir akan mengganggu. Alle pasti akan ribut jika panas, ternyata ACnya memang panas, mati atau dimatikan karena efisiensi?. He he
Saya tiba tepat waktu. Disambut hangat teman- teman seniman senior mau pun yunior dengan kudapan kopi dan teh. Beberapa saat menikmati, akhirnya lampu dipadamkan.
Sang Jenderal, produksi Studio Sangka Duo, dimulai dengan sedikit narasi lalu pemutaran film menggiring imajinasi tentang sang Jendral dan Prajuritnya.
Pemutaran film itu tak sesuai dengan penjelasan saya kepada cucu saya. Dia pasti akan banyak tanya. Untung lah film itu hanya pengantar pertunjukan . Suasana panggung dan pencahayaan terlihat terlalu sederhana.
Sutradara dan pemain Fauzul El Nurca, manajer panggung Dadang Leona, penata artistik Jon Wahid, penata musik Hasnawi Hasan, penata lampu Efrizal Ye dan Bambang Art dan Tusriadi, mulai memainkan peran depan dan belakang layar.
Pertunjukan ini tidak hanya sekedar pementasan, tetapi juga memotret masalah sosial di tengah-tengah masyarakat. Ia merupakan sebuah karya yang memprovokasi dan memikat. Ia mengajak penonton untuk merefleksikan tentang kesetiaan dan kekuasaan dalam konteks sosial dan politik. Dengan setting yang sederhana , pertunjukan ini menunjukkan bahwa teater dapat menjadi sarana yang efektif untuk mengkritik dan merefleksikan masyarakat.
Pertunjukan teater ini menampilkan kisah tentang seorang jenderal dan kepatuhan serta kesetiaan seorang bawahan bernama Patuik. Jenderal digambarkan sebagai sosok yang kuat. Tetapi tak mampu berbuat apa-apa.
Sementara Likolah Patuik , seorang bawahan yang menunjukkan kesetiaan luar biasa kepada komandan.
Ia mengatakan bahwa tidak ada yang lebih bahagia bagi dirinya kecuali berada di dekat komandan. Kesetiaan bawahan kepada atasan dapat diuji oleh berbagai hal, termasuk hal sepele.
Sejak awal pertunjukan, penonton disuguhkan dengan gambaran jenderal yang kuat dan berwibawa, sementara Patuik menunjukkan kesetiaan yang luar biasa kepada jenderal. Namun, seiring berjalannya cerita, terungkap bahwa kesetiaan Patuik tidaklah tanpa syarat. Ia memiliki batasan dan prinsip yang tidak dapat dilanggar, bahkan untuk seorang jenderal.
Pertunjukan ini juga menghadirkan kritik sosial yang tajam tentang kekuasaan dan hierarki dalam masyarakat. Jenderal digambarkan sebagai sosok yang memiliki kekuasaan absolut, sementara bawahan-bawahannya harus tunduk dan patuh tanpa syarat. Namun, di balik kekuasaan yang besar, jenderal juga memiliki rahasia yang tidak diketahui oleh orang lain, menunjukkan bahwa kekuasaan tidaklah selalu absolut. Ada rahasia di dalamnya. Itulah kesan yang tertangkap dalam refleksi kekinian kita.
Fauzul sebagai sutradara, berhasil menghadirkan sebuah karya yang tidak hanya sekedar pementasan, tetapi juga memotret masalah sosial di tengah-tengah masyarakat. Pertunjukan ini merupakan sebuah contoh bahwa teater dapat menjadi sarana yang efektif untuk mengkritik dan merefleksikan masyarakat.
Harapannya tentu dapat menjadi inspirasi bagi penonton untuk lebih kritis dan reflektif dalam memandang masyarakat. Hanya saja sejauh mana penonton memahami sebuah pertunjukan teater hingga menjadi perenungan untuk berubah?
Fauzul sebagai narator dan pemain, berhasil membawa penonton ke dalam dunia cerita dengan akting yang kuat dan memikat. Namun, kadang-kadang ia lupa peran dan bertukar dengan karakter lain, yang sedikit mengganggu jalannya cerita. Padahal ia yang menafsirkan naskah dan tokoh sebagai sutradara.
Beberapa adegan menarik:
Bagi saya ada adegan menarik menjadi refleksi politik dan kekuasaan sekarang.
Saya menilai sang Jenderal seperti patung lalu mayat, bagi saya ini merupakan refleksi jenderal yang mati hati dan tidak peka atas penderitaan rakyat , kezaliman dan ketidak adilan.
