Puisi Esai LK. Ara
HATIPENA.COM – Di ruang tengah rumah kami,
ada satu benda kotak yang dahulu
menjadi pusat tawa dan cerita;
TV kami—ia pernah menyiarkan
nyanyian anak sekolah, lomba masak ibu-ibu,
dan film yang membuat kami percaya
bahwa kebaikan masih punya layar.
Kini,
TV kami adalah cermin retak zaman ini—
memantulkan wajah dunia
yang kehilangan warna kasih.
Kami menyalakannya,
seperti membuka jendela ke musim kelabu:
tawuran remaja—
bukan karena cita-cita,
melainkan karena gengsi
yang tumbuh liar di aspal panas kota.
Berita datang seperti hujan asam,
mengikis harapan yang masih muda:
begal menjelma bayangan,
pelecehan menyusup di balik layar media sosial,
dan pembunuhan menjadi lagu sedih
yang diputar ulang tanpa jeda.
Korupsi tumbuh seperti jamur di papan negara,
diam-diam menyebar,
hingga tak jelas lagi—
mana kursi yang layak,
mana yang lapuk oleh janji.
Yang paling mengguncang,
adalah bara dalam periuk rumah tangga.
Api tak lagi untuk memasak,
melainkan membakar kata-kata dan jiwa.
Suami membunuh istri
karena bisikan cemburu
yang lebih tajam dari pisau dapur.
Istri menusuk suami
karena luka batin
yang tak pernah sempat dijahit.
Kekerasan telah tinggal satu atap
dengan sabun mandi dan bantal tidur.
Dan anak-anak kami—
mereka adalah kertas putih
yang tiap hari tercoret oleh berita gelap,
sebelum sempat belajar menulis puisi pagi.
Di kedai kopi, di beranda rumah, terdengar gumaman getir:
“Sekarang, bukan lagi maling ayam yang ditakutkan,
tapi anak muda yang bawa motor tengah malam.”
“Dulu yang dibunuh karena perang,
sekarang istri dibunuh karena status WhatsApp.”
“Mereka makan sambil menonton,
tapi berita mengusir rasa dari piring.”
“Sudah biasa… yang nonton pun sudah kebal.”
Apakah ini yang disebut kemajuan?
Teknologi yang mendekatkan kita
pada luka orang lain,
tapi lupa memberi obat?
TV kami bukan lagi jendela dunia,
tapi lubang yang dalam dan sunyi—
menghisap cahaya,
dan meninggalkan bayang-bayang kegelisahan.
Kami rindu siaran yang sederhana:
tentang petani yang panennya berhasil,
tentang pemuda yang mengajar baca di pelosok,
tentang pohon yang ditanam bersama
dan tumbuh tanpa kamera.
TV kami,
jika engkau terus begini,
maka kami akan mematikanmu,
dan kembali membuka jendela—
mendengarkan suara ayam dan angin,
sebagai berita yang lebih membumi,
dan lebih menenangkan hati.
Masih ada harapan, kata ibu
selama ayam masih berkokok,
dan anak-anak masih bisa tertawa. (*)
Kalanareh, Maret 2025