Oleh Gunawan Trihantoro
(Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah)
HATIPENA.COM – “Kalau dunia tidak ada seninya, dunia akan kaku banget, membosankan. Tapi kalau pekerja seni berkelahi, jadi repot juga kita,” ucap Saldi Isra, Hakim Mahkamah Konstitusi. Sebuah kalimat sederhana, tetapi sarat makna reflektif tentang pentingnya seni dan harmoninya dalam kehidupan sosial.
Seni merupakan anugerah besar yang menyiramkan keindahan pada arus keras kehidupan manusia. Melalui musik, lukisan, sastra, dan film, dunia menjadi lebih lembut, lebih bersahabat untuk dihuni.
Bayangkan dunia tanpa lukisan, tanpa nada, tanpa tari, ia akan terasa seperti gurun yang tak bertepi, kehilangan warna dan makna. Keberadaan seni menjadi semacam napas panjang yang memperpanjang denyut kejiwaan manusia.
Dalam sidang pembahasan UU Hak Cipta, Saldi Isra menyoroti bahwa pekerja seni tidak hanya bertugas mencipta karya, tetapi juga memelihara harmoni di antara mereka. Perselisihan internal justru berpotensi menciptakan luka sosial yang lebih luas.
Pekerja seni memiliki peran ganda, membahagiakan publik dengan karya-karyanya dan menjaga keteladanan sebagai komunitas kreatif yang saling menghargai. Konflik di antara mereka bukan hanya urusan pribadi, melainkan urusan publik.
Era modern memperlihatkan bahwa industri kreatif menjadi salah satu pilar ekonomi nasional. Data menunjukkan bahwa subsektor musik, film, dan seni pertunjukan mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap PDB.
Namun, pertumbuhan ini bisa menjadi rapuh apabila konflik internal terus mencuat. Sengketa hak cipta, pertentangan visi kreatif, atau perebutan keuntungan dapat menjadi batu sandungan besar.
Dalam konteks inilah, Saldi Isra mengingatkan bahwa persatuan di antara para pekerja seni adalah kebutuhan mendasar. Bukan semata demi kepentingan personal, melainkan demi kelangsungan industri kreatif itu sendiri.
Hak cipta, sebagai salah satu perlindungan hukum bagi pekerja seni, memang penting untuk dijaga. Ia melindungi karya sebagai ekspresi intelektual yang bernilai ekonomi maupun budaya.
Namun demikian, penguatan hak cipta tidak boleh mengaburkan pentingnya etika kolektif di antara para seniman. Hak atas karya harus berjalan beriringan dengan kewajiban menjaga solidaritas profesi.
Seringkali, persoalan di dunia seni bukan sekadar masalah hukum, melainkan juga ego, ambisi, dan ketidakmampuan membangun dialog kreatif. Di sinilah pentingnya kedewasaan sosial para pelaku industri kreatif.
Mereka perlu melihat diri mereka bukan sebagai pesaing semata, melainkan sebagai rekan seperjalanan dalam merayakan keindahan kehidupan. Dunia kreatif harus ditumbuhkan sebagai ekosistem, bukan arena perang.
Dalam ekosistem kreatif, saling menghormati menjadi fondasi utama. Hak dan karya masing-masing dihargai, tetapi semangat kolaborasi dan apresiasi tetap dijunjung tinggi.
Apabila pekerja seni saling berkelahi, bukan hanya mereka yang rugi, melainkan masyarakat luas kehilangan sumber inspirasi. Kekacauan di dapur seni akan berdampak pada keringnya menu budaya bagi publik.
Kita telah menyaksikan betapa pertikaian di antara musisi, aktor, atau pelukis kerap menciptakan polarisasi penggemar, perpecahan komunitas, bahkan penurunan kepercayaan terhadap dunia seni itu sendiri.
Sebaliknya, ketika para pekerja seni bersatu, dunia menjadi lebih kaya, kolaborasi lintas genre, proyek bersama, dan solidaritas dalam menghadapi tantangan bersama membuat industri seni menjadi lebih tangguh.
Seni pada akhirnya bukan sekadar soal ekspresi individual, melainkan juga upaya kolektif untuk membangun peradaban. Dari dinding gua purba hingga konser megah modern, seni selalu mengandalkan jaringan solidaritas manusia.
Oleh karena itu, pernyataan Saldi Isra dapat dibaca sebagai peringatan dan ajakan untuk kembali ke ruh sejati seni, memperkaya hidup manusia, bukan memperumitnya lewat konflik internal yang berkepanjangan.
Dalam dunia yang penuh tantangan seperti sekarang, justru seni menjadi benteng pertahanan terakhir manusia terhadap kelelahan mental, stres sosial, dan polarisasi politik.
Seni yang dijaga kerukunan penciptanya akan memancarkan energi positif ke seluruh penjuru masyarakat. Sebaliknya, seni yang dicemari pertikaian akan kehilangan daya magisnya.
Tugas pekerja seni hari ini tidak sekadar membuat karya yang bagus, melainkan juga menampilkan kehidupan komunitas yang harmonis. Sebab, teladan dalam kerjasama sama pentingnya dengan karya itu sendiri.
Melalui karya dan perilaku sosialnya, pekerja seni membentuk narasi tentang siapa kita sebagai manusia. Mereka adalah cermin harapan, jembatan perasaan, dan pemersatu ruang-ruang batin yang tercecer.
Refleksi ini membawa kita pada kesadaran bahwa membangun dunia seni berarti juga membangun dunia yang lebih damai. Keindahan lahir dari harmoni, bukan dari pertikaian.
Pesan Saldi Isra mengingatkan kita semua bahwa seni bukan sekadar untuk dinikmati, tetapi juga untuk dijaga. Bukan hanya soal hak cipta, tetapi soal tanggung jawab sosial sebagai manusia kreatif.
Dalam dunia yang begitu haus akan keindahan dan kedamaian, pekerja seni harus memilih, menjadi pemadam kegelapan atau justru menjadi api yang membakar jembatan kemanusiaan.
Pilihan itu ada di tangan mereka, dan dampaknya akan kita rasakan bersama. (*)
Rumah Kayu Cepu, 27 April 2025