Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Siti Manggopoh dan Puisi Esai “Ikrar Siap Mati Demi Negeri”

January 13, 2025 20:21
IMG_20250113_200021

Oleh Amelia Fitriani

SABTU malam tanggal 11 Januari 2025 lalu, saya diajak untuk menjadi pembawa acara bagi pertunjukan seni bartajuk “Mahakarya Randai III: Kisah Perjuangan Siti Manggopoh”. Pertunjukan ini dilangsungkan di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, Rasuna Said, Jakarta.

Saya sangat terkesan dengan pertunjukkan ini, karena berhasil memadupadankan kisah pejuang perempuan dari tanah Agam, yakni Siti Manggopoh, dengan aneka kebudayaan khas Minangkabau. Bukan hanya musik, tetapi iuga tarian bahkan randai, sebuah bentuk pertunjukan tradisional.

Perpaduan itu dikemas dengan rangkaian adegan dan dialog yang apik hingga menjadi suguhan pertunjukan teatrikal yang lain dari biasanya. Tidak heran jika kursi penonton nampak penuh, hampir tidak tersisa kursi kosong.

Apresiasi tinggi saya berikan pada para penggagas dan penggerak kegiatan itu, terutama teman-teman di Sumbar Talenta Indonesia, Gerakan Mudo Minangkabau, Randai in Bogor, Sanggar Musik dan Tari Sofyani, Keluarga Mahasiswa Minangkabau Universitas Negeri Jakarta, Forum Siti Manggopoh, Limpapeh Rumah Gadang dan IMARAMI.

Saya seakan larut terbawa suasana saat ikut serta menyaksikan pertunjukkan. Apalagi saya juga pernah membuat sebuah puisi esai mengenai Siti Manggopoh dan saya muat dalam buku saya “Perempuan di Lembar Juang”, yang rilis tahun 2024 lalu. “

Perempuan di Lembar Juang” sendiri merupakan buku kumpulan 15 kisah pahlawan perempuan Indonesia yang saya kemas dalam bentuk puisi esai dan dibuat dengan asistensi artificial intelligence.

Sehingga ketika saya menyaksikan Mahakarya Randai III, saya seperti ikut ke dalam fragmen hidup Siti Manggopoh. Berikut puisi esai saya yang mengangkat tema Siti Manggopoh.

-000-

Puisi Esai
Ikrar Siap Mati Demi Negeri
Karya Amelia Fitriani

Lahir di Nagari Manggopoh Kabupaten Agam, Sumatera Barat, tahun 1885, Siti Manggopoh terkenal karena keberaniannya melawan penjajah ketika Peraturan Pajak yang mencekik rakyat di tanah Minangkabau diberlakukan.

-000-

Di Sumatera Barat, aku berkunjung ke Lubuk Basung di tanah Agam, Ranah Minang yang elok di Nagari Manggopoh, tahun 1885 ia mulai jejak langkah Mande (1) Siti terlahir dari keluarga petani yang sederhana

Namanya mungkin tak seharum Kartini namun perjuangannya tak kalah berarti. Semangat Siti Manggopoh diabadikan patung perempuan pemberani itu dipasang di tempat terbuka tangan kanan menggenggam belati tangan kiri menunjuk ke depan, agak ke kiri.

Menatap patung itu, aku termenung
pikiranku berkelana pada masa keemasannya berani betul perempuan ini, melumpuhkan 53 serdadu Belanda di medan Perang Belasting.

Tak pernah mengecap pendidikan di sekolah megah namun jiwanya kaya, penuh ilmu dan hikmah di surau dan masjid ia temukan cahaya tempat belajar yang jadi sumber ilmu berharga di sana ia mendalami ajaran agama dan adat mengenal nilai-nilai luhur yang kuat dan keramat

Meski tak bersekolah, semangatnya tak pernah pudar belajar dari kehidupan, ia terus berkobar memahami adat istiadat Minangkabau yang mulia
menjadi bekal dalam setiap langkahnya sejak belia.

Siti Manggopoh, wanita tangguh nan bijaksana pendidikan sejati, tak hanya dari buku, tapi dari hati yang suci
dengan ilmu dari surau, ia tegakkan keadilan melawan penjajah dengan keberanian dan iman.