Adegan ketika sang prajurit menjadi kurir surat untuk sang kekasih yang kemudian menjadi nyonya sang Jenderal. Surat sampul merah muda yang dikirimkan oleh kurir berulang-ulang tak mengesankan masa lalu sang jendral.
Kemudian korban amuk massa, dan tentara yang menyelamatkan, tetapi malah dihukum disiplin.
Inilah refleksi sesungguhnya kondisi pimpinan dan rakyat. Kekuasaan tanpa hati. Kelemahan Sang Jenderal yang diketahui Patuik membuat kadang Patuik tak hormat pada pimpinannya. Ia mampu berbicara dengan komandan sambil berkacak pinggang.
Kepala jenderal makin menunduk, tak berdaya
Jenderal seperti patung, mayat yang tak lagi punya nurani.
Jika kau letakan racun di makananku apakah kau pikir aku berani memecatmu?
Rahasia sang jenderal yang tak seorangpun tahu, mungkin bisa menjawab sikap paradoks sang prajurit Patuik.
Perubahan posisi komandan. Tak digambarkan detil. Padahal bisa divisualkan dengan ekspresi dan lirikan mata. Untung kemudian Fauzul sadar hingga kembali ke kursi Jenderal .
Misalnya beda kaki tengkar dan normal serta letak topi dan jas. Kesetiaan bawahan pada akhirnya?
Itulah kelemahan monolog jika tak punya daya ingat dan karakter yang kuat memang bisa berganti peran dan karakter, karena lupa.
Komentar Penonton
Saya duduk di sebelah Syarifuddin Arifin. Saya bertanya tentang tokoh utama sang jenderal, prajurit yang setia dan narator monolog. Ucapan pujian dilontarkan Da If, demikian saya memanggilnya. Menurut da If , meski sudah lama tidak naik panggung, ternyata Fauzul el Nurca masih pemain kuat. Powernya masih terbina. Berdialog sendiri tanpa jeda selama lebih 30 menit. Kemudian da If juga memberikan kritikan. Ia menyebut Improvisasi Fauzul terkadang telanjang, jelas tidak ada dalam naskah yang dibuatnya sendiri. Pemeranan tunggal dengan 3 karakter ( orator, prajurit Patuik dan Jendral) masih keteter. Slide yang mengawali pementasan ini terasa masih nempel.
Kemudian setelah pertunjukan saya bertanya kepada banyak penonton soal pandangannya tentang pertunjukan . Ada yang tak paham. Ada yang sangat paham. Endut Ahdiat dosen sastra dan kritikus menjawab “Dari pertunjukan monolog Sang Jenderal, Aktor masih kurang menguasai naskah padahal naskah ditulis oleh Fauzul el Nurca. Bisa kemungkinan karena sedikit latihan. Bahkan ada dua dialog yang menurut Endut “di luar naskah” setelah adegan pertama dialog Sang Jenderal dengan ajudan yang setia”.
Dialognya kurang lebih seperti ini, “Maaf saya lupa menyampaikan kepada MC bahwa pertunjukan ini kurang …, kurang …, dan disponsori oleh … termasuk minim dana dst dst”
“Karakter tokoh yang diperankan ada dua sosok, yaitu sosok satu sebagai ajudan yang setia dengan akting kaki yang pincang dan sosok dua sebagai pencerita (aktor) dengan berbadan tegap. Namun dalam pemeranan kedua sosok tersebut terkadang bertukar peran, kadang sebagai pencerita kakinya pincang dan terkadang sebagai ajudan bertubuh tegap.
Ada sedikit kurang detil dalam pengkarakteran tokoh. Dari tata lampu pencahayaan monoton, sehingga aktor terkadang mimik mukanya harus memicingkan mato disebabkan silau dari cahaya lampu. Musik terlalu sunyi, jadi kurang greget” Tambah Endut.
Kepala Taman Budaya David mengatakan pertunjukan ini bukan sekedar pementasan tetapi juga kritik sosial karenanya, Devi berterima kasih kepada seluruh pendukung acara yang telah menampilkan karya terbaiknya.
Secara keseluruhan tampilan Fauzul cukup baik. Ia berstamina meski dalam suasana panas dan berkeringat karena tanpa pendingin. Akhirnya ia berhasil menyelesaikan pertunjukan selama hampir 40 menit.
Tetapi bagi Fauzul pribadi, ia merasa sangat-sangat tidak puas, jauh dari harapan, bahkan sedikit menurun dibandingkan capaian saat latihan. Ia merasa bukan tampil seperti Fauzul yang biasa saat di panggung. Ia tidak rileks dan kurang sabar. Namun apa pun, saya patut memberi apresiasi atas kekonsistenannya berkarya, Bravo Fauzul. (*)