- Kata Pengantar Buku Imam Qalyubi “Analisis Semiotik, Linguistik dan Intertekstualitas Terhadap 15 Puisi Esai Denny JA”
Oleh Denny JA
HATIPENA.COM – Kebenaran terdalam dunia tidak dapat diungkap secara langsung. Ia harus “dibisikkan”, ditandai lewat bayangan dan nuansa, bukan dideklarasikan terang-terangan.
Oleh karena itu, simbolisme sangat cocok dengan puisi, karena puisi memberi ruang pada ambiguitas, resonansi, dan kedalaman imajinasi.
Simbol adalah bahasa rahasia jiwa. Ia muncul bukan untuk menjelaskan, melainkan untuk mengguncang.
Dalam kata “bulan”, kita tidak hanya melihat langit malam, tetapi kerinduan yang tak terucap, kesunyian yang melingkar dalam dada.
Dalam kata “laut”, kita tak sekadar membayangkan ombak, tapi luka yang terus datang dan pergi.
Penyair tidak memberi jawaban. Ia hanya membuka jendela. Lewat simbol, puisi tidak mengatakan “ini dia kenyataannya”, tetapi “mari kau rasakan ini bersamaku”.
Setiap simbol mengundang pembaca masuk ke ruang batinnya sendiri. Di sana, makna bukanlah milik satu suara, tapi gema dari banyak kemungkinan.
Bahasa literal memenjarakan. Tapi simbol membebaskan makna untuk menari. Di sanalah puisi menemukan kekuatannya.
Dalam bisikan simbol, ia mengajarkan kita: dunia tak harus dijelaskan, cukup dirasakan, dan dibiarkan berbicara dalam diam yang paling dalam.
Renungan soal simbolisme kata ini yang saya rasakan ketika membaca buku Imam Qalyubi. Ia menganalisis 15 puisi esai saya dalam buku “Mereka Yang Mulai Teriak Merdeka,” (2025). Qalyubi menganalisis puisi itu satu persatu dengan pendekatan semiotika, linguistik dan interteksualitas.
-000-
Sumber tulisan Qalyubi ini cukup unik. Saya menuli puisi esai tentang para tokoh yang mulai teriak merdeka. Ada Dokter Sutomo, Haji Samanhudi, HOS Tjokoroaminoto, Dewes Dekker, Samaun, Ki Hajar Dewantoro, Tan Malaka, Kartini hingga Bung Karno dan Bung Hatta.
Satu persatu, setiap hari puisi esai ini saya publikasi di medsos saya, WAG, juga ke jaringan pribadi WA. Ini termasuk publikasi ke WA pribadi Imam Qalyubi.
Dengan intens, setiap puisi esai saya itu, hari ini juga, atau besok dan lusanya, direspon dengan analisis seorang kritikus. Qalyubi mengupas simbol, tanda, intertektualitas yang hadir di puisi saya. Ia menyampaikan apa makna lebih dalam yang disampaikan lewat tanda- tanda kata itu.
Lima belas analisis ia tuliskan untuk lima belas puisi. Disepakati 15 analisis itu dibukukan agar menjadi referensi percakapan mengenai kritik sastra.
-000-
Ini contoh simbolisme yang diurai Imam Qalyubi terhadap puisi esai berjudul “Dan Lahirlah Budi Utomo.” Di bawah ini, kutipan sebagian puisi esai itu:
Lelaki tua itu datang sebagai pasien.
Tubuhnya lapuk seperti kayu rapuh.
Lihatlah keringatnya,
ekspresi hari-harinya yang terampas.
Tangan kasar penuh luka,
dari tanah yang ia bajak, bukan untuknya, tapi untuk penjajah.
Di meja Soetomo, ia berbisik: “Dokter, adaka obat untuj tanahku?
Tubuhku mungkin sembuh,
tapi negeriku berdarah.
“Aku sakit, Dokter,
sakitku bukan karena virus,
tapi karena ketidak-adilan penjajah,
karena derita yang kupikul.
Kau tak bisa sembuhkan aku hanya dengan obat biasa.
Sembuhkan aku dari penindasan.
Dari ketidakadilan.”
Pasien itu menangis,
pelan dan dalam.
Air matanya menjadi percik api,
membakar daun kering di hati sang dokter muda.
Itulah awal api yang menyala. Dokter Soetomo diam dan merenung.