Kemarahannya menyala di dada
saat tahu Peraturan pajak mencekik dari Belanda Belasting Op De Bedrifsen Ander Inkomsten (2)
menghantam mata pencaharian dan harta pusaka yang dimiliki turun-temurun dalam pandangan Minangkabau, harta pusaka adalah milik kaum kepunyaan komunal yang diwariskan dari nenek moyang.

Namun Belanda tak peduli, menindas dengan aturan mengusik adat dan tradisi yang sudah lama terjaga
kewajiban belasting menorehkan luka dalam menyakitkan hati rakyat, menindas jiwa yang tenang

Masyarakat Minangkabau tak bisa terima bangkit melawan, menuntut keadilan yang nyata. “Mande Siti, tanah ini kehormatan leluhur mengusiknya sama dengan menginjak-injak harga diri,” bisik seorang tetua padanya.

Empat belas pejuang dengan tekad membara bersiap melawan penjajah yang semena-mena dari Kamang, perlawanan pertama berkobar.

Perang Kamang menjadi saksi keberanian yang membara
meluas ke Manggopoh dan berbagai daerah lain. Mande Siti pimpin perjuangan, melawan penjajah yang angkuh dan kejam.

Pada satu malam di tengah gelapnya yang pekat 15 Juni 1908, di masjid sunyi tanpa penerangan berkumpul jiwa-jiwa yang berani.

Terdengar lantang sumpah terucap
di bawah naungan langit malam
ikrar suci melawan penjajah
hingga tetes darah terakhir tumpah

Siti Manggopoh, perempuan perkasa
memimpin dengan hati yang membara menggugah semangat, membakar jiwa untuk siap mati demi tanah tercinta.

“Tak kubiarkan tetes darahku tumpah tanpa imbalan kemerdekaan bagi Negeri,” tekad Siti Manggopoh.

Dengan nyawa sebagai taruhannya
mereka bersatu dalam satu suara. Siti Manggopoh memimpin pergerakan
perlahan menuju markas Belanda.

Di tengah gelap, amarah rakyat berkobar puluhan tentara Belanda tumbang Belanda marah, dendam membara pasukan datang dari segala penjuru.

Patroli mengintai, mencari para pemberani Siti Manggopoh dan keluarga memilih berlari. Meski begitu, tak rela ia meninggalkan tugas mulia sebagai ibu, konflik batin menguji keteguhan antara mengasuh sang buah hati atau melawan penjajah kejam.

Namun semangat juang tak pernah mati dalam kejaran musuh yang tak henti Siti membawa anaknya tersayang selama tujuh belas hari berlari.

”Duhai Anakku sayang, kuwariskan darah perjuangan sejak dini, kau jadi saksi betapa kemerdekaan itu sungguh tidak murah,” bisik Siti pada sang buah hati.

Tak luput dari pengejaran Belanda
suami terbuang jauh ke Manado
Siti pun dibuang ke Padang Pariaman, lalu ke Padang meski raga dipisahkan penjajah cinta mereka tetap terjalin
di tengah sunyinya angin malam.

Meski terasing dalam penindasan
semangat juangnya tetap abadi dalam kenangan Siti Manggopoh, namanya dikenang.

-000-

CATATAN KAKI:

(1) Mande dalam bahasa Minangkabau berarti “ibu”. Penggunaan kata “mande” seringkali menunjukkan rasa hormat dan kedekatan, serta menandakan peran penting yang dimainkan oleh seorang perempuan dalam masyarakat Minangkabau, baik sebagai ibu, pemimpin, maupun tokoh yang dihormati.

(2) Istilah dalam bahasa Belanda yang dapat diterjemahkan sebagai “pajak atas perusahaan dan pendapatan lainnya”. Di Indonesia, pada masa penjajahan Belanda, sistem perpajakan seperti ini diterapkan sebagai bagian dari kebijakan kolonial untuk mengumpulkan dana dari penduduk lokal dan perusahaan yang beroperasi di wilayah jajahan. (***)

*) Anggota Komunitas Puisi Esai, Postgraduate Student ini LSPR Institute of Communication & Business.

Berita Terkait