Oleh Denny JA
- Review Buku “Hewan dan Ritus Agama” (2025), Akan Menguatkah Tafsir Kurban Yang Tak Lagi Menyembelih Hewan?
HATIPENA.COM – Di sebuah halaman rumah sederhana di Jawa Tengah, menjelang Idul Adha, sebuah adegan pilu tersaji: seorang bocah laki-laki memeluk kepala kambing peliharaannya dengan erat.
Ia tersedu, air matanya menetes ke bulu kambing yang telah disisir rapi. Di sekelilingnya, panitia kurban telah datang, namun dunia si bocah seakan runtuh.
Video itu dibagikan oleh akun Twitter @komiktipe. Dalam video tersebut, terdengar suara bocah itu, penuh ketulusan dan luka:
“Nggak mau kambingnya dede dipotong… sedih kalau kambingnya dibunuh. Kambingnya jangan dipotong…”
Ia tidak berteriak, tidak memberontak—hanya menangis. Tapi tangisan itu seperti merobek langit. Di antara isaknya, ia bercerita: kambingnya itu baik, bahkan bisa dinaiki seperti kuda. (1)
Ada kasih di sana. Bukan kepemilikan, melainkan persahabatan.
Sang ibu mencoba menenangkan dengan kalimat yang biasa diucapkan orang dewasa,
“Nanti kambingnya masuk surga…”
Namun anak itu tetap memeluk, tetap menangis, tetap berusaha melindungi sahabat kecilnya dari pisau penyembelihan.
Adegan ini bukan sekadar tentang anak dan kambing. Ia adalah cermin zaman. Bahwa generasi hari ini tumbuh dengan empati yang dalam.
Mereka tak lagi melihat hewan hanya sebagai “harta ternak” atau “sumber pahala.” Mereka melihat makhluk hidup yang bisa tersenyum, bisa takut, bisa sedih.
Kisah ini nyata. Disaksikan jutaan orang. Viral bukan karena lucu, tapi karena menyentuh sesuatu yang mendalam dalam batin kita.
Bahwa kasih tak bisa disembelih. Dan bahwa dalam diri seorang bocah, kadang tersembunyi tafsir spiritual yang lebih murni daripada ribuan khutbah.
Dan mungkin, pertanyaan si bocah itu diam-diam mengetuk ruang hati kita semua:
Apakah Tuhan benar-benar senang jika sahabat kecil kita disakiti atas nama-Nya?
Dalam pelukan antara bocah dan kambingnya, tersimpan kurban yang lebih dalam: pengorbanan cinta demi tradisi, dan cinta yang tak ingin kehilangan.
Itulah kurban jiwa—yang lebih berat daripada sekadar menyembelih leher.
-000-
Melampaui Pisau, Meraba Makna
Melalui esai, “Akan Menguatkah: Tafsir yang Tak Lagi Harus Hewan Dijadikan Kurban Ritus Agama?”, saya mengajak membuka kembali lembaran tafsir lama dengan mata yang lebih basah, lebih peka.
Saya tidak membawa palu untuk menghancurkan tradisi. Saya membawa lentera—untuk menyingkap ruang batin yang selama ini terlindung oleh kebiasaan.
Saya menyampaikan bahwa penyembelihan massal hewan sebagai bentuk utama kurban tak harus menjadi satu-satunya cara menunjukkan ketakwaan. Ada tiga pendekatan besar:
1. Mainstream konservatif (seperti MUI), yang melihat kurban hewan sebagai satu-satunya bentuk sah.
2. Pendekatan kompromis (seperti Muhammadiyah), yang membuka ruang tak harus sembelih hewan dalam kondisi tertentu, seperti di era Covid-19.
3. Esensialis kontekstual (seperti Shahid Ali Muttaqi), yang menekankan bahwa inti kurban adalah ketakwaan dan solidaritas, bukan darah yang mengalir.
Saya menekankan tafsir ketiga. Di era ketika kesadaran ekologis dan hak asasi hewan makin kuat, tafsir agama pun perlu disegarkan.