“Tak ada kekuatan yang lebih dahsyat dibandingkan pikiran- pikiran yang berpadu.
Ia api yang tumbuh menjadi kobaran besar,
membakar
belenggu penjajahan demi kebebasan bangsanya.”
Imam Qalyubi menganalisisnya. Saya kutip sebagian analisis itu:
“Membaca dan pelan saya amati puisi esai karya Denny JA dengan judul “Mereka yang Mulai Teriak Merdeka (1) dan Lahirlah Budi Utomo” ini, ada begitu banyak remahan makna.
Dengan cepat kemudian pikiran saya tertuju pada teknis pemaknaan semiotika poststrukturalisme Roland Barthes yang saya baca 20 tahun lalu.
Kelebihan pembacaan Barthes ini tidak bersifat tunggal seperti penggagas strukturalisme Ferdinand de Saussure dengan oposisi binernya. Metode ini digunakan untuk melihat aras terdalam dalam sebuah puisi.
Puisi esai ini penuh dengan varian ekspresi yang menyampaikan konten tentang perjuangan melawan penjajahan dan kelahiran kesadaran nasional.
Terdapat beberapa tanda atau ekspresi seperti pasien, rakyat jelata, korban penjajahan yang merujuk satu ekspresi yang sama: “lelaki tua” pada bait satu larik kesatu.
Lelaki tua ini selanjutnya dideskripsikan lagi dengan tegas dalam klausa dengan gaya simile “lapuk seperti kayu rapuh”.
Dalam tradisi semiotika Barthes, klausa tersebut berrelasi dengan konten kondisi fisik dan mental bangsa yang telah terjajah.
Sementara “keringatnya” dan “hari-harinya yang terampas” pada pemaknaan lapis kedua memiliki relasi dengan konten penindasan yang dialami oleh rakyat.
Pada bait kedua larik pertama, ekspresi “tangan kasar penuh luka” berrelasi dengan kerja keras pribumi, namun kesia-siaanlah yang didapat, karena semua hasil itu dinikmati penjajah. Sebuah suara-suara kepedihan rakyat di bawah penjajahan.
Kemudian Dr. Soetomo dihadirkan dalam puisi ini sebagai helper. Ia akan mrngobati lelaki tua sebagai pasien komplikasi sakit fisik, tapi dengan luka akibat eksploitasi.
Ini sakit secara psikologis karena hak-haknya dirampas kolonial.
Pada bait ketiga larik kedua, ekspresi lelaki tua “adakah obat untuk tanahku” dan “sembuhkan aku dari penindasan”.
Konten lapis kedua dari kalimat itu secara konotatif mengindikasikan bahwa lelaki tua bukanlah orang biasa. Ia memiliki landasan berpikir filosofis terkait dengan kolonialisme.
Sengaja hanya sebagian kecil saja dari analisis Imam Qalyubi yang saya paparkan. Ini sekedar untuk memberikan nuansa analisis.
-000-
Dapat juga diberi contoh analisis Imam Qalyubi atas puisi esai saya berjudul “Derita Saijah dan Adinda untuk Indonesia Merdeka.”
Saya paparkan dulu kutipan puisi itu:
“Di tanah yang menangis darah, tumbuh kisah cinta,
bunga yang setia:
Saijah dan Adinda,
sepasang burung kecil yang mencari sarang,
di hutan sunyi penuh jerit dan luka.
Cinta mereka adalah embun pagi,
tapi jatuh di tanah yang dibakar api.
Saijah, anak lelaki yang menanggung takdir,
melihat kerbau keluarganya diambil aparat.
Tanpa kerbau, sawah menjadi sia-sia.
Ayahnya mati dalam putus asa.
Saijah pergi ke Batavia,
membawa janji seperti obor kecil,
untuk kembali dalam tiga tahun:
“Tunggu aku, Adinda.
Kita akan menikah di pohon nangka.”
“Saijah, ku akan di sana,
menunggu dengan kain biru,
di pinggir telaga doa.”
Tapi kerbau-kerbau keluarga Adinda pun dirampas.
Hutan menyembunyikan jerit ayah Adinda.
Perjalanan mereka menuju tempat sepi,
berakhir terbunuh oleh pisau perampok.
Adinda tak sempat merasakan pelukan Saijah.
Lihatlah darahnya,
menyuburkan tanah yang menangis.
