Elza Peldi Taher
HATIPENA.COM – Senen Pagi , stasiun kereta cepat di Cawang belum ramai. Waktu masih menunjukkan pukul 07.15. Kereta yang akan aku tumpangi menuju Bandung akan berangkat pukul 08.30. Aku duduk menunggu, sembari menyesap sisa kantuk yang masih menggantung di mata. Tapi perhatianku segera tersita pada mereka, orang-orang berseragam abu dan biru tua, berseliweran seperti semut yang tahu benar arah kerjanya.
Para petugas kebersihan, tukang dan office boy—dengan sapu di tangan, kain lap di bahu, dan semangat yang entah dari mana datangnya. Seorang ibu dengan jilbab sederhana sedang menyeka kaca pintu masuk. Di sampingnya, seorang bapak tua menata kursi plastik dengan kesungguhan layaknya seorang seniman yang menyusun instalasi di galeri.
Tak ada wajah muram. Tak ada raut keterpaksaan. Bahkan, ketika mataku bertemu dengan salah satu dari mereka—seorang pria muda dengan wajah berkeringat yang baru keluar dari toilet—ia melemparkan senyum tipis. Bukan senyum promosi. Bukan senyum basa-basi. Tapi senyum tulus, seperti pagi yang bersahabat.
Aku beranjak ke toilet pria, dan di dalamnya kulihat seorang petugas sedang membersihkan lantai. Gerakannya pelan, telaten, nyaris seperti gerakan sujud dalam salat. Ketika aku mengucapkan terima kasih karena ia memberi jalan, ia membalas dengan “sama-sama, Pak” dan senyum bersahaja. Entah kenapa, pagi itu aku merasa sangat sejuk. Seolah ada doa yang dikabulkan lewat keramahan tak terduga.
Wajah Pekerja dan Martabat yang Tersisa
Ada yang istimewa dari mereka yang bekerja dengan tangan, dengan peluh, dengan diam. Di balik pekerjaan yang sering dianggap “rendah” oleh banyak orang, justru tersembunyi kekayaan hati dan ketulusan yang mahal harganya. Para pembersih stasiun ini seolah tidak sekadar membersihkan lantai dan kaca, tapi juga membersihkan udara dari keangkuhan, dari penghakiman, dari prasangka.
Aku jadi teringat pada wajah-wajah lain. Wajah-wajah yang pernah kutemui selama berhaji beberapa, sebulan lalu. Di Masjidil Haram, di Masjid Nabawi, dua tempat tersuci dalam Islam. Di sana juga ada pekerja kebersihan, dan jumlah mereka ribuan. Tapi suasana yang kurasakan sangat berbeda.
Seragam mereka lusuh. Warna pudar, benang menjuntai. Langkah mereka lesu. Mata mereka kosong. Hampir semua adalah imigran: dari Bangladesh, Pakistan, India, dan Afrika. Mereka adalah tubuh-tubuh yang bekerja sepanjang malam dan siang, menyapu lantai suci, mengangkat karpet sajadah, membersihkan tempat wudhu. Tapi tak ada senyum. Yang ada justru tatapan yang meminta—kadang terang-terangan, kadang dengan lirikan halus—sebuah harapan diberi tip.
Mereka tidak menyodorkan tangan, tapi menyodorkan keadaan. Dan kita tahu, dalam keadaan seperti itu, pemberian bukanlah kemurahan, tapi penebusan rasa bersalah.
Aku tertegun memikirkan kontras itu. Di tanah air yang tidak kaya ini, para pekerja bisa tetap menegakkan martabat. Tapi di tanah kaya minyak, di tempat jutaan manusia meneteskan air mata di depan Ka’bah, pekerja justru menjadi cermin kemiskinan yang dibiarkan mengelupas martabatnya satu per satu.
Negeri Minyak, Jiwa yang Kering
Arab Saudi bukan negeri biasa. Ia adalah tempat di mana miliaran dolar berputar saban hari. Ia adalah kerajaan yang sedang membangun mimpi “Vision 2030” dengan gedung pencakar langit, AI, dan kota futuristik di tengah gurun.
Tapi dalam pembangunan yang melesat itu, ada satu hal yang tertinggal: kemanusiaan. Sosiolog dari Universitas Oxford, Nicholas Illo, pernah mengatakan bahwa “gulf countries treat foreign workers as disposable labor—not as fellow human beings but as part of the construction material.” Pernyataan yang pahit, namun nyata.
Ratusan ribu pekerja migran di Saudi bekerja dalam sistem kafala, yang membuat mereka terikat pada majikan layaknya budak modern. Mereka tidak bisa berpindah kerja tanpa izin, tidak bisa pergi tanpa sponsor, dan upah mereka sering tertunda berbulan-bulan. Banyak dari mereka bekerja 12 sampai 14 jam sehari, tujuh hari seminggu, tanpa hari libur, tanpa perlindungan hukum.
