ilustrasi : AI/ Akmal Nasery Basral
Penulis : Akmal Nasery Basral *)
SKEMA
(Sketsa Masyarakat)
1/
Keinginan Presiden AS Donald Trump untuk merelokasi warga Gaza membuat saya teringat pada Farha. Jika perempuan Palestina tersebut masih hidup, umurnya 91 tahun sekarang. Tetapi, boleh jadi, Farha sudah mati di Suriah, negeri tempat dia menyelamatkan diri.
Amuk beringas Haganah, milisi radikal-brutal zionis cikal bakal IDF (Pasukan Pertahanan Israel) yang menjajah Tanah Suci Palestina pada 1948, membuat ribuan warga harus mengungsi meninggalkan rumah dan desa mereka. ‘Pergi atau mati ( get out or get killed)’ adalah ancaman yang berulang kali diumumkan para komandan lapangan Haganah. Itulah nakba, malapetaka yang membuat bangsa Palestina terusir dari kampung halaman yang sudah berabad-abad dan puluhan generasi mereka huni.
Dunia mengetahui kisah Farha dari Darin J. Sallam, sutradara kelahiran Yordania, yang mendengar kisah itu sejak kecil dari ibunya yang berdarah Palestina. “Nama sebenarnya Farha adalah Radiyyeh. Saya ganti menjadi Farha yang berarti kegembiraan, karena itulah yang dirasakan orang-orang Palestina sebelum 1948. Kegembiraan yang dicuri,” ungkap Darin dalam wawancara dengan jurnalis Michel Martin dari NPR ( National Public Radio ) yang bermarkas di Washington D.C. “Sejatinya, semua perempuan Palestina yang menjadi korban nakba adalah Farha. Ibu saya adalah Farha, nenek saya juga Farha,” lanjut Darin.
(Wawancara lengkap Darin J. Sallam dengan Michel Martin ada pada tautan ini: https://www.npr.org/2023/01/29/1152428451/farha-tells-the-story-of-a-palestinian-girl-in-1948)
2/
Pada 1948, ketika tentara Inggris berangsur meninggalkan Tanah Palestina, Farha (diperankan oleh Karam Taher) baru berusia 14 tahun. Seorang dara yang mulai mekar. Teman-teman seusianya satu persatu menikah, sesuai tradisi setempat. Farha pun dijodohkan sang ayah untuk menikah dengan keponakannya Nasser, yang tak lain sepupu Farha. Sang gadis menolak.
Farha ingin keluar dari desa untuk melanjutkan sekolah di kota. Niat Farha didukung oleh pamannya, Abu Walid. Namun Abu Farha—ayah Farha—bergeming. Dalam kesedihannya, Farha hanya bisa bercerita tentang cita-citanya kepada sahabatnya, Farida, yang juga tak bisa berbuat banyak.
Pada satu malam, laskar rakyat mendatangi Abu Farha yang juga kepala desa setempat. Mereka memintanya untuk bergabung ke dalam laskar demi bersiap menghadapi milisi Yahudi. Abu Farha menolak dan menyarankan anggota laskar agar bersabar karena negara-negara Arab di sekitar mereka akan mengirimkan pasukan dalam waktu tak lama lagi untuk membantu. Penjelasan Abu Farha dicemooh pemimpin laskar yang tak percaya akan ada bantuan itu. Semua perdebatan didengar Farha yang tak mengerti apa yang sedang atau akan terjadi.
Beberapa hari kemudian, milisi Haganah sampai ke desa mereka. Pertempuran bersenjata mulai pecah. Abu Farha menitipkan anaknya kepada Abu Farida—ayah Farida—yang bersiap meninggalkan desa bersama keluarganya dengan mobil mereka. Farha dan Farida duduk di jok belakang.