Saijah kembali,
menemukan hutan yang bisu,
pohon-pohon berdiri,
memberikan kesaksian pilu,
tentang tragedi.
Kain biru Adinda tergantung di dahan,
menjadi bendera setengah tiang,
di kerajaan sunyi.
Sepi.
Ngilu.
Luka menganga.
Cintanya berubah menjadi bara.
Saijah nyalakan dendam di dada yang rapuh.
Namun baja kolonial adalah badai.
Tubuh kecil Saija hanya daun kering,
jatuh tanpa suara di medan perlawanan.
Saijah gugur.
ibu pertiwi menyerap darahnya,
memeluk dingin pemuda yang celaka.”
Di tanah yang menyerap darah Saijah, tumbuh akar yang tak terpatahkan: setiap tetesnya menjadi huruf dalam kitab yang dibaca angin.
Kain biru Adinda pun berbisik,
“Duka ini bukan akhir, tapi benih dari merah-putih fajar yang akan menyala di kelam kolonial.”
Dalam pembacaan ini, Imam Qalyubi tidak hanya membaca kisah tragis dua anak manusia. Ia juga menelanjangi wajah kolonialisme yang mengoyak kemanusiaan.
Puisi ini adalah metateks dari Max Havelaar karya Multatuli, novel penting yang mengungkap penindasan sistem tanam paksa.
Imam menggunakan pendekatan intertekstualitas untuk menunjukkan bahwa puisi ini bukan teks tunggal. Puisi terhubung erat dengan karya sastra lain yang lebih dahulu hidup.
Kisah Saijah dan Adinda bukan hanya disalin. Ia juga ditafsir ulang, diperluas maknanya dalam konteks Indonesia merdeka.
Imam menyebut puisi ini sebagai “resonansi emosional dari novel sejarah yang kini hidup kembali sebagai puisi perjuangan.”
Tapi bukan hanya intertekstualitas yang ia gunakan. Imam juga mengandalkan semiotika, terutama gagasan Roland Barthes.
Misalnya, frasa “kerbau yang dirampas” dibaca bukan sekadar kehilangan hewan ternak. Dalam pembacaan Imam, kerbau adalah simbol ekonomi rakyat, lambang satu-satunya alat hidup yang dirampas penjajah.
Maka ketika kerbau itu diambil, maknanya: masa depan ikut dijarah.
Simbol lain yang dibongkar Imam adalah “kain biru Adinda tergantung di dahan”, simbol kesetiaan, kematian, dan sunyi yang menggantung.
Imam menafsirkan kain itu sebagai bendera duka. Tapi itu sekaligus penanda cinta yang tak pernah sempat mekar di tanah yang dijajah.
Ia menyebut momen ini sebagai “simbol kematian yang lembut, namun menghunjam.”
Untuk memperdalam tafsirnya, Imam juga menggunakan pendekatan linguistik struktural.
Ia menganalisis pilihan kata seperti “jerit,” “air mata,” dan “tanah yang menangis darah” sebagai jaringan makna yang membentuk nuansa tragis puisi.
Ia menyoroti bahwa puisi ini tidak hanya menyampaikan cerita, tetapi menanamkan perasaan, lewat gaya bahasa, metafora, dan ritme.
Lebih jauh, Imam mengaitkan puisi ini dengan gagasan Michel Foucault tentang pengetahuan dan kuasa. Ia membaca bagaimana pena Multatuli menjadi “pedang yang tak terhunus, tapi tetap melukai”—sebuah senjata wacana.
Di tangan Imam, tafsir ini menjadi renungan: bahwa perlawanan tak selalu datang dari senjata, tapi dari kalimat yang ditulis dalam sunyi, dari hati yang luka dan tak ingin diam.
Dengan pendekatan intertekstual, semiotik, dan linguistik, Imam Qalyubi membuka jendela baru pada puisi ini.
Ia menunjukkan bahwa “Derita Saijah dan Adinda” bukan hanya puisi. Ia adalah sejarah yang menangis, cinta yang gagal tumbuh, dan kemerdekaan yang disiram oleh darah para martir.
Dalam sunyi pembacaannya, Imam membisikkan satu hal: setiap puisi besar menyimpan luka kolektif bangsanya. Dan tugas kritik sastra adalah menyentuh luka itu, perlahan, dengan pemahaman dan cinta.
