Oleh Gunawan Trihantoro
Sekretaris Komunitas Puisi Esai Jawa Tengah
Refleksi Spiritual dan Sosial di Bulan Ramadhan (7)
HATIPENA.COM – Di sebuah mushala kecil di sudut kota,
seorang perempuan renta melipat mukena,
selembar kain putih yang telah kusam,
namun selalu basah oleh doa dan air mata.
Dulu, mukena itu hadiah dari suaminya,
seorang lelaki yang kini hanya ada dalam kenangan,
ia pergi di suatu Ramadhan bertahun silam,
meninggalkan rindu yang tak pernah usai.
Setiap malam, di sepertiga yang sunyi,
ia berdiri di hadapan Ilahi,
tak meminta kekayaan, tak memohon umur panjang,
hanya sebuah harapan kecil:
agar di surga nanti, ia kembali bertemu.
Di luar, hujan gerimis menitik pelan,
seorang anak muda masuk ke mushala,
bajunya lusuh, tubuhnya lelah,
tapi matanya mencari tempat bersimpuh.
Ia melihat perempuan renta itu,
tersenyum, lalu mendekat perlahan,
“Ibu, bolehkah saya sholat di sini?”
perempuan itu mengangguk,
dan kembali larut dalam tasbihnya.
Anak muda itu sujud lebih lama dari biasanya,
doanya terdengar lirih,
tentang ibu yang ia tinggalkan di kampung,
tentang ayah yang ia kecewakan,
tentang hidup yang keras di tanah rantau.
Perempuan renta itu diam,
namun hatinya bergetar dalam keharuan,
di dalam kesendirian, ia menemukan kepedihan orang lain,
dan dalam kepedihan orang lain, ia menemukan dirinya.
Ketika adzan Subuh menggema,
ia bangkit, menatap anak muda itu,
lalu menyerahkan selembar mukena,
“Ini bukan milikku, ini hanya titipan,
pakailah, dan berdoalah untuk mereka yang kau rindukan.”
Anak muda itu menerima dengan tangan gemetar,
ia menatap mukena itu dengan mata berkaca,
lalu tersenyum,
untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
Di Ramadhan yang sunyi,
di mushala kecil yang sederhana,
dua jiwa bertemu dalam doa,
dan Tuhan menyaksikan,
bahwa kasih sayang-Nya selalu hadir di antara mereka.(*)
Rumah Kayu Cepu, 7 Maret 2025.