Sebuah laporan dari Human Rights Watch mencatat ribuan kasus pekerja yang disiksa, dilecehkan, bahkan meninggal tanpa kejelasan hukum. Di kota suci tempat air Zamzam mengalir, air mata para buruh justru mengering tak terlihat.
Aku masih ingat satu adegan di Masjidil Haram. Seorang pria tua dari Bangladesh sedang menyapu di lorong mataf. Ia berjalan membungkuk, menghindari para jamaah yang lalu lalang. Tiba-tiba ia jatuh terduduk. Bukan karena didorong, tapi karena lututnya tak sanggup lagi menopang beban tubuh yang sudah terlalu lama diperas.
Tak ada yang menolong. Tak ada petugas yang datang. Ia hanya duduk, memejamkan mata, lalu berdiri lagi. Melanjutkan pekerjaannya, seolah tidak terjadi apa-apa. Aku ingin menghampiri, tapi lautan manusia menahanku.
Di sisi lain, para petugas keamanan berkulit putih—mungkin dari suku asli Saudi—berdiri gagah dengan seragam hitam dan pistol di pinggang. Mereka tak membersihkan apa pun, hanya mengawasi. Ada hierarki diam di Masjidil Haram: antara yang menjaga dan yang membersihkan, antara yang memerintah dan yang diperas, antara yang berseragam bersih dan berseragam lusuh.
Bukankah ini pengkhianatan paling nyata terhadap pesan Nabi?
Islam dan Ketimpangan yang Disucikan
Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan tidak kepada harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian.” Hadis ini sering dikutip di mimbar-mimbar, tetapi barangkali sudah kehilangan gaung di pusat kekuasaan Arab.
Tasawuf mengajarkan bahwa manusia yang suci adalah mereka yang hatinya bening, yang menjadikan kerendahan sebagai jalan menuju Yang Maha Tinggi. Tapi apa artinya suci jika lantainya bersih tapi batinnya kotor oleh eksploitasi?
Hamka, dalam Tasawuf Modern, pernah menulis bahwa “bekerja dengan tangan adalah salah satu bentuk ibadah.” Tapi apakah ibadah itu masih berlaku jika kerja tangan dijalankan dalam keterpaksaan, tanpa keadilan, tanpa pengakuan?
Sungguh ironis bahwa tempat paling suci dalam Islam justru menjadi panggung ketidakadilan sosial yang kasat mata.
Indonesia dan Sisa Harapan dari Wajah-Wajah Lugu
Kembali ke Stasiun Cawang. Waktu menunjukkan pukul 08.15. Aku harus bergegas naik ke lantai dua. Saat berjalan aku melihat pekerja kebersihan itu menyeka kaca dengan sabar. Ia tidak memakai seragam mewah. Tapi ia tidak mengemis. Ia tidak menengadah. Ia berdiri sebagai manusia yang bekerja.
Mungkin gajinya tidak besar. Tapi ada sesuatu yang lebih penting dari uang: rasa dihargai. Di negeri ini, meski banyak hal belum sempurna, para pekerja seperti dia masih bisa hidup sebagai manusia. Masih bisa pulang, bercengkerama dengan keluarga, menonton TV di ruang tamu kecilnya, dan bercanda dengan tetangga. Itu sudah cukup. Bahagia tidak selalu lahir dari kaya. Kadang, ia lahir dari rasa cukup dan dihormati.
Barangkali, yang membuatku tergetar pagi ini bukan sekadar kebersihan yang kutemui di Stasiun Cawang, tapi kebersihan hati mereka yang bekerja tanpa pamrih, tanpa keluhan, tanpa mengiba. Mereka tak memakai jubah, tak membaca khutbah, tapi diam-diam mereka menjadi saksi dari nilai sejati sebuah pekerjaan: keikhlasan.
Rumi pernah menulis, “Lakukan pekerjaanmu seolah-olah engkau sedang berdoa. Sebab, pekerjaan yang lahir dari cinta akan mengangkatmu lebih tinggi daripada seribu sujud.”
Mereka yang menyapu lantai stasiun dengan cinta dan kesungguhan itu, justru lebih dekat pada Tuhan dibanding mereka yang menyapu lantai Ka’bah tapi dengan wajah hampa dan tubuh yang lelah karena ditindas sistem.
Kita sering berpikir bahwa suci itu tentang tempat. Tapi pagi ini aku sadar: kesucian bisa juga tentang sikap. Tentang bagaimana seseorang tetap menjaga harga dirinya, meski hidup tak memberinya banyak pilihan. (*)
Cawang 4 Agustus 2025