HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Tiket Langit, Harga Akal (yang) Hilang

October 12, 2025 07:52
IMG-20251012-WA0023(1)

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Saya sungguh-sungguh dibuat tak mengerti di negeri ini.

Di negeri yang katanya sedang menata masa depan pariwisata, logika harga tiket pesawat seakan melayang entah ke langit mana.

Di Traveloka — sebuah jendela kecil tempat rakyat menengok harapan dan tujuan bepergian — terpampang kenyataan yang menggelitik sekaligus menyesakkan dada: untuk hari yang sama pada Senin, 13 Oktkber 2025 tiket Lombok–Bali Rp 1.254.200 dengan Lion, Rp 1.280.300 dengan Super Air Jet. Namun Lombok–Surabaya hanya Rp 751.000, dan Lombok–Jakarta malah lebih murah lagi, Rp 1.230.000.

Aneh, bukan? Semakin jauh, semakin murah. Semakin dekat, semakin mahal. Seolah hukum fisika dan ekonomi di negeri ini punya tafsir sendiri.

Padahal kita tahu, bahan bakar pesawat—aftur—tak bisa berbohong pada jarak.

Lombok–Bali hanyalah setengah jam di udara, sebentar saja burung besi mengepakkan sayapnya. Lombok–Jakarta butuh lebih dari satu setengah jam. Tapi kenapa justru ke Jakart harganya lebih murah? Ini hitungan apa?

Jika Jakarta itu luar negeri, barangkali bisa dimaklumi: ada kebijakan antarnegara, ada pajak lintas batas. Tapi Lombok itu Indonesia, Bali itu Indonesia, Jakarta pun Indonesia. Mengapa langit negeri yang sama menaruh harga berbeda untuk rakyatnya sendiri?

Sejak Bandara Selaparang di Rembiga masih aktif, penerbangan Lombok–Bali itu sudah ada. Lombok – Bali bukan rute baru. Maskapai penerbangan yang masuk ke rute Bali – Lombok juga sudah ada sejak lama. Rute Bali – Lombok adalah nadi kecil yang menyambung pariwisata dua pulau bersaudara ini.

Kini, nadi itu seperti dicekik oleh tangan tak kasat mata yang bernama kebijakan. Kebijakan model apa ini? Sebelum Covid-19 tak begini harga tiket Bali – Lombok.

Bisa saja buat pembenar jika ini soal jenis pesawat dan kapasitas penumpang. Tapi bukankah banyak jenis pesawat di dunia ini yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan rute pendek?

Kalau bukan karena alasan teknis, lalu apa? Jika ini kebijakan, kebijakan siapa? Jika ini strategi, strategi untuk siapa?

Apakah pemerintah kini menjelma menjadi pengusaha yang menjual kesulitan kepada rakyatnya? Atau para pengambil kebijakan telah terlanjur nyaman dalam kabin kekuasaan, lupa bahwa di luar sana rakyat menatap Traveloka dengan dahi berkerut, menimbang-nimbang: mau ke Lombok harga tiketnya melambung?

Memang, pengguna jasa penerbangan pesawat lebih banyak ditujukan kepada kelas atas — kaum borjuis berkantong tebal yang menjadikan langit sebagai halaman rumah. Tapi pernahkah para pengambil kebijakan berpikir bahwa harga tiket itu bukan hanya urusan orang beruang? Bahwa ia berkelindan dengan kehidupan pedagang kecil di bawah langit yang sama?

Cobalah turun sejenak dari kabin bisnis, lihatlah ke Pasar Bertais — di sana pedagang terasi menunggu pembeli yang tadinya hendak berkunjung dengan pesawat itu. Tengoklah perajin tenun ikat di Terara yang juga menunggu-nunggu pembeli berkantong tebal. Jika mereka urung datang bukankah ia menghela napas menunggu pembeli?

Datanglah ke Suranadi, ke warung sate belayag yang siap menunggu pembeli. Jika belayagnya laku, di sawah belakangnya, petani kangkung ikut sumringah.

Bukankah kedatangan orang menggunakan pesawat itu sangat ditunggu petani kangkung, dagang terasi, dagang belayag hingga tukang parkir?

Semua berawal dari satu hal sederhana: harga tiket yang terlalu tinggi. Karena orang yang tadinya mau ke Lombok memilih ke tempat lain, karena perjalanan yang seharusnya dekat dibuat terasa jauh oleh angka di layar ponsel.

Tidakkah mereka yang berkepentingan dengan kedatangan orang ke NTB berteriak? Ataukah suara mereka tertelan dalam dengung mesin pesawat yang terbang terlalu tinggi, terlalu jauh dari bumi tempat rakyatnya berpijak?

Kemana Menteri Pariwisata kita, kemana Luh Puspa? Kemana menteri Perhubungan, apa yang dikerjakan Dirjen Perhubungan Negara, apa dia tak malu buat kebijakan model begini. PHRI NTB mungkin sudah serak berteriak soal harga tiket ini atau tak tahu caranya harus berbuat apa melawan ketidakadilan ini?

Negara pastilah bukan mafia. Tapi ketika kebijakan dibuat tanpa nurani, tanpa perhitungan bagi rakyat kecil, tanpa kesadaran bahwa satu kursi kosong di pesawat berarti satu piring nasi tak terisi di rumah pedagang kecil — maka apa bedanya negara dengan pedagang untung yang menjual penderitaan bangsanya sendiri?

Inilah dunia paradoks langit negeri sendiri — di mana harga tiket bisa lebih tinggi dari logika, lebih mahal dari empati, dan rakyat hanya bisa menatap awan sambil bertanya lirih: “Berapa harga akal sehat di republik ini?” (*)

Mataram, 12 Oktober 2025