Manusia tentu tetap makan hewan. Tapi tak lagi menjadikan sembelih massal hewan sebagai ritus agama.
Sebab spiritualitas tidak hidup dalam bekuan sejarah. Ia tumbuh bersama nurani manusia yang bergerak maju.
-000-
Para Penanggap: Menyulam Kembali Tafsir
Buku “Hewan dan Ritus Agama”, disunting cermat oleh Anick HT, mempertemukan sebelas pemikir lintas iman, mazhab, dan disiplin.
Mereka 11 pemikir ini membahas esai saya soal tafsir kurban yang tak lagi menyembelih hewan. Ini bukan gagasan orsinal dari saya. Tapi saya mengangkat tafsir orang lain dan membawanya ke dalam spirit era animal rights.
1. Musdah Mulia
2. Albertus M. Patty
3. Ahmad Najib Burhani
4. Mohamad Guntur Romli
5. Imam Nahe’i
6. Reza A.A. Wattimena
7. Husein Muhammad
8. Jo Priastana
9. Moch. Nur Ichwan
10. Budhy Munawar-Rachman.
11.Ahmadie Thaha
Semua bersua dalam satu pertanyaan: Bisakah makna kurban diperluas, dimanusiakan, dan diselaraskan dengan empati baru?
Ada yang menyerukan tafsir kurban sebagai wujud cinta, bukan penyembelihan.
Kurban bisa berupa beasiswa, bantuan medis, atau pertolongan hidup bagi yang rentan.
Ada yang mengingatkan: reinterpretasi soal kurban hewan hanya kuat jika berakar pada tafsir spiritualitas, bukan semata logika.
Ada pula yang mengukur moralitas Umat di Mata Hewan.
Ia menyitir Gandhi: “Kemajuan moral bangsa bisa dilihat dari bagaimana kita memperlakukan hewan.”
Di sini, kurban menjadi cermin moral zaman.
Ada yang menelusuri sejarah hukum Islam. Ia menunjukkan bahwa kurban tak selalu berupa hewan besar—bahkan ayam atau telur pun pernah dianggap sah. Tafsir bisa menyesuaikan konteks.
Ada yang meninjau dari Persaudaraan Kosmik.
Ia memandang manusia dan hewan sebagai jejaring energi semesta.
Membunuh untuk ritual, katanya, adalah paradoks spiritual. Kurban sejati adalah menyembelih ego, bukan makhluk lain.
-000-
“Daging dan darah itu tidak akan sampai kepada Tuhan, tetapi ketakwaanmulah yang sampai kepada-Nya.”
(QS. Al-Hajj: 37)
Ayat ini adalah cahaya di jalan gelap. Tuhan tak menanti daging. Ia menanti cinta. Ia tak menuntut darah. Ia menuntut keikhlasan batin.
Di masa depan, kurban mungkin tak lagi berarti sembelih, tapi berbagi. Tak lagi pisau, tapi pelukan. Tak lagi tetesan darah, tapi air mata karena cinta.
Dan kisah bocah yang menangis memeluk kambingnya akan hidup sebagai simbol zaman baru:
Zaman ketika iman tak lagi menyakiti,
dan kasih tak perlu ditebus dengan luka.
Zaman ketika kita memilih menyembelih ego,
bukan sahabat kecil kita.
Ini tafsir soal tak lagi menjadikan hewan sebagai ritus agama agaknya akan terus menguat di era animal rights.
-000-
Tapi apa beda antara manusia makan hewan dan menjadikan sembelih hewan sebagai ritus agama VERSUS tetap makan hewan tapi menolak menjadikan hewan sebagai bagian ritus agama?
- Dimensi Filosofis: Antara Konsumsi dan Sakralisasi
Makan hewan adalah praktik biologis. Ia berakar pada naluri, budaya, dan ekosistem manusia sejak ribuan tahun lalu. Banyak tradisi membolehkan konsumsi daging sebagai bagian dari kebutuhan hidup.
Namun menjadikan penyembelihan hewan sebagai ritus agama, membawa praktik itu ke ranah sakral.
