Oleh: Nurul Jannah
Gelombang Syukur dan Tangis
HATIPENA.COM – Siang itu, Minggu, 24 Agustus 2025, Masjid Al Mujahidin di Kemanggisan Slipi dipenuhi lebih dari 130 jamaah. Kami bertiga dari komunitas PI; Bu Sempa Arih, aku dan adikku turut hadir di majelis Dzukir tersebut.
Pertemuan dimulai dengan sholat Dhuhur berjamaah. Saf-saf rapat terasa seperti tali persaudaraan yang ditarik kembali, dikuatkan oleh doa yang naik bersama-sama ke langit.
Lantunan Asmaul Husna menggema, suara jamaah bersahutan menyebut satu per satu nama Allah. Getarannya menembus dinding masjid, meruntuhkan dinding hati yang keras.
Dilanjutkan dengan ngaji surah Ar-Rahman. Setiap kali ayat “Fabi ayyi aalaaa’i rabbikumaa tukadzdzibaan” diulang, dada ini seperti dihujam.
Seorang ibu di sebelahku terisak, berbisik lirih: “Ya Allah… betapa sering kami dustakan nikmat-Mu.”
Aku pun menunduk, air mata ini jatuh tanpa bisa kutahan.
Suara yang Menghentak Jiwa
Ustadz Hasan Basri berdiri di atas mimbar. Suaranya lantang, menghentak dinding kalbu, namun tetap meneduhkan.
“Saudaraku, kita ini hamba yang kecil… tidak ada artinya tanpa Allah. Jangan pernah sombong dengan harta, dengan jabatan, atau dengan keluarga. Bahkan napas kita… detik berikutnya bisa Allah cabut begitu saja, tanpa izin.”
Seisi masjid hening. Lalu tiba-tiba, tangis pecah. Pelan, lalu semakin keras. Ruangan dipenuhi sesenggukan yang mengguncang hati.
Sang ustadz melanjutkan dengan nada bergetar: “Rasakan tubuhmu! Matamu masih bisa melihat, telingamu masih bisa mendengar, jantungmu berdetak, paru-parumu bekerja tanpa pernah kau bayar. Nikmat mana lagi yang engkau dustakan?”
Suara tangisan makin deras terdengar. Ada yang menutup wajah dengan sajadah, ada yang menggenggam erat tangan sahabatnya, seakan takut kehilangan kekuatan.
Ajakan untuk Sujud Syukur
Tiba-tiba suara ustadz meninggi: “Sekarang… mari kita semua bersujud syukur! Sujud untuk menghaturkan terima kasih kepada Allah yang tidak pernah berhenti memberi. Sujud untuk kesehatan, untuk anak, untuk pasangan, untuk sahabat, bahkan untuk air mata ini.”
Serentak seisi masjid bersujud. Suara tangis membuncah. Sajadah-sajadah basah oleh air mata. Sujud itu panjang, dalam, penuh kepasrahan.
Seorang ibu paruh baya di belakangku berbisik di tengah tangisnya: “Ya Allah… saya hina, saya lemah, saya tak punya daya apa-apa tanpa-Mu.”
Bu Nina yang duduk di sampingnya menyahut lirih: “Kita ini hanya debu, tapi Allah masih sayang. Masih memberi; tanpa henti.”
Aku sendiri gemetar, hatiku bergetar: “Ya Allah, kalau bukan karena kasih-Mu, bagaimana mungkin aku masih bisa berdiri di sini?”
Lingkaran Ujian Hidup
Setelah doa panjang, jamaah dibagi menjadi kelompok kecil, tiga hingga empat orang. Kami diminta saling mengisahkan ujian hidup.
Seorang ibu paruh baya berkata dengan suara bergetar: “Saya baru kehilangan suami. Rasanya separuh jiwa saya hilang. Tapi Allah masih menitipkan anak-anak pada saya. Itu pun nikmat besar.”
Seorang ibu muda menambahkan dengan mata basah: “Suami saya sudah dua tahun sakit stroke. Kadang saya mengeluh… tapi hari ini saya sadar, saya masih bisa merawatnya, masih bisa bernapas, masih bisa beribadah. Itu pun nikmat luar biasa.”
Aku tercekat. Mendengar kisah mereka membuatku sadar: ternyata ujian orang lain jauh lebih berat. Dan betapa naifnya aku yang sering mengeluh, dengan ujian yang jauh lebih ringan.
Dialog yang Menghentak Hati
Seusai lingkaran, Ibu Yanah menggenggam tanganku erat.
“Bu… saya sering sekali menuntut. Padahal nikmat di depan mata begitu banyak, tapi saya sering abaikan.”
Aku menjawab lirih, “Kita sibuk menghitung kurang, tapi lupa menghitung nikmat. Hari ini Allah menampar kita dengan kasih sayang-Nya.”
Di sudut lain, dua bapak berpelukan. Yang satu berkata dengan suara parau: “Ujian saya berat… tapi ternyata ujian saudara saya lebih berat. Saya malu merasa paling menderita.”
Yang lain menimpali, “Betul. Kita ini lemah. Hanya Allah yang menguatkan. Sujudlah lebih lama, syukurilah lebih dalam.”
Bersih Kembali dalam Syukur
Menjelang Ashar, sang ustadz menutup kajian dengan doa panjang. Suara jamaah bergemuruh, tangan menengadah, hati bergetar.
“Jangan pernah merasa besar. Kita ini kecil, rapuh, tidak ada artinya tanpa Allah. Bersihkan hati dengan syukur, maka keberkahan akan terus datang.”
Adzan Ashar berkumandang. Masjid yang semula dipenuhi tangis, kini dipenuhi rasa lega. Tangis berganti senyum, pelukan, dan saling memaafkan.
Hamba yang Kecil dan Lemah
Aku melangkah keluar masjid dengan langkah gemetar, seakan masih membawa gema suara ustadz dan isak tangis jamaah.
Di dadaku hanya ada satu bisikan yang terus berulang: “Ya Allah… betapa kecilnya aku, betapa rapuhnya aku. Tanpa-Mu aku bukan siapa-siapa. Ajari aku untuk bersujud lebih lama, bersyukur lebih dalam, hingga setiap detik hidupku hanyalah untuk-Mu.”
Refleksi Taman Hati
Selepas kajian, jamaah melanjutkan kunjungan singkat ke taman sekitar masjid. Angin sore menyapa, dedaunan berjatuhan, seolah ikut menjadi saksi kebersihan hati yang baru saja kami jemput.
Aku menatap langit, berbisik pada diri sendiri.
Duhai Allah, terima kasih untuk hari ini. Hidup seharusnya bukan hanya berisi keluhan dan tuntutan, tapi tentang bagaimana menerima seluruhnya dengan penuh rasa syukur.
Engkau kumpulkan aku di komunitas ini tentu bukan tanpa maksud. Komunitas Renungan Tahajud adalah rumah jiwa. Dari sini, Engkau kirimkan keberkahan demi keberkahan berikutnya. (*)
Bogor, 25 Agustus 2025