Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Tuhan-tuhan yang Bersemayam di Balik Layar

April 29, 2025 12:07
IMG-20250429-WA0041

Penulis: Ririe Aiko

HATIPENA.COM – Puisi esai ini diangkat dari fenomena dunia digital masa kini, di mana media sosial yang awalnya diciptakan sebagai ruang berbagi dan berekspresi, perlahan berubah menjadi arena penghakiman massal-

Di dunia ini, dunia bernama Maya,
tak ada ruang bagi manusia untuk keliru.
Sedikit saja tergelincir,
kau dihakimi, ditelanjangi, dihancurkan sampai titik darah penghabisan.

Katanya, ini panggung bebas bersuara,
tapi bebas itu hanya milik yang ikut arus suara,
yang menyembah opini mayoritas,
yang menelan bulat tanpa bertanya.

Dengan dua jari,
mereka mengetik hukuman.
Dengan satu sentuhan,
mereka mengadili, menggantung, memvonis tanpa sidang.
Netizen, Tuhan baru yang tak butuh surga, (1)
karena mereka sudah menciptakan nerakanya sendiri.

Hari ini kau salah ucap,
besok masa lalu mu dikuliti.(2)
Foto-foto lamamu,
tulisanmu saat remaja,
cacat-cacat kecil yang manusiawi,
semua diangkat jadi bendera hina.
Seolah-olah,
kau lahir dari kubangan dosa,
dan mereka dari mata air suci yang tak pernah mengalirkan lumpur.

Tak peduli kau tua atau muda,
bijak atau lemah,
di dunia ini,
kau hanya satu status dari kehancuran.

Satu celah kecil,
dan kawanan pemburu akan datang,
berpesta di atas kesalahanmu,
menancapkan komentar-komentar keji,
Hingga rasanya kau ingin mati.

Apa yang membuat mereka begitu haus darah?
Apa yang membuat hinaan lebih nikmat dari kasih?
Karena di hidup nyata,
mereka menanggung duka,
menggenggam amarah,
menyimpan kepahitan yang tak bisa diluapkan,
Maka, menghancurkan orang lain,
menjadi satu-satunya pesta yang tersisa.

Mereka tertawa melihat seseorang menangis.
Mereka bersorak ketika seseorang menyerah.
Dan jika ada yang mati oleh luka-luka kata,
mereka bilang:
“Itu hukuman yang pantas untukmu.”

Tak ada lagi empati.
Tak ada lagi jeda untuk mengerti.
Manusia menjadi serigala,
melahap mangsa tanpa mau tahu yang sebenarnya,
memegang tombak kata,
menusuk siapa saja yang dirasa pantas dijadikan pelampiasan.

Di dunia Maya ini,
kesalahan adalah kutukan abadi.
Maaf tak berlaku.
Tobat tak diterima.
Siapa yang jatuh,
akan diinjak sampai hancur tak bersisa.(3)
Netizen tak butuh kebenaran,
Mereka hanya butuh sasaran.

Padahal dulu, kita diajari
bahwa manusia tempatnya salah,
tempatnya bertumbuh, tempatnya memperbaiki diri.
Tapi dunia ini tak memberi kesempatan.
hanya mengenal penghukuman.
Tak ada pintu pulang,
tak ada tangan yang mau menerima kesalahan dengan lapang.

Mereka membangun kepuasan dari caci maki,
membangun kesenangan dari reruntuhan jiwa-jiwa lain.
Mereka, para netizen,
tuhan-tuhan kecil bersemayam di balik layar,
bermain kuasa atas nama kebebasan,
padahal,
mereka budak dari amarah mereka sendiri.

Dan kita,
entah akan jadi korban berikutnya,
atau lebih menakutkan lagi,
tanpa sadar, menjadi bagian dari mereka.

CATATAN:

  1. Istilah “netizen” pertama kali digunakan secara luas pada tahun 1990-an untuk merujuk kepada pengguna internet yang aktif dalam diskusi online, khususnya dalam forum-forum digital dan komunitas daring yang memperjuangkan kebebasan berekspresi.
  2. Fenomena cancel culture atau budaya pembatalan telah menjadi bagian dari dinamika media sosial sejak 2017, di mana kesalahan masa lalu seseorang sering kali diungkapkan kembali untuk menghukum mereka di ruang publik.
  3. Studi dari Pew Research Center (2022) menunjukkan bahwa lebih dari 40% pengguna media sosial di Amerika Serikat mengaku pernah mengalami atau menyaksikan serangan personal berbasis komentar daring, menunjukkan meningkatnya budaya penghukuman di dunia maya.

Berita Terkait