-000-
Puisi tak pernah hadir hanya sebagai kata. Ia datang sebagai bisikan dari ruang terdalam, dari luka yang tak sempat dikatakan, dari cinta yang tak sempat diungkapkan.
Namun tak semua pembaca mampu menangkap napas sunyi di balik larik. Maka, di sinilah kritik sastra hadir, bukan sebagai hakim, tapi sebagai penyambung makna.
Ia menyalakan pelita ketika puisi terlalu remang. Ia mengantar pembaca menyeberangi jembatan antara teks dan kehidupan.
Ada setidaknya tiga alasan mendasar mengapa kritik sastra, khususnya yang mendekati puisi dengan cermat dan cinta, membantu kita memahami puisi secara lebih mendalam. Bahkan kita menjadikan puisi jendela ke realitas yang lebih luas.
Pertama: Kritik sastra membongkar simbol yang tersembunyi
Puisi bekerja seperti mimpi: ia berbicara dengan simbol, bukan pernyataan. Kata “bunga” bisa berarti cinta, kematian, atau keheningan tergantung siapa yang menulis dan kapan ia ditulis.
Tanpa pemahaman simbolisme, kita hanya membaca kelopaknya—bukan aromanya.
Melalui kritik semiotik, seperti yang digunakan Roland Barthes, kita belajar membaca makna ganda, lapisan-lapisan tanda.
Dalam puisi The Raven, karya terkenal Edgar Alan Poe, kata “gagak” bukan hanya burung, tapi gema duka, bayang-bayang kematian, dan trauma yang tak pergi.
Tanpa analisis ini, kita hanya melihat makhluk hitam—bukan kegelapan batin manusia yang ia wakili.
Kedua: Kritik sastra menghubungkan puisi dengan teks-teks lain
Puisi bukan pulau terpencil. Ia tumbuh dari laut teks lain yang mendahuluinya. Kritik intertekstual mengajarkan kita bahwa tiap puisi berbicara dengan puisi lain, entah sebagai kelanjutan, perlawanan, atau pencerminan.
Ketika saya menulis Derita Saijah dan Adinda untuk Indonesia Merdeka, ia tidak menciptakan kisah baru, tapi menyulam ulang narasi Multatuli.
Dalam hal ini, kritik membantu kita menyadari bahwa puisi tersebut membawa “jiwa” dari teks lama, dan memperkaya maknanya dalam konteks kemerdekaan.
Tanpa kritik intertekstual, kita mungkin tak menyadari bahwa puisi itu berdialog dengan sejarah.
Ketiga: Kritik sastra menjembatani puisi dengan realitas sosial dan psikologis
Puisi yang agung tidak hanya berbicara tentang dirinya. Ia memantulkan dunia. Kritik sastra, terutama yang bersandar pada pemikiran seperti Foucault atau Kristeva, mengungkap bagaimana puisi memuat relasi kuasa, trauma kolektif, bahkan represi budaya.
Ketika penyair menulis tentang “tanah yang berdarah,” ia tidak bicara soal bumi semata. Ia bicara tentang bangsa, penjajahan, atau mungkin rumah yang hancur oleh perang.
Namun, kritik sastra tidak hanya menjadi alat untuk memahami puisi; ia adalah cermin bagi peradaban.
Melalui kritik, kita tidak hanya membaca karya, tetapi juga menelusuri jejak sejarah, budaya, dan psikologi kolektif yang membentuknya.
Dalam setiap simbol yang dibongkar, kita menemukan bukan hanya makna puisi, tetapi juga potret diri kita sebagai bangsa, dengan luka, harapan, dan perjuangan yang terus hidup di dalam kata.”
Kritik sastra membuka pintu agar pembaca tidak hanya menangkap bunyi, tapi juga jerit yang disembunyikan dalam diam.
Pada akhirnya, kritik sastra bukan hanya alat membaca. Ia adalah seni mendengarkan. Ia membantu kita mencintai puisi lebih dalam.
Ia mengajak kita berhenti sejenak, duduk dalam sunyi larik, dan bertanya: Apa yang sebenarnya ingin disampaikan kata-kata ini?
Dan mungkin, lewat itu, kita akhirnya tidak hanya memahami puisi. Tapi juga diri kita sendiri.***
Jakarta, 25 Maret 2025
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, sastra, agama dan spiritualitas, politik, sejarah dan catatan perjalanan bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World