Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Teladan Rasulullah dan Kritik Sastra Indonesia

January 31, 2025 18:59
IMG-20250131-WA0095

Oleh Anto Narasoma

HATIPENA.COM – Rasulullah SAW benar-benar anutan sejati. Cerdas secara fisik dan ruhani, ia juga mengakui “kebodohan” diri sendiri.

Sebagai manusia teladan bagi semua orang, Rasulullah memperlihatkan sikap biasa saja sebagai manusia kabanyakan. Bahkan ketika berusia muda, ia berdagang layaknya manusia lain yang tiada beda dibanding orang lain.

Yang membedakannnya adalah cara Rasul bertindak dan bersikap bijak ketika menawarkan dagangan ke pada pembelinya. Karena akhlak yang diperlihatkan Beliau, mengungkap pola kejujuran sejati sebagai manusia teladan.

Dari akhlak dan perangainya yang sejuk dan menentramkan hati, sikap cerdas Rasul, ketika memutuskan persoalan kemanusiaan, begitu indah sehingga hasil yang dicapai dijadikan referensi bagi orang lain. Karena keputusan yang dilontarkan Beliiau, bermuatan cinta dan kebenaran.

Bahkan ketika Malaikat Jibril menginstruksikan Rasul agar membaca ayat pertama dari bagian ayat dalam Alquran (Iqraa), Rasulullah mengatakan, “Aku tak bisa membaca. Aku tak bisa membaca.”

Andaikan kita memahami pengajaran iman dan akhlak itu diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari, alangkah indah dan cerdasnya (secara spiritual) kita.

Ketika menghadapi karya penulis (penyair dan cerpenis) lain, kita tentu menerimanya dengan keberkahan yang bisa memperkaya wawasan.

Meski ada berapa gelintir saja orang yang mampu memahi ajaran Rasulullah itu, namun jarang ada yang mengaplikasikanya ke pada karya tulis orang lain.

Padahal kehidupan ini sudah mengajarkan banyak tentang baik buruk sesuatu untuk dijadikan standar pembinaan cara hidup yang bersikap profesional.

Seperti dikemukakan sastrawan Inggris, Robert Browming, sikap profesional seseorang akan selalu mengacu ke pada baik buruknya karya seseorang.

Yang baik merupakan tujuan utama untuk mencerdaskan kita, sedangkan yang buruk sangat bermanfaat untuk digali agar bisa menemukan nilai terbaik untuk memperbaiki kekurangan dari karya tersebut.

Karena itu ilmu sastra dapat dijadikan referensi bagi pengungkapan berbagai persoalan hidup seperti yang diajarkan Rasulullah tersebut.

Sebab meski pandai, Rasulullah tetap mengakui kelemahan dan keterbatasan dirinya sebagai manusia dhoif. Tapi dalam perkembangan saat ini sudah jarang ada orang pintar yang mengakui kebodohannya. Bahkan dengan kepandaiannya justru digunakan untuk memecah-belah kesatuan yang sudah terjalin. Bahkan dengan latar bekakang pendidikannya yang selangit, ia justru bangga dengan diri sendiri, serta melecehkan karya orang lain.

Meski banyak yang mengatakan bahwa sikap itu sungguh tidak simpatik dan cenderung melecehkan perasaan orang lain (penyair, cerpenis atau esais).

Seorang sastrawan atau kritikus sastra, bertugas untuk mengurai pikiran, paham-paham, filsafat serta pandangan hidup terhadap isi karya yang ditelaahnya.

Tentu, dari pemahamannya terhadap kontens karya, harusnya ia bijak mengurai baik buruknya karya tersebut. Artinya tidak menjadikan dirinya angkuh dan merasa hebat sendiri.

Justru kritikus memiliki jika yang tajam untuk mengasah kebijakan dirinya sebagai orang “yang mengetahui” tentang isi dan pokok pikiran karya yang ditelaahnya.

Pada poin ini, tidak banyak orang yang bisa mengajari dirinya sendiri agar hasil telaahnya (kritikannya) memcerminkan seorang yang cerdas dan bijak menetapkan hasil kritikannya.

Misalnya, setelah ia menelaah dari berbagai aspek, ia menemukan sejumlah kekurangan dalam kontens muatan karya secara menyeluruh. Ia tidak perlu menyatakan, “Wah isi dan penyampaiannya karya ini buruk dan tidak bisa dijadikan rujukan bagi dunia pendidikan dan seterusnya.”

