HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Usai Kandangin Noel, KPK Incar Menaker dan Mantan

August 24, 2025 04:53
IMG-20250824-WA0037

Rosadi Jamani
Keua Satupena Kalbar

HATIPENA.COM – Kadang kasihan tengok Noel, habis kena bejek netizen sampai ke sum-sumnya. Dosa-dosanya untuk dimunculkan. Risiko jadi pendobrak, eh salah, pemeras. Usai Noel dan 11 temannya dikandangin, KPK mulai ngincar Menteri Naker, Yassierli, dan Mantan Menteri sebelumnya, Ida Fauziah. Simak lagi narasi sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lagi-lagi harus terjun ke septic tank birokrasi. Incaran utamanya, Kemnaker. Tempat di mana helm proyek bukan lagi simbol keselamatan, melainkan simbol setoran.

Penyelidikan kali ini tak main-main. KPK sudah menyeret 11 tersangka. Nama-nama itu bukan sekadar figuran, tapi pejabat yang selama ini sibuk mengurus “keselamatan buruh” dengan gaya mafia. Ada Irvian Bobby Mahendro, Gerry Aditya Herwanto Putra, Subhan, Anitasari Kusumawati, Fahrurozi, Hery Sutanto, Sekarsari Kartika Putri, Supriadi, Temurila, Miki Mahfud. Tentu saja tokoh yang membuat drama ini layak masuk Netflix, sang Wamen, Immanuel Ebenezer Gerungan. Mereka ditangkap, digiring, lalu dikandangin, dipakaikan rompi oranye. Mereka dipajang ke publik seperti katalog dosa berjamaah. Presiden Prabowo pun buru-buru mencopot Immanuel dari jabatannya. Pencopotan itu hanya kosmetik politik, ibarat menutup borok dengan bedak bayi. Padahal nanahnya sudah menyebar ke seluruh tubuh birokrasi.

Namun, yang paling mengguncang bukan daftar tersangka itu. Arah penyidikan kini merambat ke pucuk pohon kekuasaan: Menteri Ketenagakerjaan Yassierli dan mantan Menaker Ida Fauziyah. Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dengan kalimat yang penuh diplomasi tapi tajam seperti pisau bedah, berkata, “Kami masih mendalami dugaan aliran dana yang mengarah ke pejabat puncak, termasuk Menaker dan mantan Menaker.” Itu artinya, panggung sandiwara ini tidak lagi berhenti di aktor pendukung. Sutradara utama dan produser eksekutif mulai dipanggil ke meja penyidikan.

Mari kita berhenti sejenak dan bertanya, mungkinkah 11 orang bawahan ini beroperasi sejak 2019, memeras uang, membagi hasil, mengalirkan dana, tanpa atasan mereka tahu? Mustahil. Itu sama absurdnya dengan membayangkan kapal Titanic bocor tapi kaptennya bilang, “Oh, saya kira itu hanya es batu kecil.” Tidak ada logika yang bisa menjelaskan kecuali logika politik, pura-pura tak tahu adalah ilmu bela diri paling kuno para pejabat negeri ini.

Fakta lain yang membuat absurditas ini semakin epik, praktik pemerasan sertifikasi K3 sudah berlangsung sejak 2019. Artinya, ia melewati dua rezim kepemimpinan. Era Menteri Ida Fauziyah hingga ke Menteri Yassierli sekarang. Tradisi ini bukan hanya diteruskan, tapi dirawat, dipupuk, dan mungkin dijadikan kurikulum tak tertulis di Kemnaker. Warisan bukan berupa tanah, sawah, atau tambang, melainkan warisan budaya korupsi yang lestari, setia mendampingi setiap pergantian jabatan.

KPK bekerja sama dengan PPATK kini harus menelusuri aliran uang yang kemungkinan besar sudah berubah wujud. Ketua KPK, Setyo Budiyanto, bahkan menyebut ada kemungkinan “kendaraan lain” yang dipakai untuk menyamarkan uang kotor ini. Kendaraan lain? Jangan-jangan bukan sekadar mobil mewah atau rekening bank, tapi bisa jadi perahu karet, sapi kurban, voucher haji, bahkan tiket konser dangdut Bang Haji. Karena di negeri ini, uang korupsi punya DNA bunglon, bisa berubah bentuk sesuai kebutuhan.

Jangan lupa, KPK menegaskan bahwa penyidikan ini belum selesai. Artinya, jumlah tersangka bisa bertambah. Bayangkan, wak! Ada 11 orang sudah resmi ditahan, tapi KPK masih bilang ini baru permulaan. Kalau ini “awal cerita”, bisa jadi bab-bab berikutnya lebih menyeramkan daripada kisah horor. Karena horor paling murni di negeri ini bukan pocong atau kuntilanak, tapi pejabat yang pura-pura bersih padahal tangannya lengket oleh uang rakyat.

Ada satu pertanyaan filsafat yang terus menggema, sertifikat K3 itu sejatinya untuk keselamatan siapa? Apakah untuk keselamatan buruh yang bekerja di ketinggian, di tambang, di pabrik, di hutan, di laut? Atau sebenarnya untuk keselamatan rekening pejabat yang semakin gemuk? Buruh tetap mati tertimpa beton, tangan putus di mesin pabrik, paru-paru hancur karena debu tambang, sementara pejabatnya sibuk memikirkan cara memeras sertifikat agar uangnya bisa dipakai membeli rumah mewah atau menambah investasi politik.

Kalau benar Menaker dan mantan Menaker terbukti ikut menikmati aliran dana ini, maka drama ini akan berubah jadi tragedi bangsa. Kita akan menyaksikan bahwa di negeri ini, bukan hanya staf bawahan yang bermain kotor, tapi juga pucuk pimpinan kementerian. Saat itu terbukti, rakyat akan semakin yakin, korupsi di negeri ini bukan sekadar kejahatan individu, tapi sistematis, terstruktur, dan dilestarikan dengan rapi seperti adat istiadat.

Maka tak heran jika rakyat muak. Muak pada pejabat yang setiap pidato bicara soal integritas. Padahal, integritas mereka tak lebih dari retorika kosong. Muak pada pejabat yang selalu bilang “demi kesejahteraan buruh”, padahal yang disejahterakan hanyalah lingkaran mereka sendiri. Muak pada pejabat yang pura-pura kaget saat bawahannya ditangkap. Padahal, aroma busuk sudah lama tercium dari ruang rapat ber-AC.

Akhirnya, kita semua hanya bisa menggeleng, sambil tertawa getir, di negeri ini, sertifikat K3 yang harusnya melindungi buruh, justru berubah jadi sertifikat “Keselamatan Koruptor Kerja Sama”. Helm proyek tetap dipakai, tapi bukan untuk melindungi kepala, melainkan untuk menampung uang setoran.

Sungguh, negeri yang absurd. Negeri yang bisa menjadikan nyawa buruh sebagai alat tawar-menawar. Sementara pejabatnya menari di atas tumpukan uang haram, pura-pura tidak tahu, pura-pura bersih, pura-pura suci, hingga satu hari nanti giliran mereka juga digiring, dipakaikan baju oranye, lalu tampil di layar kaca. Sebuah tontonan yang entah kapan tamatnya. (*)

#camanewak