Oleh ReO Fiksiwan
“Berbohong adalah tindakan sosial: melibatkan setidaknya dua orang, satu yang berbohong dan satu lagi yang tertipu.” — John Arundel Barnes (1918-2010), A Pack of Lies: Towards a Sociology of Lying (1994).
HATIPENA.COM – Dalam sejarah kekuasaan modern dan mutakhir, kebohongan bukan lagi sekadar penyimpangan moral, melainkan telah menjadi instrumen sistemik dalam mempertahankan dominasi dan membentuk persepsi publik.
Sosiologi kebohongan mengurai bagaimana kebohongan diproduksi, disebarkan, dan dilegitimasi oleh mereka yang memegang mandat kekuasaan.
Kebohongan tidak berdiri sendiri; ia berkelindan dengan struktur politik, teknologi, dan budaya yang memungkinkan ia tumbuh subur.
Dalam konteks Indonesia mutakhir, kasus-kasus yang menyeret nama Presiden ke-7, Joko Widodo (64), dan putranya, Gibran Rakabuming Raka (38), yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden, menjadi cermin bagaimana kebohongan dapat direproduksi sebagai bentuk kelemahan intelektual—hubris yang menyamar sebagai strategi.
J.A. Barnes dalam A Pack of Lies menyebut bahwa kebohongan memiliki struktur sosialnya sendiri. Ia bukan sekadar pernyataan palsu, tetapi sebuah sistem yang memungkinkan kebohongan menjadi bagian dari komunikasi publik. Ketika kebohongan dilakukan oleh individu biasa, ia mungkin hanya berdampak lokal.
Namun ketika kebohongan dilakukan oleh pemegang kekuasaan, dampaknya menjadi sistemik dan merusak kepercayaan kolektif.
Kasus dugaan ijazah palsu yang melibatkan Presiden Jokowi dan kemudian menular pada putranya, Gibran, bukan hanya soal dokumen akademik. Ia menyentuh jantung kredibilitas politik dan integritas konstitusional.
Kritik publik yang menyebut Gibran sebagai “anak haram konstitusi” bukan sekadar metafora, tetapi ekspresi kekecewaan terhadap manipulasi hukum dan etika yang dilakukan demi melanggengkan kekuasaan dinasti.
Seth Stephen-Davidowitz (43) dalam Everybody Lies: Big Data, New Data, and What the Internet Can Tell Us About Who We Really Are (2017;2018) menunjukkan bagaimana teknologi digital telah membuka tabir kebohongan yang selama ini tersembunyi.
Karena, „orang-orang berbohong, terutama pada topik sensitif. Mereka berbohong kepada teman. Mereka berbohong pada survei. Mereka membohongi diri mereka sendiri.”
Data pencarian Google, misalnya, mengungkap bahwa apa yang dikatakan orang di ruang publik sering kali berbeda dengan apa yang mereka pikirkan secara pribadi.
Teknologi digital, alih-alih menjadi alat transparansi, justru bisa menjadi medium baru bagi kebohongan yang lebih canggih dan sulit dilacak.
Di era cyberpolitics, kebohongan tidak lagi disampaikan melalui pidato atau dokumen, tetapi melalui algoritma, bot, dan narasi yang dikemas secara visual dan emosional.
Kebohongan menjadi konten, menjadi trending, menjadi bagian dari budaya klik yang mengaburkan batas antara fakta dan fiksi.
Selain itu, gejala suburnya filsafat pasca-kebenaran (post-truth) memperparah situasi ini.
Dirujuk dari 21 Lessons for the 21st Century (2018), Yuval Noah Harari (49) menyoroti bagaimana emosi dan keyakinan pribadi kini lebih berpengaruh daripada fakta objektif dalam membentuk opini publik.
Ia menulis bahwa “manusia lebih mudah percaya pada cerita yang menyentuh emosi daripada pada data statistik yang dingin.”
Dalam dunia pasca-kebenaran, kebohongan tidak lagi harus disembunyikan; ia bisa dirayakan, selama ia mampu menggerakkan massa dan membentuk narasi yang meyakinkan.