Seharusnya ada cara lain yang lebih bijak agar orang tersenyum dan mengakui kekurangannya seperti yang diajarkan Rasulullah Muhammad SAW.

Lantas bagaimana cara menjelaskan itu agar suasana menjadi sejuk, tentram dan damai? Nah, pertanyaan ini memang sulit dijabarkan dengan praktik uraian tertulis, agar perasaan penulis terasa sejuk dan menerima kritikan itu.

Tapi setidaknya memang harus dijelaskan secara terbuka agar persoalannya jelas.
Seperti dijelaskan sastrawan Inggris, William Somerset Maugham, kritkus memang memiliki kekuasaan mengadili karya sastra. Tapi halikatnya bukan untuk menjatuhkan eksistensi karya yang ditelaahnya.

Apalagi “mengadili” dalam bahasa hukum untuk mencari hal-hal yang salah dan benar, agar dapat dicarikan solusi terbaik agar memunculkan prinsip kebenaran.

Kalau memang tujuannya itu, kata Maugham, tulislah hal-hal yang kurang dalam kontens isi, agar bisa dijadikan pembenaran yang mendidik dalam karya sastra.

Saya tertarik dengan gambar yang dishare ke grup ini yang kontensnya berupa pendidikan di sekolah bertajuk “Perjalanan Panjang”.

Menarik memang. Karena ingatan saya melancong ke beberapa puluhan tahun lalu, ketika saya sekolah di sekolah dasar.

Selain mempelajari berhitung (matematika), pelajaran keimanan dan akhlak, bahasa Indonesia, psikologi daerah, sejarah, serta nilai-nilai Pancasila sebagai lambang negara.

Tatkala saya renungi, ternyata belajar itu memang mirip dengan perjalanan panjang. Sebab dalam perjalanan itu dapat kita jumpai berbagai pengetahuan tentang nilai-nilai yang bisa membangun kebijakan diri sendiri.

Dalam perjalanan panjang itu (sekolah), beragam masalah yang diterima sebagai pembelajaran agar jiwa kita menjadi matang dan bijaksana menetapkan satu persoalan yang mecerdaskan fisik dan ruhaniah kita.

Jika ini kita rasakan, maka dalam perjalanan itu kita sudah siap menerima kritikan, cemooh, penolakan dan argumentasi orang lain yang terkadang pahit sebagai unsur mendasar dari pendidikan kita.

Di sinilah kematangan itu ditempa. Apalagi tradisi dan kebiasaan sehari-hari (adat istiadat) mereka akan membentuk dan mewarnai perilaku, cara berpikir, serta menetapkan tindakannya sebagai manusia.

Dalam kaitan itu, Kaspar Shopp setuju jika kritikus sastra berupaya untuk menelaah dan menganalisis estetika, baik dari sisi kekurangan maupun keutuhan isi dari karya tersebut. Dengan demikian ada upaya perbaikan dari karya yang ditelaahnya.

Karena itu agar kritikus tidak merasa hebat sendiri ketika ia menelaah satu karya sastra, memang dibutuhkan kesadaran moral terkait tradisi dan adat istiadat masyarakat Indonesia.

Dalam buku “Kritik dan Essay karya HB Jassin, dijelaskan tentang wawasan tentang ilmu yang berkaitan dengan psikologi, budaya, adat istiadat, sejarah, penciptaan sastra serta terkait ilmu tentang kemanisiaan. Karya ini tentu memperlihatkan gerak lajunya kritik sastra sejak era Xenophanes, HB Jassin, A Teew, Sapardi Djoko Damono serta sastrawan sekaliber Goenawan Mohammad.

Gerak langkah sastra itu berjalan lamban setelah ada pernyataan Jim Morisson, “The West is The Best” atau Barat lebih baik dari Indonesia dari kritik sastra dan karyanya. Bahkan dikatakan sastrawan Indonesia jalan di tempat.

Karena itu seorang kritikus ketika mereka menelaah karya sastra, ada baiknya melandasi aktivitasnya dengan nilai-nilai yang baik seperti diungkap HB Jassin dalam buku Kritik dan Essay. (Penulis adalah sastrawan dan analisis karya sastra)

Palembang, 24 Februari 2020