Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Semoga Nyanyimu Lebih Merdu di Samping-Nya

March 22, 2025 19:05
IMG-20250322-WA0112

In Memoriam Firdaus Ali

Oleh Denny JA

HATIPENA.COM – Bernyanyi bukan hanya hiburan. Ia adalah terapi. Ia adalah perlawanan terhadap kesunyian, kesakitan, bahkan kematian.

Sebuah studi dari University of California pada 2013 menyebutkan. Mereka yang rutin bernyanyi memiliki umur lebih panjang, tingkat kebahagiaan lebih tinggi, dan kemungkinan lebih kecil terkena depresi.

Hasil riset ini yang terkenang, sepulang saya dari San Diego Hills. Saya baru saja pulang dari pemakaman Daus (Firdaus Ali), kakak saya paling sulung.

Dari Karawang ke Jakarta, sambil duduk di mobil, aneka fragmen tentang Daus datang berganti-gantian.

Yang unik, dan sangat menonjol, Daus ini
begitu senang menyanyi. Dokternya pernah berseloroh, karena ia suka menyanyi, usianya lebih panjang.

Sejak dua tahun lalu, setiap bulan Daus bolak-balik menginap di rumah sakit. Usianya 72 tahun. Menurut dokter, kapasitas jantung, paru-paru, ginjal, dan hatinya sudah di bawah 30 persen.

Ia juga terkena diabetes dan stroke berkali-kali. Dua kali ia pernah tak sadarkan diri. Beberapa kali ia menggunakan ventilator karena sesak napasnya.

Namun berkali-kali pula, istrinya mengirimkan kabar dan video. Ia sedang menyanyi di atas kursi roda, di ruang tamu rumahnya, atau di kafe.

Terlihat wajahnya pucat. Tapi ia penuh penghayatan menyanyikan lagu.

Daus pernah berkata. Selama ia masih bernyanyi, penyakit masih tak bisa menaklukannya, sepenuhnya.

Seminggu lalu, saya kembali dikirimkan video, Daus sedang bernyanyi. Tapi saya lihat, suaranya sudah tak sekuat dulu. Matanya sudah lebih redup.

Kali ini kondisinya agak lain. Kepada keluarga inti, saya katakan. Agaknya Daus akan pergi sebelum Lebaran ini.

Rest in peace. Hari ini, 22 Maret 2025, di hari baik bulan puasa, Daus wafat, pada pukul 7.45 pagi. Ia meninggalkan seorang istri, tiga anak, dan empat cucu.

-000-

Tentang lagu dan menyanyi sebagai terapi, saya teringat kisah Nelson Mandela. Ia dipenjara 27 tahun. Tapi keluar penjara, psikologinya tetap sehat. Ia pun menjadi presiden.

Dalam otobiografinya, Long Walk to Freedom, Mandela menulis:

“Bahkan di penjara, semangat kami tak bisa dipatahkan. Kami menyanyi. Dan ketika kami menyanyi, kami merasa bebas.”

Efek lagu itu sangat nyata. Lagu membuatnya tetap terhubung dengan dunia luar, dengan cita-cita, dengan rakyatnya.

Lagu memperkuat komitmen ideologis, karena setiap kata membawa makna sejarah dan pengorbanan. Lagu menjaga jiwanya tetap utuh, ketika tubuhnya dihina dan dibatasi.

Ini sebuah adegan di Robben Island. Satu kisah menyentuh diceritakan oleh rekannya sesama tahanan, Ahmed Kathrada. Pada suatu malam yang sunyi, setelah mereka semua lelah dengan kerja paksa, Mandela memulai dengan suara pelan:

“Nkosi sikelel’ iAfrika…”

Tahanan lain, yang sudah hampir menyerah, ikut menyusul. Suara-suara pelan bergabung menjadi paduan suara perjuangan, menggema di balik dinding penjara.

Malam itu, mereka tidak punya apa-apa. Tidak punya kebebasan. Tidak punya kenyamanan. Tapi mereka punya lagu, dan dalam lagu itu mereka punya Afrika.

Dari kisah Mandela, kita belajar bahwa nyanyian bukan hanya hiburan. Ia adalah alat perlawanan paling purba dan paling lembut.

Ketika senjata disita. Ketika pidato dibungkam. Ketika pena diambil.
Suara yang menyanyi tetap tak bisa dikekang.

Nelson Mandela membuktikan:
Selama kita bisa bernyanyi, kita belum sepenuhnya ditaklukkan.

-000-

Kini, setelah kepergian Daus, saya percaya: nyanyiannya belum usai. Ia hanya berpindah tempat. Dari ruang tamu ke ruang langit. Dari kafe sederhana ke taman keabadian.

Mungkin kini ia menyanyi dengan suara yang tak lagi terbatasi tubuh rapuh, tak lagi tertahan sesak napas atau redup mata. Mungkin kini suaranya jauh lebih jernih, lebih merdu, di samping-Nya.

Bagi kami yang ditinggal, suara Daus akan terus hidup. Dalam gema lagu-lagu kenangan. Dalam tawa di ruang keluarga.

Dalam air mata yang menetes ketika “My Way” dan lagu “Sio Mama”, lagu favoritnya, kembali terdengar. Saya takkan lupa wajah pucatnya yang bersinar ketika ia menyanyi.

Seolah suara itu sendiri menunda kematiannya, menolak menyerah, menegaskan: “Aku masih di sini. Aku masih hidup.”

Daus telah mengajari kita satu hal penting: bahwa hidup, bahkan yang terberat sekalipun, bisa dinyanyikan.

Dan selama kita masih bisa bernyanyi—meski pelan, meski sendu—kita belum kalah. Kita belum selesai.

Selamat jalan, Bang Daus.
Semoga nyanyimu lebih merdu di sisi-Nya.
Kami di sini akan terus menyanyi,
karena di dalam lagu,
kita semua kembali pulang.

Jakarta, 22 Maret 2025

*Aneka esai Denny JA bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/16Qm3HoSCF/?mibextid=wwXIfr