Baru beberapa meter mobil berjalan, Farha meminta turun dan berlari ke rumahnya. Tak mau meninggalkan ayahnya seorang diri. Sang ayah yang marah melihat sikap Farha kemudian mengunci anaknya di dalam gudang makanan agar tak kena peluru nyasar. Dia sendiri angkat senjata dan memilih bertempur melawan Haganah.
Pengadeganan langsung berubah drastis. Tak ada lagi panorama eksterior desa Palestina penuh warna ceria. Semua berubah menjadi dunia gudang yang temaram, dengan satu-dua serpihan cahaya masuk melalui rekahan pintu kayu atau jendela bulat sedikit lebih besar dari kepalan tangan pada tembok. Tak ada lagi penunjuk detik, menit, jam, bahkan hari bagi Farha. Entah berapa lama dia mendekam.
Farha kehabisan air minum sehingga saat hujan turun dia harus menengadahkan tangan keluar melalui jendela bulat. Ketika kebelet buang hajat, tak ada pilihan lain selain melakukannya di salah satu sudut gudang. Usahanya untuk membuka pintu kayu dari dalam tak pernah berhasil. Sampai satu hari dia melihat sebuah keluarga kecil dengan dua anak perempuan memasuki halaman rumahnya. Sang ibu dalam keadaan hamil besar dan melakukan persalinan alami dibantu suaminya. Farha menyaksikan dari lubang pintu kayu. Seorang bayi lelaki lahir.
Tak lama kemudian melintas patroli milisi Haganah dan seorang warga desa setempat dengan kepala tertutup tudung seperti terdakwa hukuman mati, kecuali pada posisi kedua matanya yang dibuat berlubang. Rupanya lelaki itu menjadi informan bagi Haganah. Dia bilang bahwa keluarga kecil yang ada di depan mereka itu bukan laskar pejuang, hanya warga biasa dari desa tetangga.
Tetapi komandan Haganah tak percaya. Setelah melalui interogasi bertele-tele, sang komandan memutuskan keluarga malang itu harus ditembak mati. Sedangkan sang bayi tetap harus dibunuh, “Tetapi jangan sia-siakan sebutir pun peluru,” ujar sang komandan kepada seorang anak buahnya yang memakai kippah (peci orang Yahudi).
Sang anak buah senewen. Awalnya dia ingin menginjak sang bayi dengan sepatu larsnya. Namun niat itu dibatalkan karena grogi. Akhirnya dia ambil sapu tangan dan menempatkan di muka sang bayi agar kesulitan bernapas. Lalu anggota milisi itu pergi menyusul komandan dan kawan-kawannya yang sudah berangkat lebih dulu. Semua peristiwa disaksikan Farha dengan berlinang air mata.
Entah berapa hari berlalu, tak ada penunjuk waktu. Terkadang untuk menghibur dirinya sendiri, Farha bersenandung lagu ciptaannya sendiri yang menggambarkan keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke kota. Lalu layar menjadi temaram, gelap, kadang remang-remang. Gambar-gambar yang menabur perih luka kemanusiaan. Mengingatkan pada kisah Anne Frank, gadis Yahudi yang bersembunyi dari kejaran Tentara Nazi pada Perang Dunia II. Namun kini justru bala tentara Yahudi yang menebarkan kengerian serupa kepada anak dara Palestina bernama Farha.
Entah berapa hari lagi berganti sampai Farha membongkar karung berisi biji-bijian di dalam gudang. Mungkin untuk mencari makanan. Ternyata di dalam beberapa karung tersembunyi pistol dan peluru yang tampaknya disembunyikan sang ayah. Dengan modal senjata api itu, Farha menembaki gerendel pintu kayu sampai bisa terbuka. Farha melangkah keluar dan melihat mayat bayi, wajahnya tertutup sapu tangan, sudah dikerubungi lalat.
Farha sudah tak bisa menangis. Wajahnya kuyu. Rambut kusut masai dan berdebu. Dia berjalan gontai menyusuri jalan dusun yang lengang karena seluruh warga sudah dipaksa mengungsi, atau ditembak mati, oleh Haganah.
