Dwi Sutarjantono *)
HATIPENA.COM – Malam itu, udara begitu beku, seakan dunia ikut terdiam dalam kesunyian. Jendela yang tertutup rapat menghalangi hujan yang tak pernah berhenti. Dulu, hujan selalu menjadi penghibur, semacam lagu lirih yang menenangkan hati. Tapi malam ini, suara tetesannya seperti alunan tangisan yang tak pernah sampai ke permukaan.
Ada rasa yang merayap perlahan, seperti jejak kaki yang terlupakan, makin jauh menjauh. Mungkin, ini saatnya untuk menerima kenyataan bahwa segala yang kita percaya ternyata tak lebih dari bayangan.
Bangunan itu, dulu terlihat seperti janji penuh cahaya. Lambat laun menjelma seperti sebuah rumah kosong yang dinding-dindingnya sudah mulai retak. Ada perasaan yang terus menggantung, tak bisa dilupakan, dan tidak juga bisa diungkapkan. Betapa pun berusaha untuk tetap memegang teguh, untuk tetap meyakini bahwa itu adalah pilihan terbaik, ternyata hati selalu mengarah pada pertanyaan yang tidak terjawab. Apakah benar ini yang seharusnya? Apakah cinta abadi itu memang ada, atau hanya ilusi yang kita bangun sendiri?
Di balik senyum yang tersisa, ada keraguan yang terus berkembang. Lalu, ia datang. Satu, dua, entah berapa banyak dan tanpa bisa ditahan. Datang begitu saja. Kebohongan demi kebohongan terlihat begitu nyata. Pengkhianatan yang tumbuh di bawah permukaan yang seharusnya tenang. Setiap kali ia kembali, ada rasa yang berusaha disembunyikan. Seakan tidak ada yang berubah, meskipun semuanya sudah berubah. Ada yang hilang, entah sejak kapan, entah di mana. Apakah ini sebuah perasaan yang menguap bersama waktu, ataukah ia sudah terkubur dalam-dalam di sudut hati yang paling gelap?
Tapi tetap, ada yang menjadi alasan untuk bertahan. Begitu banyak kata yang tidak terucap, begitu banyak air mata yang tak tumpah, semua demi wajah-wajah kecil yang begitu tulus menatap. Mungkin, itulah satu-satunya pelipur lara yang tersisa. Bak cahaya di tengah kegelapan yang kian memudar, meskipun terkadang, merasa seperti tersesat dalam perjalanan yang tak kunjung usai.
Cinta, seharusnya bisa membawa kehangatan, seperti pelukan yang menenangkan di malam yang dingin. Tetapi kini, cinta itu terasa dingin, bagaikan angin yang berhembus melalui celah-celah dinding yang rapuh. Ada perasaan yang tak bisa dihapuskan meski sudah berusaha mengabaikannya.
Ia tetap ada, berputar-putar dalam benak, menembus setiap ruang yang ada. Bahkan jika harus menahan semuanya sendirian, rasa itu tak pernah benar-benar pergi. Sebuah cinta yang, meski terasa salah, tetap saja ada di sana. Terus mengikat, terus melilit, seolah tidak ada yang bisa dilakukan untuk menghentikannya.
Di malam yang hening, saat semua tidur dan hanya ada suara hati yang berdebar-debar, aku bertanya-tanya, apakah pilihanku tepat? Apakah cinta yang salah ini akan selalu menghantui? Apa yang harus aku lakukan untuk bisa bebas dari jeratan yang tak terlihat ini?
Mungkin, seperti hujan yang tak pernah benar-benar berhenti, pertanyaan itu hanya akan terjawab ketika semua tiba pada akhirnya. Kita hanya bisa bertahan, berharap bahwa suatu saat nanti, meskipun luka ini menganga, ada kebahagiaan yang mungkin datang dengan cara yang tak terduga. Atau, mungkin kita hanya akan terus berjalan, meski jalan itu penuh dengan batu dan duri. (*)
*) Penulis/Mind Programmer/ Sekretaris Satupena DKI