Hewan tidak lagi hanya objek konsumsi, tetapi menjadi simbol persembahan kepada Tuhan. Di sini, darah dan nyawa bukan sekadar nutrisi, tapi diyakini sebagai medium hubungan spiritual antara manusia dan yang transenden.
Ini menciptakan tensi moral:
Jika Tuhan adalah sumber cinta kasih, mengapa cinta kepada hewan harus dipersembahkan melalui luka dan kematian?
- Paradoks Moral: Cinta Tuhan vs Luka Makhluk
Mereka yang menolak menjadikan hewan sebagai ritus agama namun tetap memakan daging, tampak seperti mempraktikkan kontradiksi. Tapi sesungguhnya, sikap ini bisa sangat etis, tergantung pada kesadaran yang mendasari.
Makan daging dalam konteks modern dapat dikaitkan dengan pertimbangan kebutuhan, keberlanjutan, atau bahkan tradisi sosial.
Namun banyak yang mulai memilih hanya memakan hewan dari peternakan yang etis, atau bahkan beralih ke pola makan nabati.
Yang ditolak bukan daging itu sendiri, melainkan penyucian atas tindakan menyakiti sebagai bentuk ibadah. Sebab spiritualitas yang luhur mestinya berdiri di atas belas kasih, bukan darah.
- Ritus yang Melanggengkan Kekerasan: Bahaya Sakralisasi Tanpa Refleksi
Ketika penyembelihan dikuduskan sebagai ritus agama, ia bisa membungkam empati. Luka hewan dianggap bukan sekadar bisa diterima, tapi justru dikehendaki Tuhan.
Dalam jangka panjang, ini membentuk imajinasi religius yang menormalisasi kekerasan simbolik. Bahkan menyakiti bisa menjadi suci, jika dilakukan dalam nama Tuhan.
Di titik ini, agama kehilangan wajah kasihnya.
- Spiritualitas Baru: Menggeser dari Darah ke Ketulusan
Mereka yang tetap makan daging tetapi menolak penyembelihan hewan sebagai bentuk ritual, sejatinya sedang menggagas ritus yang lebih esensial.
Mereka bertanya ulang: Apa yang Tuhan kehendaki dari sebuah kurban?
Jawaban mereka bukan leher yang terpotong, tetapi ego yang dikalahkan, keserakahan yang dipangkas, dan cinta yang dibagikan.
Kurban dalam tafsir baru bukan lagi tentang darah yang mengalir, tetapi tentang air mata yang jujur karena kasih.
- Masa Depan Tafsir: Dari Ritual Darah Menuju Ritual Nurani
Di masa depan, agama mungkin tidak akan lagi membutuhkan darah untuk berbicara dengan langit. Seperti halnya manusia meninggalkan penyembahan berhala, mungkin kita juga akan meninggalkan penyembelihan sebagai komunikasi dengan Tuhan.
Yang akan kita sembelih bukanlah makhluk hidup lain,
tetapi kesombongan, kemalasan, ketamakan, dan dendam.
Dan mungkin, saat itulah agama benar-benar mencapai maknanya:
Menjadi jalan pulang kepada kasih.
-000-
Perbedaan antara makan daging sebagai konsumsi dan menjadikannya sebagai ritus agama bukan sekadar soal tindakan, tapi soal nilai, kesadaran, dan spiritualitas.
Menolak menyakiti atas nama Tuhan, meski masih memakan hewan sebagai bagian dari kebutuhan hidup, bisa menjadi langkah awal transformasi batin. Ini adalah upaya menyelaraskan iman dengan empati, ritual dengan nurani, ajaran dengan kasih universal.
Di tengah dunia yang makin sadar akan hak hewan dan ekologi, tafsir ini bukan hanya sah, tapi perlu dirayakan.***
Jakarta, 28 Mei 2025
Link Buku Hewan dan Ritus Agama dapat dibaca melalui link ini:
CATATAN
(1) Bocah menangis, kambing sahabatnya dijadikan kurban Idul Adha
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World