Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Si Miskin Tidak Boleh Sakit

May 8, 2025 15:17
IMG-20250508-WA0042

Oleh: Ririe Aiko

HATIPENA.COM – Pak Sudar, lelaki 50 tahun, tinggal bersama istrinya di ruangan sempit berukuran 4×6 meter. Ruang itu bukan rumah, lebih mirip kotak kardus raksasa yang kebetulan berdinding tembok. Tiga anak mereka, yang seharusnya duduk manis di bangku SD, lebih dulu lulus dari akademi kehidupan: menjajakan gorengan dan memungut botol plastik demi sesuap nasi.

Suatu hari, Pak Sudar demam. Bukan demam biasa, ini demam kelas pekerja: menggigil tapi tetap mencoba berdiri. Sebab di dunia Pak Sudar, sakit itu bukan sinyal tubuh untuk beristirahat, melainkan sinyal alarm bahwa dapur akan berhenti mengepul. Tapi tubuh punya batas, dan Pak Sudar tumbang.

Dengan bantuan supir angkot—karena ambulans sepertinya hanya bersahabat dengan alamat rumah pejabat—Pak Sudar dilarikan ke UGD rumah sakit terdekat. Tapi rupanya, pintu UGD punya sensor otomatis: jika masih bisa bernapas, walau sisa nyawa setengah, Anda belum memenuhi syarat gawat darurat. Dan menurut kebijakan yang berlaku, UGD hanya melayani pasien BPJS secara gratis bila sudah masuk kategori gawat darurat medis. Bila tidak, silakan antre di faskes pertama, lengkap dengan surat rujukan, dan wajib ikuti prosedur yang berlaku.

“Ibu harus ke faskes satu dulu,” ujar petugas. Kalimat yang terdengar lebih mirip mantra penolak bala bagi mereka yang dompetnya hanya berisi recehan.

Sambil menahan air mata, sang istri menggandeng suaminya yang setengah hidup, kembali ke faskes satu. Di sana, sistem antrian tak pandang bulu: entah anak menteri atau tukang rongsokan, semua mendapat nomor. Tapi bedanya, yang satu punya uang untuk bypass antrean lewat fasilitas premium, satunya hanya punya doa berharap masih diberi nyawa.

Hari itu, Pak Sudar mendapat nomor urut 35. Pasien baru sampai nomor belasan. Istrinya menangis, memohon, merintih. Tapi tangis tak tercatat dalam regulasi. Suara istri pemulung tidak cukup nyaring untuk menembus tembok administrasi.

Sampai di nomor urut 32, tubuh Pak Sudar sudah tak lagi bergerak. Napas terakhirnya perlahan hilang, tanpa ada yang sempat mencatat kapan detiknya. Diam. Sunyi. Dunia seolah berbisik lirih: “Bagi si miskin, hidup memang selalu sulit. Bahkan saat sakit pun, mereka masih harus belajar menelan pahit—tanpa sempat ditolong.”

Kisah ini hanya sebuah fiksi yang diangkat dari berbagai realita nyata. Sebuah cermin pahit tentang bagaimana kemiskinan kerap melucuti hak-hak paling mendasar manusia. Di negeri ini, bahkan untuk sakit pun si miskin harus menempuh birokrasi dan antrean panjang, seolah nyawa mereka tidak pernah cukup darurat. Inilah hidup—di mana hal paling realistis seperti meminta pertolongan medis, justru menjadi kemewahan yang sulit dijangkau oleh mereka yang hidup dibawah garis Kemiskinan.

“Karena hidup jarang berpihak pada mereka yang tak pernah dianggap ada—mereka yang bukan siapa-siapa.” (*)

Berita Terkait

Berita Terbaru