Lanjut Harari mengungkap: „Berita palsu bukanlah fenomena baru. Selama ribuan tahun, orang-orang berkuasa mengarang cerita demi kepentingan mereka. Yang baru adalah sekarang penyebaran kebohongan menjadi lebih mudah.”
Kebohongan menjadi alat politik yang sah, dan kebenaran menjadi relatif terhadap kepentingan.
Alan Sokal (70), fisikawan dan profesor matematika yang dikenal luas karena eksperimen intelektualnya, dalam Beyond the Hoax: Science, Philosophy and Culture (2008), mengingatkan bahwa ketika batas antara fakta dan fiksi dikaburkan oleh jargon akademik, relativisme ekstrem, dan manipulasi media, maka komunikasi publik menjadi cedera.
Hoaks bukan lagi sekadar informasi palsu, tetapi menjadi bagian dari strategi epistemologis yang disengaja untuk membingungkan, memecah, dan mengendalikan.
Sokal mengungkapkan, “Masalahnya bukan pada postmodernisme itu sendiri, namun pada penyalahgunaan konsep-konsep ilmiah oleh mereka yang tidak memahaminya dan tidak menghormati batas-batas epistemologisnya.”
Kritik Sokal terhadap bagaimana kebohongan atau kekeliruan dalam ranah sains bisa terjadi ketika istilah ilmiah digunakan secara sembarangan dalam wacana sosial, politik, atau budaya.
Ia menyebut fenomena ini sebagai bentuk penipuan intelektual, di mana klaim ilmiah digunakan untuk membungkus argumen yang tidak berdasar, menciptakan ilusi otoritas dan kebenaran.
Dalam perspektif ini, sosiologi kebohongan tidak hanya mengkaji isi kebohongan, tetapi juga struktur sosial dan teknologi yang memungkinkan kebohongan menjadi norma.
Reproduksi kebohongan oleh pemegang kekuasaan adalah pengkhianatan terhadap amanah publik.
Ia merusak kontrak sosial yang seharusnya dibangun atas dasar kepercayaan dan transparansi.
Ketika kebohongan menjadi norma, maka demokrasi berubah menjadi simulakra—tiruan yang kehilangan makna asli dan otentiknya.
Dalam konteks publik Indonesia hari ini, sosiologi kebohongan bukan lagi kajian akademik semata, tetapi panggilan untuk refleksi kolektif.
Kita harus bertanya: apakah kita masih hidup dalam masyarakat yang menghargai kebenaran, ataukah kita telah menjadi penonton pasif dalam teater kebohongan yang dipentaskan oleh mereka yang kita beri mandat?
Jika kebohongan terus direproduksi tanpa konsekuensi, maka yang hilang bukan hanya kepercayaan, tetapi juga harapan.
Dan ketika harapan mati, maka masyarakat tidak lagi menjadi warga negara, melainkan sekadar massa yang digiring oleh narasi palsu.
Sosiologi kebohongan mengajak kita untuk tidak hanya mengungkap kebohongan, tetapi juga membongkar struktur yang melahirkannya.
Sebab di balik setiap kebohongan yang dibiarkan, ada kebenaran yang dikorbankan. (*)
#coversongs: Lagu “Tell Me Lies” oleh Steve Marks (38), DJ asal Australia, dirilis pada 17 September 2021 melalui label Tuneart Records.
Lagu ini menjadi populer secara global, terutama di platform seperti TikTok dan Instagram, bahkan sempat disebut sebagai lagu tema tidak resmi untuk persidangan Amber Heard atau gugatan pencemaran nama baik (defamation) yang diajukan oleh Johnny Depp (62) terhadap Amber Heard (39).
Depp menggugat Heard sebesar $50 juta atas artikel opini yang ditulis Heard di The Washington Post pada tahun 2018, di mana ia menyebut dirinya sebagai “korban kekerasan dalam rumah tangga.”
“Tell Me Lies” menggambarkan dinamika hubungan yang diliputi oleh kebohongan, manipulasi, keraguan dan kritik terhadap relasi yang tidak jujur, sekaligus sebagai pengakuan akan kerentanan manusia dalam menghadapi cinta yang penuh ilusi.