Obituari Pipiet Senja
Rizal Pandiya
Penggiat Literasi dari Lampung
HATIPENA.COM – Kabar duka datang dari sahabatku Pipiet Senja. Ia telah berpulang untuk selamanya. Rasanya sulit untuk membayangkan kalau dunia literasi ini tanpa dirinya. Di mataku, Manini – sapaan akrabnya – bukan sekadar sastrawan, penulis atau penyair, melainkan cahaya yang selalu menyinariku ketika memilih aksara, menyusun kata menjadi sebuah cerita.
Pertama kali bersua – ternyata yang terakhir – dengannya pada 2022, di sebuah panggung megah bernama “International Minangkabau Literacy Festival”, di Bukittinggi. Ketika itu, Teh Pipiet membacakan sebuah puisi yang bertenaga, di bawah cahaya purnama.
Sebuah kritik sosial meluncur dari mulutnya bagaikan peluru meriam yang melesat ke sasaran – rezim yang sedang berkuasa. Memang tidak meledak keras, tapi nuansanya tembus sampai ke tembok istana. Aku terpesona, kagum, duduk di barisan paling muka, menatap sang penyair yang begitu jujur dan berani. Hatiku bertanya, “Siapakah gerangan orang ini?”
Tak membutuhkan waktu lama, aku pun menemukan nomor ponselnya. Dari situ lalu kami sering berkomunikasi. Aku mendapati, di balik tampilannya yang ringkih ternyata memiliki semangat yang menyala, tegas sebagai seorang penyair. Pipiet Senja adalah pribadi yang hangat, ramah, dan rendah hati.
Ia banyak bicara soal literasi, bercerita tentang buku, lalu tentang kehidupan, dan juga tentang ujian serta cobaan yang dititipkan Tuhan. Setiap percakapan dengannya, entah kenapa, kami seperti bertemu dengan sahabat lama yang sudah puluhan tahun tak bersua. Kesannya, selalu meninggalkan jejak dalam batinku.
Dari rumah keduanya, ia sering menelponku dan mulai bercerita, “Aku ini drakuli,” katanya sambil terkekeh. “Aku ini manusia pengisap darah.” Manini memang sering dirawat karena thalasemia, suatu penyakit bawaan yang membuat tubuh tidak dapat memproduksi hemoglobin dan sel darah merah secara normal.
Ia selalu cepat lelah, ketergantungan dengan transfusi darah sejak usia 9 tahun. Meski tubuhnya rapuh, tetapi jiwanya selalu penuh canda. Aku yang berada di seberang telepon, kadang bingung antara ingin ikut tertawa atau larut dalam rasa sakitnya.
Begitulah Pipiet Senja. Baginya, sakit bukan jadi alasan untuk bersedih, tetapi menjadi ruang untuk melucu, bahkan tentang kematian sekalipun. “Manini, please jangan game over dulu, ya,” katanya menirukan gurauan cucunya. Sepertinya, humor adalah tamengnya. Ia ingin membuat kesan kepada orang-orang tetap tabah menghadapi cobaan, walaupun dirinya sedang bertarung antara hidup dan mati.
Bukan setahun dua tahun, ia masuk dan keluar rumah sakit, tetapi semangatnya tidak pernah padam. Bayangkan, dari ruang perawatan sekalipun, ia masih berkarya, menulis, dan mengirim karyanya ke berbagai media termasuk ke Hatipena. Cerpennya, esainya, puisinya, bahkan novelnya, sarat dengan pesan kasih sayang, derita hidup, dan kemanusiaan. Sepertinya ia ingin membuktikan, bahwa sakit tak pernah bisa membatasi jiwanya.
Aku dengan tekun mendengar cerita tentang buku yang ditulisnya, tentang literasi dan ide yang diperjuangkannya. Tetapi ia tidak pernah tahu di waktu yang sama, aku pun terkapar di ranjang UGD RSU Abdul Moeloek Bandar Lampung.
Aku seperti dia. Bolak balik masuk rumah sakit karena jantung. Tetapi aku memilih diam, mendengarkan semua ceritanya. Sebab, bagiku, setiap kalimat yang keluar dari mulutnya adalah inspirasi dan membuatku lebih kuat.
Kini, Manini telah menemukan rumah yang sesungguhnya untuk beristirahat. Bukan rumah pertama, bukan juga rumah sakit – yang jadi rumah keduanya – tetapi rumah abadi. Ia pergi di usia senja, persis seperti nama penanya – Pipiet Senja, sebuah nama yang mengingatkan kepada kita yang sudah senja.
Selamat jalan teman baikku. Selamat jalan drakuli, yang selalu bercanda di sela sakitmu dan sakitku. Beristirahatlah dengan tenang di taman surga, dan suatu saat nanti kita berjumpa lagi, bercerita, dan menulis puisi di taman baca yang lebih membahagiakan. (*)
Bandar Lampung, 30 September 2025