Film selesai di sini, dengan sebaris teks penutup bahwa Farha tak pernah bertemu lagi dengan ayahnya, yang diperkirakan terbunuh dalam nakba. Namun Farha, yang terinspirasi dari kisah nyata dara Palestina bernama asli Radiyyeh, berhasil menyelamatkan diri ke Suriah.
3/
Jika terima kasih pertama kita berikan kepada Darin J. Sallam sebagai sutradara yang bernyali mengangkat kisah lisan ( oral story) dan memperkaya bahan filmnya dengan data dari buku sejarawan Israel anti-zionisme Ilan Pappé, yang berjudul The Ethnic Cleansing of Palestine (2006), maka terima kasih selanjutnya harus ditujukan kepada Netflix yang berani menayangkan film ini di tengah kecaman pedas para pejabat Israel seperti Menteri Kebudayaan Hill Tropper dan Menteri Keuangan Avigdor Lieberman sejak awal.
Bahkan sehari setelah tayang di Netflix pada 1 Desember 2022, film yang menjadi wakil resmi Yordania pada Piala Oscar 2023 ini menghadapi seruan boikot di situs IMDb ( International Movie Database). Namun Netflix bergeming dan film ini masih bisa ditonton sampai sekarang tanpa ada sensor terhadap adegan brutal milisi Haganah terhadap warga Palestina.
Sutradara Darin J. Sallam juga menghadapi pembulian masif dari para pendukung zionisme dengan tuduhan membuat film yang “penuh kebencian dan rasis”. Kepada majalah Time yang mewawancarainya, Darin mengatakan bahwa, “Dibandingkan dengan apa yang terjadi selama masa pembantaian, (apa yang terlihat di film saya) adalah peristiwa sangat kecil,” katanya.
(Untuk wawancara lengkap Time dengan Darin bisa dibaca pada tautan ini: https://time.com/6238964/darin-sallam-farha-netflix-interview/
Kembali ke awal tulisan ini tentang ide Donald Trump untuk melokalisir warga Gaza agar keluar dari wilayah yang turun temurun menjadi kampung halaman mereka, pada dasarnya ide itu tak ada bedanya dengan ancaman Haganah di tahun 1948 tentang ‘ get out or get killed’, meski tentu saja Trump tak akan menggunakan diksi yang sama.
Tak pelak, Sekjen PBB Antonio Guterres merasa perlu mengingatkan bahwa pembersihan etnis Palestina harus dihindari. “Dalam mencari solusi, kita tidak boleh memperburuk masalah. Sangat penting untuk tetap setia pada dasar hukum internasional. Sangat penting untuk menghindari segala bentuk pembersihan etnis,” kata Guterres dalam pertemuan Komite PBB pada Rabu (5/2) seperti dikutip Reuters.
Kendati Guterres tidak menyebut nama Donald Trump sama sekali, justru juru bicara Sekjen PBB Stephane Dujarric yang menyatakan bahwa pernyataan bosnya tersebut bisa dimaknai sebagai tanggapan langsung terhadap usulan Trump tentang relokasi warga Gaza.
Bagi Indonesia, Menteri Kebudayaan Fadli Zon, dan Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid, sudah seharusnya mendesak stasiun televisi nasional dan swasta untuk memutar film Farha karya Darin J. Sallam sebagai bagian dari edukasi publik terhadap akar sejarah nakba dari perspektif budaya populer.
Sebab, jika Netflix saja yang berdiri di atas fondasi kapitalisme murni berani menayangkan, mengapa kanal televisi Indonesia hanya dipenuhi tayangan glamor para pesohor, haha-hihi para lelaki kemayu-gemulai, atau pencitraan para politisi busuk dan pejabat laknat tanpa henti dari hari ke hari?
8 Februari 2025
*) Penulis adalah penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 untuk kategori Seniman/Budayawan Nasional.